Gara-gara fitnah hamil, Emily Zara Azalea—siswi SMA paling bar-bar—harus nikah diam-diam dengan guru baru di sekolah, Haidar Zidan Alfarizqi. Ganteng, kalem, tapi nyebelin kalau lagi sok cool.
Di sekolah manggil “Pak”, di rumah manggil “Mas”.
Pernikahan mereka penuh drama, rahasia, dan... perasaan yang tumbuh diam-diam.
Tapi apa cinta bisa bertahan kalau masa lalu dari keduanya datang lagi dan semua rahasia terancam terbongkar?
Baca selengkapnya hanya di NovelToon
IG: Ijahkhadijah92
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ijah hodijah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jadian?
Emily tidak menyangka kalau ternyata dirinya berada dalam satu selimut bahkan yang ia kira kakinya memeluk guling ternyata memeluk kaki Haidar.
"Kamu, bukan aku loh..." ucap Haidar santai.
"Ish... Saya mandi dulu..." Emily beringsut turun dari ranjang dengan wajah yang seperti terbakar. Haidar hanya menatap punggung Emily yang perlahan hilang dibalik pintu kamar mandi.
***
Suasana kamar sudah terang oleh cahaya matahari yang menembus tirai. Padahal baru juga jam enam pagi. Emily baru saja selesai mandi. Rambutnya masih sedikit basah, tapi sudah disisir rapi. Ia mengenakan baju rumahan warna pastel dan berjalan ringan menuju meja belajar yang juga jadi meja rias.
Ia berniat memakai skincare pagi sebelum berangkat sekolah. Tapi belum sempat duduk, pintu kamar mandi tiba-tiba terbuka.
“Krekk...”
Suara pintu itu membuat Emily spontan menoleh.
Dan saat itulah, ia mendapati Haidar keluar dari kamar mandi… hanya dengan handuk putih yang melilit sebatas pahanya. Bahunya basah, dadanya penuh tetesan air, rambutnya acak-acakan tapi justru terlihat… terlalu menarik.
DEG!
BRUK!
Emily yang kaget bukan main sampai terpeleset dan jatuh duduk ke lantai.
“Astagfirullah...” ucapnya panik sendiri sambil menunduk, tidak berani menatap Haidar lagi.
Haidar memandangnya dengan alis naik sebelah. "Kamu kenapa sih? Baru juga keluar, belum ngomong apa-apa. Malah jatuh.”
Emily buru-buru berdiri, menepuk-nepuk bajunya dengan wajah super malu. Ia lalu duduk di kursi meja belajar seolah-olah tak terjadi apa-apa.
“Kenapa harus keluar kayak gitu sih?” gerutunya pelan, masih tidak menatap langsung.
“Lah, emang aku harus mandi pakai jas lengkap?” balas Haidar santai sambil berjalan ke lemari.
Emily menoleh sejenak—lalu langsung menoleh lagi ke kaca riasnya, pura-pura serius memakai toner. Tapi matanya tetap mencuri pandang dari pantulan kaca.
“Aduh, fokus Emily... fokus... jangan lihat dia!” bisiknya pada diri sendiri.
Haidar menyadari lirikan itu dan sengaja mendekat. Ia berdiri di belakang Emily yang sedang memakai skincare.
“Pakai skincare pagi-pagi banget. Mau glowing, ya?”
“Biar gak kalah sama suami sendiri!” sahut Emily sengit, walau pipinya sudah merah merona.
Haidar terkekeh pelan. “Tapi aku tetap menang di satu hal.”
Emily menoleh. “Apa?”
“Bikin kamu jatuh cinta, secara perlahan.”
CUP!
Haidar mengecup pipi Emily tiba-tiba sebelum berjalan lagi ke arah lemari. Emily membeku.
“Bapak Batu!!” serunya. “Aku plorotin juga handuk kamu ya kalau gitu?!”
“Silakan,” jawab Haidar datar tanpa menoleh. “Kalau berani.”
Emily berdiri dengan gemas, tapi juga tak benar-benar punya nyali. Ia malah menarik napas kesal dan duduk kembali, sambil menepuk pipinya sendiri.
“Astagfirullah, ini laki-laki bikin tekanan darah naik.”
Haidar menoleh pelan. Tatapannya lembut, tapi penuh teka-teki. Ia menghampiri Emily, membuat gadis itu langsung siaga.
“Emily...” gumam Haidar.
Emily buru-buru menutup wajah Haidar dengan kedua telapak tangannya.
“Jangan tatap aku pakai mata itu!”
“Kenapa?”
“Bikin deg-degan.”
“Bagus, berarti fungsinya berhasil.”
“Astagfirullah!” Emily berbalik, menutup mukanya pakai cushion bedak. “Bapak gak boleh ganggu aku pagi-pagi!”
“Dan jangan panggil aku bapak terus.” sahut Haidar.
“Kalau masih ragu soal cinta, tetap aku panggil bapak.” jawab Emily.
“Jadi kita jadian atau enggak?”
Emily melongo. “Hah?”
“Kita bisa belajar saling mencintai, kan? Kita disatukan memang tanpa cinta... tapi bukan berarti gak bisa tumbuh.”
Emily diam. Lalu bertanya dengan nada menggoda tapi serius.
“Bapak Batu, punya pacar gak?”
Deg!
Pertanyaan itu membuat tangan Haidar berhenti mengusap wajah. Ia menatap bayangan Emily di cermin.
"Pernah."
Emily menunggu kelanjutannya. Haidar menarik napas panjang, lalu berkata pelan, "Namanya Sherin. Dia pacarku waktu kuliah. Tapi dia pergi tanpa kabar. Gak pamit, gak menjelaskan apa pun."
"Kok bisa?" tanya Emily.
"Karena dia gak mau aku jadi guru. Dia maunya aku jadi CEO. Waktu itu, aku masih idealis, masih pengen ngajar. Papa juga masih hidup dan dukung aku sepenuhnya. Jadi ya, aku pilih jalan ini... dan dia menghilang tanpa kabar sampai sekarang."
Emily diam. Ada rasa tidak nyaman di dadanya. Tapi ia tetap bertanya, meski degup jantungnya makin cepat.
"Masih cinta?"
Haidar menatap Emily dalam-dalam, langsung. Tak ada senyum, tak ada ragu.
"Entah. Mungkin pernah. Tapi sudah lama aku gak merasakan apa-apa."
Emily mengangguk pelan. Ia kembali menatap cermin, pura-pura merapikan rambut padahal pikirannya ke mana-mana.
"Kalau begitu, gak usah jadian, deh," ucapnya tiba-tiba.
"Kenapa?" tanya Haidar sambil memiringkan kepalanya.
"Takut. Takut pas lagi sayang-sayangnya, tiba-tiba Sherin-sherin itu muncul. Terus bapak balik lagi sama dia."
Haidar terdiam sejenak. Lalu perlahan-lahan, ia duduk lebih dekat dan memangku Emily dari belakang.
"Ish! Bapak, jangan!" Emily terkejut. "Bapak belum pakai baju!" tubuhnya tiba-tiba meremang saat tangan Haidar melingkar di perutnya.
"Tapi hatiku udah tertutup buat orang lain," bisiknya lembut, meletakkan dagunya di bahu Emily.
"Bapak, jangan kayak gini... please..." suara Emily bergetar, antara menahan malu dan bingung dengan perasaannya sendiri.
"Jangan panggil aku bapa terus. Panggil aku 'Mas' amu suami kamu."
"Gak bisa..."
"Kenapa?"
"Aku belum siap sayang. Belum siap kecewa."
"Justru karena kamu belum siap kecewa, aku akan belajar lebih keras untuk jadi suami yang siap mencintaimu dan menjaga hatimu."
Emily tak bisa menahan air matanya. Ia menunduk. Tapi tangannya perlahan menggenggam tangan Haidar yang memeluknya.
"Tapi Ba-eh, Mas harus janji..." gumamnya.
"Apa pun."
"Jangan pernah pergi kayak Sherin-sherin itu. Kalau aku salah, tegur. Kalau aku bodoh, bimbing. Tapi jangan tinggalkan aku tanpa kata."
"Aku janji. Kita ini bukan cuma sepasang suami istri. Kita dua orang yang sedang belajar mencintai. Dan aku gak akan berhenti belajar."
Emily mendesah, lalu mengangguk pelan.
"Mas..."
"Hm?"
"Tapi abis ini... tolong pakai baju, ya?"
"Siap. Tapi kamu jangan pergi."
"Aku gak ke mana-mana." Emily tersenyum kecil, masih dengan mata berkaca-kaca. "Aku cuma lagi belajar percaya."
Cup!
Haidar mengecup pipi Emily dan mengangguk. "Bismillah... Kita mulai dari awal, ya. Kita niatkan untuk ibadah. Aku sudah meyakinkan diriku untuk pernikahan ini dan kamu adalah jodohku." ucap Haidar.
Emily melepaskan tangan Haidar yang melingkar di perutnya. Kemudian ia mencivmnya dengan takjim. Bukan lagi karena Haidar gurunya, tapi sebagai suaminya.
***
Setelah Haidar selesai memakai baju, keduanya keluar kamar dan menuju meja makan.
Soraya terlihat sedang menata makanan di meja dan Emily langsung menyapanya.
"Selamat pagi, Ma..." Emily mengulurkan tangannya untuk bersalaman.
Soraya menoleh dan tersenyum hangat lalu ia menerima uluran tangan Emily. "Pagi juga, Sayang. Cantik banget anak gadis mama," ia menjawil pipi Emily dengan gemas.
"Hehe, mama bisa aja. Terimakasih, mama juga cantik." Soraya tersenyum bahagia. Sejak dulu dia ingin mempunyai anak perempuan tapi ternyata dia hanya mempunyai anak satu.
Soraya mengangguk dan menuntun Emily untuk duduk. Ketiganya duduk dan mulai sarapan. Suasana sarapan cukup tenang, tapi sesekali diselingi obrolan ringan.
“Emily, di sekolahnya bagaimana, sudah pada tahu kamu menikah?”
Emily menggeleng cepat. “Belum, Ma. Aku gak cerita. Aku belum siap dengan respon mereka. Ditambah Disa juga masih cari-cari celah buruk aku.”
Soraya mengangguk. “Iya, mama juga ngerti. Tapi nanti pasti ketahuan juga. Kamu harus siap, ya."
Emily mengangguk. Dia juga sudah menyiapkan mentalnya sejak kemarin. "Makanya aku selalu bawa motor sendiri, Ma. Aku masih ingin tenang sejenak setelah gosip kemarin."
Soraya mengangguk dan tersenyum lembut. "Benar, Sayang. Maafin papa, ya. Papa sudah menarik kamu ke dalam situasi ini. Tapi mama juga berterimakasih banyak karena sudah memenuhi keinginan terakhir papa."
Emily menoleh, ia menggenggam tangan Soraya. "Gak papa, Ma. Mama jangan merasa bersalah. Aku tahu ini sudah takdir aku dan aku juga mungkin harus mulai menjaga sikap supaya tidak ditegur habis-habisan sama yang di atas.
Soraya terkekeh mendengar jawaban Emily. Kemudian ia beralih menatap Haidar.
“Kalau kamu bagaimana, Dar?”
“Semua guru sudah tahu , Ma. Aku yang memberitahu Bu Yuni supaya tidak terjadi masalah kedepannya.”
“Alhamdulillah... Tapi bagaimana tanggapan mereka?"
“Awalnya mereka marah sama aku, Ma. Tapi aku bilang wasiat pa-pa. Mereka jadi prihatin sama aku.”
Emily dan Soraya terbelalak mendengar jawaban Haidar. Keduanya akhirnya tertawa sedangkan Haidar hanya menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
***
Setelah menyelesaikan sarapan, Emily pamit ke kamar sebentar untuk mengambil tas. Sementara itu, Haidar mencuci gelas bekas minum. Soraya berdiri di sampingnya.
“Dar...” katanya pelan.
“Ya, Ma?”
“Mama tahu pernikahan ini mendadak. Tapi mama percaya, kamu bisa jagain Emily baik-baik.”
Haidar mengangguk pelan. “InsyaAllah, Ma. Aku juga masih belajar. Tapi aku akan coba.”
Tak lama, Emily keluar dengan tas di pundaknya dan wajah siap berangkat.
“Aku berangkat dulu ya, Ma.” Emily mengulurkan tangannya, berpamitan.
Soraya menerima uluran tangannya.“Iya, hati-hati. Bareng Haidar aja, ya?”
Emily melirik Haidar sebentar, lalu menggeleng. "Belum siap, Ma. Biarkan ini menjadi rahasia terlebih dahulu."
Haidar membuka pagar, Emily menuntun motornya di belakangnya. Emily berangkat lebih dulu di susul Haidar di belakangnya. Soraya berdiri di ambang pintu sambil memperhatikan keduanya.
Ada senyum tipis di wajah Soraya. Entah lega, atau khawatir. Tapi pagi itu, ia memilih percaya bahwa keduanya akan saling mencintai dan membangun rumah tangga bersama.
***
"Emily... Tadi gue lihat Disa bertemu sama Kak Rafael di taman."
Bersambung