Dalam diamnya luka, Alina memilih pergi.
Saat menikah satu tahun lalu, ia dicintai atau ia pikir begitu. Namun cinta Rama berubah dingin saat sebuah dua garis merah muncul di test pack-nya. Alih-alih bahagia, pria yang dulu mengucap janji setia malah memintanya menggugurkan bayi itu.
"Gugurkan! Aku belum siap jadi Ayah." Tatapan Rama dipenuhi kebencian saat melihat dua garis merah di test pack.
Hancur, Alina pun pergi membawa benih yang dibenci suaminya. Tanpa jejak, tanpa pamit. Ia melahirkan seorang anak lelaki di kota asing, membesarkannya dengan air mata dan harapan agar suatu hari anak itu tahu jika ia lahir dari cinta, bukan dari kebencian.
Namun takdir tak pernah benar-benar membiarkan masa lalu terkubur. Lima tahun kemudian, mereka kembali dipertemukan.
Saat mata Rama bertemu dengan mata kecil yang begitu mirip dengan nya, akhirnya Rama meyakini jika anak itu adalah anaknya. Rahasia masa lalu pun mulai terungkap...
Tapi, akankah Alina mampu memaafkan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rere ernie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter - 18.
Dua minggu terasa seperti dua hari.
Begitu keputusan dimajukan, rumah keluarga Mahesa mendadak berubah seperti kantor event organizer. Semua orang sibuk, bahkan Nyonya Ayunda terlihat lebih galak daripada komandan pasukan elit.
“Viola! Itu undangan jangan sampai ada yang typo! Salah nama satu huruf saja... bisa jadi bahan gosip satu kota!” seru Nyonya Ayunda, sementara Viola duduk di depan laptop dengan wajah kusut.
“Mah... kalau Mama mau hasil sempurna, Mama coba ketik sendiri deh. Aku udah tiga kali ngetik ulang, bisa-bisa nanti aku bermimpi buruk!” gerutunya sambil menghela napas.
“Viola...”
Nada suara Nyonya Ayunda menurun satu oktaf, tapi tajam. Viola langsung kembali duduk tegak lurus di kursinya. “Baik, Mah. Aku ngetik ulang lagi...“
Di sisi lain, Davin yang baru saja pulang kerja diseret ke ruang tamu oleh ibunya. “Kamu harus ikut milih kain seragam keluarga!“
“Mama, aku ini laki-laki. Aku nggak bisa bedain antara broken white sama ivory, sama aja semua!” Protes Davin sambil menatap tumpukan kain yang baginya terlihat mengerikan.
“Jangan banyak alasan, suami yang baik harus punya selera warna. Kalau kamu bisa bedain proyek bangunan sampai milimeter, masa bedain warna aja nggak bisa?”
Davin hanya bisa menghela napas, ia melirik Alina yang berdiri di pojok ruangan sedang tersenyum geli melihatnya kewalahan.
“Alina... tolong aku,” lirihnya seperti minta pertolongan darurat.
Alina perlahan berjalan mendekat, lalu berbisik. “Sabar, Mas. Ini baru pemanasan, nanti Mama pasti tes mentalmu yang lain lagi.”
Pria itu menghela nafas panjang, baginya persiapan pernikahan lebih rumit dari pertarungan bisnis mendapatkan tender.
Esoknya gaun pengantin Alina hampir selesai, saat sesi fitting semua keluarga ikut hadir. termasuk Daffa yang sibuk berlarian memegang sepatu hak tinggi ibunya.
“Daffa! Jangan lari-lari, Nak!” Alina panik, tapi bocah lima tahun itu malah tertawa terbahak-bahak sambil mengangkat sepatu hak seperti trofi.
“Mas Davin! Tolong anak kita!”
Davin yang sibuk berdiri dengan jas pengantin mencoba mengejar Daffa, tapi ujung jasnya malah tersangkut di kursi. “Alina, aku nggak bisa gerak! Ini jasnya ketarik!”
Nyonya Ayunda hanya menggeleng sambil memegangi pelipis. “Astaga... sepertinya aku harus bawa-bawa peluit kayak pelatih sepak bola supaya semuanya tertib.”
Satu hari sebelum pernikahan.
Semua orang dikumpulkan di aula pernikahan, Nyonya Ayunda berjalan mondar-mandir membawa catatan.
“Davin! Kamu jalannya jangan seperti mau inspeksi proyek, itu pernikahanmu! Senyum full, angkat dagu sedikit!”
Davin mencoba mengikuti, tapi malah tersandung karpet. Viola sampai terpingkal-pingkal. “Dav... kalau gini, Mama bisa ganti kamu sama patung lilin!”
Alina hanya menutup mulut menahan tawa, sementara Davin menatapnya dengan tatapan penuh protes. “Kamu ketawa ya? Jangan salah, nanti kamu juga bakal di tes sama Mama.”
“Ehem!” suara Nyonya Ayunda memecah suasana, semua orang langsung terdiam. “Besok... semuanya harus sempurna. Ingat, ini bukan sekadar pesta. Ini bukti kalau kita bisa melewati semua rintangan dengan kepala tegak!”
Semua mengangguk serius tapi setelah Nyonya Ayunda pergi, Viola langsung berbisik pada adik laki-lakinya. “Kalau Mama kayak gini terus, aku yakin dia bisa buka jasa pelatihan pernikahan kilat... bakal laris!”
Davin hanya mendesah. “Mbak... aku butuh doa, bukan sarkasme.”
Alina terkekeh melihat Davin yang tampak tertekan namun tetap terlihat bahagia.
•
Hari pernikahan pun tiba, langit cerah seperti mendukung hari istimewa itu. Aula pernikahan keluarga Mahesa disulap menjadi istana kristal. Lampu gantung berkilau di langit-langit, dinding dihiasi bunga mawar putih dan lily segar yang memancarkan aroma lembut.
Ketika pintu dibuka, semua mata terhenti. Alina melangkah perlahan, kebaya putihnya seakan memantulkan cahaya dari lampu kristal. Wajahnya terlihat tenang, meski dalam hati ia berdebar kencang. Daffa menggandeng tangannya erat-erat, memberi keberanian.
Davin sudah duduk di kursi tempat akad nikah akan dilangsungkan, ia tak mampu menyembunyikan senyumannya yang tulus. Saat pandangan mereka bertemu, keraguan Alina yang sempat menghantui di hari-hari sebelumnya sirna begitu saja.
Akad berlangsung khidmat.
Suara penghulu yang mantap, tangan Davin yang menggenggam dengan penuh keyakinan. Begitu ijab kabul terucap dengan satu tarikan napas, lalu terdengar "SAH!".
Semuanya mengucap syukur.
Dilanjutkan acara resepsi, karpet merah terbentang panjang dipenuhi kilau cahaya. Semua undangan, dari pejabat, rekan bisnis, sampai teman dekat hadir dengan pakaian terbaik mereka. Kilatan kamera, musik lembut dari orkestra dan aroma hidangan mewah memenuhi udara. Davin dan Alina berjalan beriringan menyapa tamu, menerima ucapan selamat satu per satu.
“Lihat, Nyonya insinyur... hari ini semua orang tahu kamu wanita paling berharga di sini.”
Alina terkekeh seraya tersenyum hangat, namun tiba-tiba senyumnya perlahan memudar ketika ia melihat sosok yang berdiri di ujung ruangan. Seorang pria tinggi, berjas hitam sederhana sedang menatap ke arahnya dengan tatapan sulit diartikan.
Itu Rama.
Bukan hanya Alina yang terkejut, Davin pun langsung menyadarinya. Rama yang seharusnya tak diundang, kini melangkah mendekat. Ruangan perlahan terasa hening, bisik-bisik mulai terdengar di antara para tamu.
“Kenapa dia datang? Apa dia mau bikin keributan?” Bisik Viola pelan.
Rama berhenti tepat di hadapan Davin dan Alina.
Tatapan Rama lurus ke arah Alina, membuat dada wanita itu berdegup tak karuan. Namun, yang terjadi selanjutnya justru di luar dugaan.
“Aku hanya ingin mengucapkan selamat, semoga kalian bahagia.” Kata Rama datar.
Ia mengulurkan tangan pada Davin, semua orang terdiam menunggu reaksi. Davin menatapnya sejenak, lalu menjabat tangan itu dengan mantap.
“Terima kasih, Rama.“ Jawabnya tegas.
Rama mengangguk, lalu menatap Alina. Ada kilatan penyesalan di matanya, tapi ia tak mengatakan apa-apa.
“Jaga dirimu, Alina." Ia hanya berbisik pelan, lantas berbalik pergi.
Begitu Rama melangkah pergi, riuh rendah menguasai ruangan. Nada percakapan para tamu terdengar berbeda. Ada bisikan-bisikan halus yang semula tertahan, kini terdengar lebih jelas. Gosip pun mencuat, menyebar seperti gelombang kecil yang tak bisa dibendung. Mereka tahu, Rama bukan sekadar tamu biasa, pria itu adalah mantan suami dari Alina.
Begitulah dunia bisnis, selalu ada mata yang mengintai dan telinga yang siap menangkap kabar apa pun. Kehidupan pribadi Davin tak luput dari sorotan, kisah tentang Alina yang menyandang status janda sudah beredar sejak beberapa hari terakhir.
“Kenapa mantan suami Nyonya Alina datang?”
“Wah, jadi ini pernikahan rebutan?”
“Sepertinya keluarga Mahesa sengaja memamerkan ini di depannya...”
Alina sempat pucat, tapi Davin menggenggam tangannya erat. “Biarkan saja mereka bicara, aku janji akan selalu melindungi mu dari semua gosip itu. Mulai hari ini... kamu tak lagi berjuang sendirian.”
Daffa yang mendengar ikut mengangguk. “Iya, Bunda. Ada Daffa juga, lho!”
Alina akhirnya tersenyum di tengah gejolak itu, ia tahu... jalan ke depan mungkin tidak sepenuhnya mulus. Tapi ia kini punya Davin, Daffa dan keluarga yang mendukungnya.
Tak ada lagi insiden yang terjadi sampai akhirnya pesta usai, hingga momen malam pertama pengantin pun tiba.
Setelah pesta pernikahan selesai, Davin dan Alina akhirnya berada di kamar pengantin yang sudah disiapkan dengan penuh cinta. Ruangan itu terasa hangat, diterangi cahaya lampu temaram berwarna keemasan. Kelopak mawar putih tersebar di lantai dan ranjang, menciptakan suasana yang intim namun tetap elegan.
Alina berdiri di dekat jendela, melepas antingnya perlahan. Gaun pengantin malam yang tadi tampak sempurna kini sedikit kusut.
“Aku merasa... bermimpi, Mas.“ Bisiknya sambil memandang pantulan dirinya di kaca.
Davin mendekat pelan dari belakang, lalu memeluk pinggang Alina dengan lembut. “Kalau ini mimpi, aku tidak mau bangun.“
Alina tersenyum tipis, pipinya memerah. “Mas Davin...”
Davin membalikkan tubuh istrinya, ia menatap intens wajah Alina lalu mengangkat tangan wanita itu ke bibirnya mengecup perlahan. Satu tangannya, menyapu helaian rambut yang jatuh di pipi Alina dengan jemarinya.
“Alina, hari ini... kamu sudah jadi milikku sepenuhnya. Tapi jangan takut, aku tak akan pernah memaksamu. Aku hanya ingin malam ini kita saling memahami... lebih dalam.”
Alina menatapnya dengan mata bergetar. “Aku percaya padamu, Mas.“
Davin menunduk dan mengecup kening Alina, ciuman yang lembut dan penuh rasa memiliki. Mereka berdua lalu duduk di tepi ranjang, saling menatap tanpa kata-kata... seolah sedang menyerap kehadiran satu sama lain. Suasana penuh ketenangan, hanya suara nafas mereka yang terdengar.
Davin akhirnya menarik Alina ke dalam pelukannya, menutup mata istrinya dengan telapak tangannya yang hangat lalu berbisik pelan di telinga wanita itu. “Istriku... mulai malam ini, hidupmu akan selalu dilimpahi kebahagiaan.“
Alina menahan haru yang mendesak di dadanya, ia memeluk balik Davin dengan penuh keyakinan. Malam itu mereka berbagi cerita, tawa kecil, hingga akhirnya saling menyerahkan hati dan tubuh dengan cara paling tulus. Tidak ada yang terburu-buru, hanya cinta yang mengalir pelan.
Meski masih banyak kekurangan, Davin yang canggung dalam kebersamaan penyatuan itu tetap berusaha sebaik mungkin. Alina yang lebih berpengalaman pun akhirnya mengambil peran untuk menuntun sang insinyur yang masih polos, membawa Davin semakin dalam memaknai hubungan intim suami istri.
Esok Harinya.
Pagi itu, Davin dan Alina siap berangkat untuk bulan madu.
Daffa sudah dititipkan pada Nyonya Ayunda dengan wajah cemberut karena ingin ikut. “Ayah, Bunda! Jangan lama-lama, ya! Daffa nggak bisa tidur kalau nggak di peluk Bunda!“
Alina mengusap kepala putranya lembut, lalu mengecup pipinya. “Daffa sayangnya Bunda, kami cuma sebentar. Daffa sama Eyang dulu... ya. Harus nurut sama Eyang Putri, sama Eyang Kakung. Sama Tante Viola dan Bang Raka juga.“
Davin tersenyum melihat interaksi keduanya, ia mengecup pipi anak sambungnya lalu menggandeng Alina ke arah mobil. Namun... baru saja keduanya duduk di dalam mobil, sebuah chat masuk ke dalam ponsel Davin.
Nama pengirim tidak dikenal.
Isi chat itu berisi kata-kata provokatif.
[ Selamat atas pernikahan kalian... tapi jangan terlalu senang dulu. Kalian pikir, cinta kalian tak akan diganggu? Aku selalu bisa mengambil kembali apa yang seharusnya jadi milikku, ini baru permulaan...]
Seketika Davin memeluk Alina. "Jangan takut, tak ada yang bisa memisahkan kita.“
...••••••••••••...