Aku tidak pernah percaya bahwa pernikahan bisa jadi sekejam ini. Namaku Nayla. Hidupku berubah dalam semalam saat aku dipaksa menikah dengan Reyhan Alfarezi, seorang pria dingin, keras kepala, dan kejam. Baginya, aku hanya alat balas dendam terhadap keluarga yang menghancurkan masa lalunya. Tapi bagaimana jika perlahan, di antara luka dan kemarahan, ada sesuatu yang tumbuh di antara kami? Sesuatu yang seharusnya tak boleh ada. Apakah cinta bisa muncul dari reruntuhan kebencian? Atau aku hanya sedang menipu diriku sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rima Andriyani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26
Langit kota asing itu cerah, tetapi hawa dingin menyambut Nayla dan Reyhan ketika mereka keluar dari bandara. Udara di sana terasa berbeda, tenang, namun menggambarkan babak baru yang tak mudah untuk dilalui.
Reyhan menggandeng tangan Nayla dengan erat, membantunya menaiki mobil yang telah disiapkan untuk menjemput mereka. Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, Nayla memilih untuk diam. Ia memandangi pemandangan kota dari balik jendela, sesekali menarik napas dalam, seolah ingin menguatkan dirinya.
“Besok pagi, kita mulai pemeriksaan,” ucap Reyhan pelan, memecah keheningan. “Dokternya sudah siap. Dia sangat berpengalaman.”
Nayla mengangguk kecil, masih menatap lurus ke depan. “Baik...”
Mobil berhenti di depan gedung rumah sakit yang megah, namun hangat. Seorang perawat menyambut mereka dan langsung mengarahkan ke ruang rawat yang telah dipersiapkan. Ruangan itu tenang, bersih, dan menghadap taman kecil dengan kolam air mancur.
“Kamarnya bagus,” kata Nayla mencoba tersenyum, meski suaranya terdengar lemah.
Reyhan menggenggam tangannya. “Kamu harus nyaman di sini. Ini rumah kita sementara waktu.”
Setelah perawat meninggalkan mereka, Reyhan membantu Nayla duduk di ranjang. Ia lalu mengatur selimut, menaruh koper, dan memastikan semua kebutuhan Nayla tersedia. Diam-diam, ia juga menghubungi Mama dan Papa, memberi kabar bahwa mereka sudah sampai dengan selamat.
“Dokter akan datang sore nanti untuk memulai observasi awal. Setelah itu kita jadwalkan pengobatan,” ucap Reyhan dengan nada lembut, namun penuh tekad.
Nayla menatap wajah suaminya lama. “Kamu lelah, Rey…”
Reyhan menggeleng. “Tidak. Aku hanya akan lelah jika kamu menyerah.”
Mata Nayla kembali berkaca-kaca. Ia tahu perjalanan ini akan berat, tetapi kehadiran Reyhan membuat semuanya terasa sedikit lebih mudah.
“Rey…” panggil Nayla pelan. “Kalau nanti aku tidak kuat... jangan salahkan dirimu, ya?”
Reyhan langsung berlutut di hadapannya, menggenggam tangan Nayla erat-erat. “Jangan bicara seperti itu. Kamu akan kuat. Kita lewati ini bersama. Aku percaya.”
Nayla menunduk, air matanya jatuh tanpa suara.
Reyhan menghapusnya dengan lembut. “Kamu tidak sendiri. Selalu ingat itu.”
Di luar jendela, angin musim semi berembus lembut, menggoyangkan dedaunan. Dan di dalam ruangan itu, dua hati yang saling mencintai memilih untuk berjuang, bersama.
***
Sore hari itu, ruang rawat Nayla terasa lebih dingin dari biasanya. Ia duduk di ranjang dengan gaun rumah sakit, tangan kirinya menggenggam tangan Reyhan erat-erat. Matanya memandang ke arah pintu, menanti dokter yang akan memulai sesi pemeriksaan pertamanya di negara asing ini.
Ketika pintu terbuka, seorang pria paruh baya dengan senyum ramah masuk. Di belakangnya, seorang perawat membawa berkas rekam medis Nayla.
"Selamat sore, Tuan dan Nyonya," sapa dokter dalam bahasa Inggris yang kemudian langsung beralih ke bahasa Indonesia yang fasih. "Saya Dr. Kazuhiro, yang akan menangani pengobatan Ibu Nayla di sini. Saya sudah menerima semua hasil laboratorium dan pemindaian dari Jakarta."
Nayla mencoba tersenyum sopan. Reyhan hanya mengangguk singkat, menahan rasa cemas yang sejak tadi memenuhi dadanya.
Dr. Kazuhiro duduk di kursi di depan mereka. Ia membuka map besar dan mulai menjelaskan dengan nada tenang, tapi serius.
“Kondisi Ibu Nayla cukup kompleks. Namun, kami percaya masih ada peluang, selama kita bertindak cepat dan disiplin. Kami akan memulai dengan terapi sistemik, dan jika tubuh merespons dengan baik, kami akan mempertimbangkan tindakan lanjutan seperti transplantasi atau imunoterapi.”
Reyhan mengangguk, menelan setiap kalimat dengan saksama. “Berapa persen kemungkinannya, Dok?”
Dr. Kazuhiro menatap mereka dengan tatapan jujur. “Kami tidak bisa menjanjikan angka pasti, tetapi berdasarkan riwayat pasien dan respons terhadap pengobatan sebelumnya, sekitar empat puluh persen jika semua berjalan lancar.”
Nayla menarik napas panjang, dan Reyhan langsung menggenggam tangannya lebih erat.
“Apa kita bisa mulai besok?” tanya Reyhan, tanpa ragu.
Dokter itu tersenyum kecil. “Bisa. Kami akan memulai terapi tahap awal besok pagi. Mohon tetap kuat, dan terus jaga semangat Ibu Nayla. Itu sangat penting.”
Setelah dokter pergi, Nayla menatap Reyhan lama. Matanya menyimpan kekhawatiran, tapi juga secercah harapan.
“Empat puluh persen, Rey... kecil sekali,” gumamnya.
Reyhan bangkit, lalu duduk di ranjang, menghadap Nayla dan memegang wajahnya.
“Empat puluh persen itu cukup. Cukup untuk kita perjuangkan. Bahkan jika cuma sepuluh persen, aku tetap akan menggenggamnya.”
Air mata Nayla kembali jatuh, dan Reyhan tak membiarkannya mengalir sendirian.
“Kamu tidak sendiri. Dan kamu tidak akan pernah sendiri,” bisiknya.
---
Pagi itu, mentari belum sepenuhnya terbit ketika Reyhan menggenggam tangan Nayla yang masih terpejam. Wajah Nayla tampak pucat, tetapi tetap terlihat tenang. Beberapa jam lagi, pengobatan tahap awal akan dimulai.
Reyhan mencium punggung tangannya lembut. “Bangunlah, Sayang. Kita akan mulai langkah pertama untuk sembuh hari ini.”
Nayla membuka matanya perlahan. Ada gugup dalam matanya, tapi ia tersenyum melihat Reyhan. “Aku siap,” bisiknya.
Sekitar pukul delapan pagi, tim medis datang dan membawa Nayla ke ruang terapi. Reyhan berjalan di sampingnya, menenangkannya sepanjang perjalanan. Beberapa alat medis telah dipersiapkan. Dr. Kazuhiro menyapa mereka dengan ramah dan menjelaskan prosedur yang akan dilakukan hari itu.
Sementara Nayla menjalani pengobatan di dalam ruangan khusus, Reyhan keluar sejenak ke taman rumah sakit dan mengeluarkan ponselnya.
Panggilan video terhubung. Muka Mama dan Papa Nayla muncul di layar.
“Bagaimana kondisi Nayla hari ini, Rey?” tanya Mama dengan suara pelan tapi penuh kekhawatiran.
“Pagi ini dimulai terapi pertamanya. Dokter bilang prosesnya cukup panjang dan akan melelahkan,” jawab Reyhan lembut.
Papa Nayla mengangguk pelan. “Jaga dia baik-baik, Rey. Jangan biarkan dia merasa sendiri.”
“Pasti, Pa,” balas Reyhan. “Tapi... saya juga butuh doa Papa dan Mama. Saya tahu saya bukan suami sempurna untuk Nayla, tapi saya mohon, berdoalah agar saya bisa membawa putri Papa dan Mama kembali dengan sehat.”
Mama Nayla tak kuasa menahan air matanya. Ia cepat-cepat menghapusnya dan mencoba tersenyum. “Kami percaya kamu bisa, Reyhan. Kamu sudah melakukan lebih dari cukup.”
Reyhan mengangguk. “Nayla masih percaya bahwa kalian tidak tahu tentang penyakitnya. Tolong terus jaga itu. Jangan tunjukkan kesedihan kalian di depannya.”
“Kami mengerti,” sahut Papa Nayla. “Yang penting sekarang Nayla bisa tetap kuat. Dan kami percaya, kamu adalah orang yang paling tepat untuk mendampingi dia melewati ini.”
Setelah mengakhiri panggilan itu, Reyhan menatap ke langit. Ia menarik napas dalam-dalam, menguatkan hatinya.
“Aku akan menyelamatkanmu, Nayla... bagaimanapun caranya.”
Tak lama, perawat memanggil Reyhan. Ia segera kembali ke ruang perawatan, tempat Nayla terbaring lemah namun masih menyimpan senyum kecil ketika melihat Reyhan datang.
“Kamu tidak pergi, kan?” bisik Nayla.
Reyhan menggeleng pelan, lalu meraih tangannya. “Tidak akan pernah.”
Hari pertama pengobatan dimulai, dan dengan cinta dan harapan yang tumbuh kuat, mereka akan memulai perjalanan panjang menuju kesembuhan.