Apakah kamu pernah mengalami hal terburuk hingga membuatmu ingin sekali memutar-balik waktu? Jika kamu diberikan kesempatan kedua untuk hidup kembali di masa lalu setelah sempat di sapa oleh maut, apa yang akan kamu lakukan terlebih dahulu?
Wislay Antika sangat mengidolakan Gustro anggota boy band terkenal di negaranya, bernama BLUE. Moment dimana ia akhirnya bisa datang ke konser idolanya tersebut setelah mati-matian menabung, ternyata menjadi hari yang paling membuatnya hancur.
Wislay mendapat kabar bahwa ibunya yang berada di kampung halaman, tiba-tiba meninggal dunia. Sementara di hari yang sama, konser BLUE mendadak dibatalkan karena Gustro mengalami kecelakaan tragis di perjalanan saat menuju tempat konser dilaksanakan, hingga ia pun meregang nyawanya!
Wislay yang dihantam bertubi-tubi oleh kabar mencengangkan itu pun, memilih untuk mengakhiri hidup dengan melompat dari gedung. Namun yang terjadi justru diluar dugaannya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ws. Glo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
IILA 11
Waktu seolah berjalan tanpa terasa. Semenjak keluar dari rumah sakit, semangat hidup Wislay seperti kembali membara. Ia bukan hanya bangkit, tapi juga melesat. Hari-hari yang sebelumnya diisi dengan rutinitas biasa, kini berubah menjadi penuh rencana, impian, dan… paket belanja online.
Hari itu, di kamar kostnya yang sederhana namun nyaman, Wislay tampak sumringah. Ia baru saja menerima paket yang ia tunggu-tunggu dari semalam. Begitu kurir menyerahkan kotak itu ke tangannya, Wislay hampir meloncat kegirangan. Ia membawanya masuk ke kamar sambil bernyanyi pelan.
Dengan penuh antusias, ia membuka paket itu menggunakan gunting kecil, menyobek lakban dengan hati-hati seolah menyentuh harta karun.
“Yesss!” serunya, begitu tutup kardus terbuka sepenuhnya.
Di dalamnya, tersusun rapi berbagai manik-manik warna-warni, benang elastis, kawat tipis, pengait kecil, pita, ring, dan alat penjepit mungil yang digunakan untuk merangkai perhiasan. Bentuk manik-maniknya bermacam-macam—ada yang berbentuk hati, bunga, bintang, dan bahkan alfabet lucu-lucu.
Wislay mengelus manik-manik itu dengan penuh cinta.
"300 ribu bukan pengeluaran, tapi investasi," gumamnya semangat.
Ia tersenyum, teringat sesuatu. Di kehidupan sebelumnya, tren aksesoris manik-manik baru meledak beberapa tahun kemudian. Banyak anak muda, terutama remaja putri, berlomba-lomba mengenakan gelang warna-warni. Dan kini, sebelum tren itu meledak, Wislay sudah bersiap. "Biar aku yang memulai lebih dulu," tekadnya.
Meja belajarnya kini berubah fungsi. Didorong ke dekat jendela agar pencahayaannya bagus, lalu ditata dengan rapi. Ia meletakkan tray kecil untuk membedakan manik-manik sesuai warna, bentuk, dan ukuran. Beberapa alat kecil lain ditaruh dalam kotak bening. Ia bahkan membuat area kecil untuk merangkai, dengan alas putih dan lampu handphone.
Dengan penuh kesabaran, ia mulai merangkai.
Gelang pertama yang ia buat cukup sederhana—kombinasi manik huruf dan warna pastel. “Be Kind” tertulis pada manik huruf kecil, dengan pola warna biru, putih, dan kuning. Setelah itu, ia mulai membuat kalung, lalu gantungan kunci, dan tali HP.
Butuh waktu berjam-jam, namun hasilnya memuaskan. Semua terlihat lucu dan penuh gaya.
Wislay pun mengambil foto-foto hasil kreasinya di atas kain putih dan alas kayu estetik yang ia pinjam dari dapur ibu kost. Ia mengatur pencahayaan seadanya dengan memanfaatkan sinar matahari sore yang masuk lewat jendela.
Jepret.
Jepret.
“Perfect!” katanya sambil tersenyum puas melihat hasil potret di ponselnya.
Ia menyimpan foto-foto itu sebagai sample. Rencananya, jika nanti sudah ada printer kecil dan bisa membuka akun toko online, ia akan menjadikan foto-foto itu sebagai katalog.
Untuk sementara, ia memutuskan menjual langsung. Dan langkah pertamanya?
Memajang hasil kreasinya di tempat kerja.
Di toko buku tempatnya bekerja, Wislay sudah lebih dulu meminta izin pada manajer toko beberapa hari sebelumnya. Ia bahkan membawa beberapa contoh produk dan menjelaskan idenya.
Manajernya, seorang pria paruh baya yang ramah namun tegas, tersenyum bangga waktu itu. “Kau anak yang penuh semangat, Wislay. Boleh, kamu boleh pasang di meja kasir. Tapi kamu harus rajin ngisi stok, ya.”
“Terima kasih, Pak!” Wislay membungkuk hampir 90 derajat saking senangnya.
Kini, di pojok kanan meja kasir, sebuah nampan kecil dengan label “Wish-Lay Aksesoris” berdiri manis. Ia menulis nama brand-nya sendiri dengan pulpen glitter warna perak, dihias stiker bintang kecil.
Wish-Lay Aksesoris.
Nama itu sederhana, tapi penuh makna. Gabungan dari namanya sendiri—dan kata wish yang berarti harapan. Harapan bahwa usaha kecil ini, walau dimulai dari kamar kost yang sempit dan modal terbatas, bisa menjadi sumber rezeki tambahan... bahkan siapa tahu, besar di masa depan.
Saat istirahat kerja, Wislay duduk di gudang belakang toko sambil melihat hasil penjualannya hari itu.
Dua gantungan HP laku.
Satu kalung terjual.
Dan satu anak kecil memesan gelang dengan nama “Naya” yang akan ia buat malam ini.
“Hidupku... akhirnya mulai melaju,” gumamnya sambil tersenyum puas.
Selepas jam makan siang, Wislay terduduk di bangku kasir seraya menunggu pergantian shift. Ia menggulir layar ponselnya pelan sambil sesekali mengintip deretan pelanggan yang datang dan pergi.
Namun suasana toko buku yang biasanya sunyi mendadak riuh. Beberapa pengunjung berbisik-bisik, bahkan ada yang tersipu melihat ke arah pintu masuk.
"Eh, itu siapa sih? Kayak idol Korea deh."
"Gila... tinggi, putih, keren banget!"
Wislay yang penasaran ikut melirik ke arah pintu dan… hampir menjatuhkan ponselnya.
Gustro.
Ia berdiri di ambang pintu dengan gaya santai, mengenakan jaket varsity hitam-putih, kaos putih simpel di dalamnya, celana jeans slim fit, dan sneakers putih yang kinclong. Rambutnya ditata rapi, dengan poni sedikit jatuh di dahi. Ia terlihat seperti baru keluar dari pemotretan majalah fashion.
"Gustro ala-ala idol?!"
"Dia memang selalu terlihat menonjol. Bahkan kalau dia make baju compang-camping pun akan tetap terlihat keren."
"Memang benar, wajah mendukung penampilan."
Wislay menahan kilatan cahaya yang terpancar dari Gustro. Ia lantas tersenyum sembari berdiri.
"Gustro! Ke sini!" panggilnya penuh gembira, melambai pelan.
Gustro berjalan mendekat. Seolah tak peduli dengan tatapan penuh kagum yang menempel padanya, ia tetap menjaga image cool-nya. Namun ketika berdiri di depan Wislay, ia mengulurkan tangan—sebuah cup minuman berwarna merah muda disodorkan padanya.
“Kau pasti haus,” katanya pelan.
Wislay menerima cup itu dengan mata berbinar. “Ihhh, Gustro... makasih banget! Kau sangat perhatian deh!”
Gustro buru-buru memalingkan wajah. Telinganya memerah.
“Aku cuma... tidak sengaja mampir tadi,” gumamnya, berusaha tetap cuek padahal hatinya sudah jungkir balik.
Ia pura-pura menengok rak buku.
“Kalau mau lihat-lihat, novel baru ada di rak pojok itu. Yang baru masuk hari ini,” ujar Wislay semangat.
Gustro hanya mengangguk pelan. Ia melangkah perlahan menuju rak buku, namun langkahnya terhenti ketika matanya menangkap sebuah sudut kecil di meja kasir.
“Wish-Lay Aksesoris?”
Ia mendekat, menatap dengan senyum samar.
Ada nampan kecil dengan gelang-gelang lucu, tali HP, dan gantungan kunci dari manik-manik yang ditata cantik. Bahkan ada label harga dan kartu nama mini di sampingnya.
Wislay yang menyadari tatapan Gustro langsung beranjak dari belakang meja.
“Itu... punyaku. Buat usaha kecil-kecilan. Biar ada tambahan jajan, hehe,” ucapnya malu-malu.
Gustro tertawa pelan. “Aku nggak nyangka. Dari luar kau kelihatan seperti gadis yang terlalu banyak mikirin hal serius... ternyata bisa juga bikin barang lucu begini.”
Wislay menyipitkan mata. “Kau... menertawakan aku ya?”
“Enggak!” Gustro mengangkat tangan buru-buru sambil menahan senyum. “Aku hanya... kagum aja. Sungguh.”
“Hmm.” Wislay mendengus manja.
Gustro menunjuk salah satu gantungan kunci. “Kalau begitu, aku mau beli yang satu ini.”
“Jangan!” Wislay tiba-tiba menyela.
Gustro menaikkan alis. “Kenapa?”
Karena, Wislay membuka laci kecil dan mengeluarkan sebuah kotak bening mungil.
“Aku sudah menyiapkan yang spesial untukmu.”
Ia membuka kotak itu dan mengeluarkan sebuah cincin manik-manik. Tali elastis berwarna bening yang dirangkai dengan manik-manik hitam-putih secara selang-seling, tampak bersinar. Elegan tapi tetap lucu.
“Ini... untuk kamu,” ujar Wislay sambil mengambil tangan kiri Gustro.
Dengan gerakan lembut dan penuh perhatian, ia memasangkan cincin itu ke jari manis Gustro.
“Orang yang berharga,” katanya pelan dengan senyum selembut kapas, “pantas mendapat sesuatu yang berharga juga.”
Deg.
Jantung Gustro berdetak tidak karuan. Wajahnya langsung memerah hebat. Ia terpaku memandangi cincin itu, lalu ke wajah Wislay.
"Kenapa dia bisa... sespontan ini?"
“Gustro?” tanya Wislay heran, karena pemuda itu mendadak diam.
Tanpa sepatah kata pun, Gustro membalik badan dan melangkah cepat keluar toko.
“Eh? Lah??”
Wislay terpaku di tempatnya.
“Dia... kenapa kabur? Apa dia sakit perut?”
Beberapa pengunjung menoleh penasaran, dan Wislay langsung kembali ke meja kasir seraya menggaruk kepala yang tak gatal.
Di luar toko, Gustro berhenti di balik tembok, menunduk, dan menyentuh cincin di jarinya.
“Cincin di jari manis...” gumamnya pelan.
“Seperti... bertunangan saja..."
"Hihi... dasar gadis aneh.”
Namun senyum yang mengembang di wajah Gustro adalah senyuman paling tulus selama hari itu.
~