Hidupku begitu hancur saat malam yang tak diiginkan menimpaku. Sayangku pada keluarga baru, telah menghancurkan cinta pada pria yang telah merenggut semangat hidupku.
Hidup yang selama ini terjaga telah hancur dalam sekejap mata, hanya keserakahan pria yang kucintai. Namun pada kenyataanya dia tak memilihku, akibat cintanya sudah terkunci untuk orang lain.
Apakah hidupku akan hancur akibat malam yang tak diiginkan itu? Atau akan bahagia saat kenyataan telah terungkap?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zhang zhing li, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kesedihan keluarga
Aku hanya bisa membenamkan wajah pada bantal. Raga serta perasaan yang begitu lelah, rasanya membuatku ingin segera menumpahkan dan menitikkan airmata.
"Kenapa aku bisa secengeng ini? Maafkan aku Karin ... maaf. Saat sikap bodohku ini telah menyakiti dan menyiksamu. Apa kamu baik-baik saja sekarang? Dimanakah kamu sekarang ini, dek? Kembalilah kerumah, biar aku bisa menebus kesalahan atas dosa-dosa ini dengan segera, kembalilah ... kembalilah Karin," gumanku dalam hati meminta dengan sedihnya.
Padahal Dari dulu dalam kamus hidupku tak pernah ada kata menangis, hanya karena urusan percintaan maupun kehidupan. Bagiku menangis hanya akan membuat diri ini semakin lemah dan lebay. Namun saat aku telah bodoh menyakiti hati Karin, kini bulir-bulir airmata itu kian lama kian semakin menyeruak deras.
Nyatanya kali ini aku begitu meluapkan segala tangis, agar hati ini merasa lega dan plong untuk mencoba memecahkan masalah. Masalah yang terungkap beberapa menit yang lalu, membuat diri ini begitu merasa tertampar. Pikiranku kini sedang bergelayut keras atas membayangkan jika saja Karin tidak ditemukan segera, bagaimanakah nasib hidupnya sekarang. Hatinya pasti akan selalu terpukul menanggung masalah sendirian, saat diriku tak berada disisinya yaitu disaat-saat dia terpukul atas kehamilannya.
Energiku sekarang terasa mulai terkuras, karena menangis menumpahkan segala emosi yang sesak dalam dada. Semua perasaan kesal yang menyumpal di hati, bisa terkeluarkan tanpa menyumbat hati yang mulai rapuh. Perasaanpun sedikit lebih terurai dan tidak kusut seperti waktu barusan terjadi akibat menumpahkan tangisan.
"Aku harus menemukan kamu, Karin. Iya, aku harus menemukanmu, bagimanapun itu caranya. Aku akan bertanggung jawab atas kecerobohanku pada waktu malam itu. Tak akan kubiarkan kamu menghadapi masalah kehamilan itu sendirian. Tunggu Karin, pasti aku akan menemukan kamu segera," cakapku dalam hati penuh keyakinan.
Aku kini lebih memilih membuka ponsel, untuk berselancar melihat nomor teman-temanku maupun Karin, siapa tahu ada yang sedang ditumpanginya untuk tidur. Satu per satu aku kirimkan pesan dan mencoba menghubungi mereka, namun jawabannya selalu saja sama tak ada Karin ditempat mereka.
Dalam benak pikiranku sekarang hanya ada satu, yaitu bisa menemukan Karin segera dan membawanya pulang. Pipi yang sakit sudah tak kupedulikan lagi atas rasanya, sebab yang terpenting sekarang dapat menemukan Karin yang sudah seharian penuh tak pulang kerumah.
Rasa putus asa menghubungi sana sini membuatku tak kehabisan akal untuk tetap mencarinya. Kini tubuh berusaha bangkit dari tempat tidur. Jaket hitampun sudah melekat dibadan, dengan kepala sudah tertutupkan helm motor untuk secepatnya meluncur dari tempat satu ketampat lain yaitu rumah teman-teman Karin. Sebab aku yakin sekali dihandphone mereka bisa saja berbohong, hingga aku kini harus membuktikan dengan mata kepalaku sediri apakah Karin ada atau tidak.
Malam kian berjalan makin pekat, dengan kesunyian jalan raya yang kian sepi tak banyak kendaraan yang lewat. Rumah demi rumah telah aku datangi, namun masih saja Karin tak kutemukan.
Ceklek, pintu rumah telah kubuka.
"Dari mana kamu, Adrian? Malam-malam begini baru pulang?" tanya papa yang kini berdiri kelihatan gelisah.
"Tadi kerumah teman Karin untuk mencoba mencarinya, apakah dia ada disana apa tidak!" jawabku lemah.
"Heeeh, baguslah kalau kamu ada usaha untuk mencarinya, berarti kamu tak melupakan tanggung jawabmu itu, nak!" ucap papa menepuk-nepuk pelan bahuku.
"Iya, pa. Adrian pasti akan tetap bertanggung jawab atas apa yang menimpa Karin," jawabku lemah sambil menundukkan kepala.
"Bagaimana dengan luka kamu itu? Maafkan papa yang telah memukulmu tadi. Papa sempat begitu khilaf melakukan itu, akibat emosi yang mengebu-gebu saat sudah menguasai jiwa, yaitu ketika mengetahui kamu tak ada rasa tanggung jawab pada Karin," tutur lembut papa ada rasa penyesalan terhadapku.
"Iya, pa. Adrian bisa memahami itu. Aku memang pantas mendapat pemukulan itu, yang seharusnya lagi Adrian mendapat hukuman lebih dari itu, atas apa yang kulakukan pada Karin," jawabku menyesali diri.
"Kalian masih muda, jadi sebuah kesalahan itu biasa terjadi. Tapi kalau bisa kamu memperbaiki kesalahan itu, agar suatu saat kamu tak akan menyesalinya. Ingatlah, suatu tindakan yang tak segera diperbaiki maupun meminta maaf, pasti ada timbal balik hukuman itu yang boleh dikatakan adalah karma, maka dari itu kita harus segera meminta maaf pada Karin dan memperbaiki semuanya," tutur nasehat papa.
"Iya, pa. Kamu benar."
"Papa takut sekali jika terjadi sesuatu pada Karin, yang mengingat dia sudah pernah melakukan usaha bunuh diri, maka dari itu kita harus bergerak cepat untuk menemukan dia. Tapi papa binggung harus memulai darimana mencarinya, sedangkan dia tak ada sanak saudara yang dijadikan perlindungan untuknya," kebingungan papa berkata.
"Benar sekali, pa. Apa yang kamu katakan soal kita akan menemukan dia, pasti banyak sekali kendala kita nanti menemukan Karin. Adrian benar-benar sangat menyesal sebab terlambat peka sekali atas apa yang terjadi pada Karin. Sungguh dia sekarang begitu menyiksa bathinku dengan rasa khawatir dan penyesalan," keluhku ikut bingung.
"Kamu yang sabar, Adrian. Papa yakin kita akan menemukan Karin secepatnya dan semoga saja dia akan baik-baik saja," ucap papa mencoba menenangkanku.
"Iya, pa. Makasih."
"Oh ya, kamu temui mama saja sekarang. Kelihatannya mama begitu syok dan tak terima atas masalah ini. Kamu bawakan makanan juga, sebab tadi papa ajak mama makam malam beliau tidak mau. Papa sekarang ada kerjaan ingin menghubungi anak buah untuk menemukan Karin, jadi kamu urus mama sebentar," suruh beliau.
"Baiklah, pa."
Sekarang aku disibukkan dengan aktifitas mengambil makanan didapur. Satu-persatu lauk sudah terjejer rapi diatas nampan, yang siap untuk kuberikan pada mama.
Tok ... tok, pintu kamar mama kuketuk.
Ceklek, pintu beliau kubuka tanpa menunggu jawaban dari dalam.
"Mama ... mama, ayo makan!" panggilku pelan.
Mama hanya diam saja tak menanggapi panggilanku, dengan cara tidur membelakangi tubuhku yang tengah sibuk memegang nampan.
"Ma ... mama, ayo makan ma!" ajakku lagi.
Bruk ... prang, dengan tiba-tiba mama telah menampik nampanku, hingga kini makanan telah berserakan dilantai. Akupun begitu terkejut atas perlakuan mama itu. Sorot mata beliau kini berubah total tajam seperti tak senang dan marah padaku.
"Pargi kamu dari sini. Aku tak sudi melihat maupun mendengar suaramu," teriak mama mengusir dengan nada penuh emosi.
"Tapi, ma. Apa salahku sekarang?" tanyaku dengan bodohnya.
"Apa salah kamu? Kamu jangan gila, Adrian. Tak mungkin ingatan kamu hilang begitu saja, setelah perbuatan tak son*n*h kamu itu telah menghancurkan adek kamu Karin. Mama benci banget dan kecewa sama kamu. Aku ingin kamu membahagiakan adek kamu dengan cara menyayanginya, bukan malah menghancurkan hidupnya," keluh mama marah-marah.
"Masalah itu Adrian benar-benar minta maaf dan akan memperbaiki semuanya, jadi mama harus memakluminya," jawabku dengan kepala tertunduk.
"Heeh, memaklumi? Tak semudah itu Adrian. Mama akan memaafkan kamu jika Karin bisa kamu temukan, paham!" celoteh mama yang sepertinya tak sudi menganggapku anaknya lagi.
"Tapi, ma. Aku ini adalah anak kamu juga," keluhku.
"Kamu memang anakku, tapi aku tak suka sama anak yang sudah terlalu mengecewakan hatiku. Kau tahu Adrian, walau Karin bukan anakku tapi dia sudah kuanggap sebagai anak kandung sendiri. Jadi mama minta tolong temukan anakku itu," pinta mama yang kini tengah menangis tersedu-sedu memeluk tanganku.
"Iya ma ... iya. Adrian janji akan membawa Karin pulang dan akan membahagiakan dia," jawabku yang kini memeluk beliau.
"Ada apa ini, Adrian?" tanya papa ketika memasuki kamar mama, yang kemungkinan kaget atas tingkah kami dan melihat makanan yang berserakan.
"Ini, pa. Tetap sama masih masalah Karin!" jawabku masih memeluk mama.
"Kalian yang sabar tentang masalah ini. Kita yakinin saja pasti Karin akan segera kita temukan dan kembali ke rumah ini," ujar papa menangkan kami dengan cara mengelus-ngelus pelan bahu kami.
Kami bertiga tengah terhanyut dalam suasana kesedihan, yang masih tak rela jika Karin telah pergi begitu saja. Tak bisa berkata-kata apa lagi selain kami tetap berusaha mencari Karin dengan penuh kesabaran.
"Aku berjanji, ma. Akan membawa anak kesayangan kamu pulang kerumah kita lagi, tapi mungkin dengan status yang berbeda, semoga saja itu akan terjadi. Tapi aku harus mencari kemana, Karin? Semoga saja kamu tak melakukam hal bodoh bunuh diri lagi, agar aku bisa memilikimu selamanya!" guman hati yang berjanji.