Tentang Almaira yang tiba-tiba menikah dengan sepupu jauh yang tidak ada hubungan darah.
*
*
Seperti biasa
Nulisnya cuma iseng
Update na suka-suka 🤭
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ovhiie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28
Tiga tahun yang lalu, saat dia sadar dari kecelakaan, dia juga melihat wajah itu.
Saat Maura berlutut di hadapannya, memohon ampun, meminta kesempatan sekali lagi.
Dulu, wanita yang selalu menatapnya dengan penuh kebencian itu akhirnya menunjukkan wajah penyesalan untuk pertama kalinya.
Seorang yang menangis di hadapannya, memohon agar dia menyelamatkan anaknya.
"Kamu tetap hidup, bukan? Itu sudah cukup. Biarkan putriku hidup juga! Tolong, dia sedang sakit parah. Aku minta bantuan mu."
Saat itu, Almaira menyadari sesuatu. Bahwa dia telah terseret dengan keluarga itu.
"Sayang, Amera… apa yang harus kita lakukan…?"
"Bram, cepat panggil dokter! Sekarang! Sayang, bertahanlah, ya?"
Almaira melihat semuanya.
Dia melihat bagaimana Maura menangis histeris sambil memeluk Amera, memanggilnya dengan suara bergetar penuh kepanikan.
Namun, melihat Maura di depannya sekarang, rasa sakit yang telah lama terkubur dalam-dalam menyeruak ke permukaan.
Seakan sesuatu yang dia pendam selama ini tiba-tiba terangkat kembali, rasa takut yang dulu dia rasakan ketika terbangun sendirian di kamar rumah sakit yang putih dan berbau obat.
Dulu, Aira juga merasa kesakitan. Bahkan lebih sakit daripada seseorang yang menghancurkan hidupnya sendiri.
"Amera! Hiks…!"
"Ibu… ibu…!"
Bahkan saat Amera menangis sejadi-jadinya, rasa lega itu tak juga datang. Karena yang selama ini dia inginkan bukanlah kehancuran gadis itu.
"Sayang…"
Di ujung pandangannya, Almaira melihat Maura memeluk Amera dengan erat, menangis pilu. Dadanya terasa kosong, seakan ada lubang besar di dalamnya.
Dia telah memakai topeng kebencian begitu lama, tetapi di lubuk hatinya, dia tetap mendambakan sesuatu yang selama ini tak pernah dia dapatkan, permintaan maaf dari wanita itu.
Begitu lama dia memendam keinginan itu, begitu lama dia merasa haus akan sesuatu yang tak pernah bisa dia dapatkan.
Ketika kenyataan itu akhirnya menghantamnya, dia merasa begitu malu.
Jari-jarinya yang gemetar erat mengepal, berusaha menyembunyikan kegelisahan yang menguasainya.
Almaira menarik napas dalam-dalam, menahan sesuatu yang terasa mengganjal di dadanya, lalu berbalik.
Saat itu, Bibik buru-buru meraih tangannya.
"Non Aira,"
"Aira tidak apa-apa Bik, tolong antar tamu kita pergi."
Dia mengira suaranya terdengar datar, tetapi Bibik tetap tidak melepaskan genggamannya.
Almaira hanya tertawa kecil dan melepaskan tangannya, melanjutkan langkahnya tanpa menoleh lagi.
"Non Aira, setidaknya makan dulu sebelum pergi ke kamar."
"Sekarang?"
Almaira tertawa kecil, tetapi tawanya terdengar hambar.
"Tidak… bukan begitu maksud Bibik…"
"Bibik terimakasih, Aira ingin sendiri."
Dia melepaskan tangan Bibik yang berusaha menahannya. Dengan langkah pelan, dia mulai berjalan menjauh.
Mendengar suara lelahnya, Bibik tidak lagi berusaha menghentikannya.
Di belakang punggungnya, helaan nafas Maura memberat, mengiris udara dengan kepedihan yang tak bisa dia abaikan.
Satu-satunya hal yang ada di benaknya Almaira saat itu adalah pergi dari tempat ini.
Namun, di tengah kekacauan itu, sebuah wajah muncul dalam pikirannya. Wajah seorang suami.
Yaga Aryasatya Pratama.
Bayangannya muncul di antara air mata yang mengaburkan pandangannya.
***
Pagi telah tiba,
Hari ini adalah hari Almaira menandai keberangkatannya ke apartemen Anna.
Disis lain, Almaira sudah berjalan mendekat ke pintu dan kembali memeriksa kopernya.
Dia memastikan tidak ada barang keperluan yang tertinggal, menyusun semuanya dengan rapi sebelum mundur selangkah.
Usahanya di pagi buta tidak sia-sia. Tempat tidurnya, kini tampak rapih dan tertata. Karena meninggalkannya dalam keadaan berantakan bukanlah kebiasaan.
"Non Aira, Anda sudah siap?"
Suara Pak Baim terdengar dibalik pintu, tepat saat itu, Almaira menjawab singkat, dia keluar dari kamar lalu turun ke lantai bawah.
Almaira duduk di beranda, menopang tangannya pada tiang tembok. Dia menyelipkan kakinya ke dalam sepatu satu per satu, sementara Pak Baim menurunkan koper yang sebelumnya dia baru keluarkan dari kamar.
"Non Aira, apa hanya ini yang akan di bawa ke apartemen?" Bibik bertanya
"Ya."
"Bagus Non, terlalu banyak barang bawaan juga akan merepotkan. Tapi Non Aira, sudah benar-benar mendapatkan izin dari Tuan muda, kan?"
"Iya."
Meskipun dia belum mendapat balasan, tapi Almaira sudah membuat keputusan sejak kemarin malam dia mengirim pesan.
Bibik berjongkok di depan Almaira dengan sigap. Dia mengambil tali sepatu yang masih terurai dan mengikatnya dengan rapi menjadi sebuah pita.
Sementara itu, Lea yang berdiri di sampingnya menguap lebar sambil meregangkan tubuh.
"Untung hari ini kita bisa mengantar Non Aira. Benarkan Bik...?"
"Begitulah, dan cuacanya juga mendukung sekali."
Bibik berdiri tegak, menghela napas. Almaira pun ikut bangkit, berpegangan pada tiang untuk menopang dirinya.
Dia sempat menoleh sekilas ke arah rumahnya di belakangnya, namun hanya sebentar.
Karena dua orang itu telah lebih dulu berjalan, mendesaknya agar segera pergi.
***
Yaga meneguk minuman kaleng yang dia pegang sedikit. Dia menghela napas, membiarkan uap tipis keluar dari bibirnya, sementara pemandangan kota A terbentang di depan mata.
Gedung A tempat dia kini berdiri, adalah tempat dia yang dulu pernah dijuluki sebagai "Pemimpin terbaik" oleh para pegawai, istilah yang beredar sebelum atap taman ini ditutup selamanya.
Itu adalah tempat di mana pamannya mengakhiri hidupnya dengan melompat ke bawah.
Kini, pagar dan gembok mengunci akses ke area itu, langkah pencegahan agar tragedi serupa tidak terulang.
Namun kali ini, dia datang ke tempat itu untuk mencari ketenangan. Dengan bersandar pada pagar, meminum beberapa minuman kaleng, pikirannya yang kusut bisa perlahan-lahan jernih.
Dia meraih minuman kaleng baru dan melangkah menuju titik di mana pamannya mengakhiri hidupnya. Jika diingat dari deskripsi yang pernah dia dengar, tepat di sebelah meja yang terlihat langsung dari pintu masuk taman atap ini…
Mungkin di sekitar sini.
Dengan tenang, dia mendekat ke pagar dan menatap ke bawah.
Di kejauhan, orang-orang berlalu lalang seperti biasa, tak menyadari apa yang terjadi di tempat ini bertahun-tahun lalu.
Yaga menarik napas panjang, membiarkan air soda memenuhi rongga mulutnya sebelum perlahan melewati tenggorokannya.
Dengan ujung jari, dia meremas kaleng yang sudah kosong melompong.
Saat itu, hpnya bergetar.
Sebuah kebetulan yang ironis. Di tempat pamannya memilih mati, dia menerima panggilan yang akan mengakhiri hidup seseorang.
Sejenak, dia mengingat wajah pamannya yang tidak sanggup menanggung kegagalan beruntun dalam bisnis dan akhirnya memilih jalan pintas.
Dia kecanduan minum, dan dalam keadaan mabuk, dia pun menyerah pada hidupnya.
Yaga menghela napas dan mengangkat telepon. Itu adalah kontak dari nomer yang dia berikan kepada Direktur Pak Berta.
"Hmm"
_ CEO Yaga, ini saya. Saya baru saja tiba di lokasi konferensi pers.
Yaga melirik jam tangannya. Konferensi itu dijadwalkan pukul empat sore, sementara saat ini makan siang pun belum usai.
"Secepat itu?"
_ Ada banyak hal yang perlu saya pastikan terlebih dahulu.
Alih-alih menyebutnya berlebihan, Yaga hanya tersenyum kecil.
"Kamu memang rajin, ya?"
_ Ah, tidak juga.
"Bagus. Lakukan sesuai rencana. Kita harus mengungkap ketidakadilan yang menimpa atlet junior yang kamu pedulikan itu."
Setelah panggilan berakhir, Yaga berjalan ke tempat sampah dan membuang kaleng yang telah dia remas sebelumnya
Setelah konferensi ini selesai, foto David dan Fedryando akan tersebar. Tak lama kemudian, gambar mereka yang sedang bersama CEO SIN dan Amera juga akan muncul.
SIN Fam.
Nama usang dan murahan yang terlalu menarik untuk diabaikan. Tentu saja, nama orang lain yang memiliki hubungan dengan SIN Contraction. Namun, untuk Amera situasinya tidak begitu terang.
Oleh karena itu, Yaga berniat memastikan agar rasa ingin tahu yang muncul dari namanya berujung pada satu kata, KTV, dia telah mengirimkan laporan kepada Unit Intelijen Keuangan, mengenai dana gelap yang disembunyikan oleh Pak Bram. Begitu nama KTV disebut, Adrian pasti akan mulai bergerak.
Saat investigasi dimulai, bukti ditemukan, dan dosa terungkap, semuanya berakhir.
Setelah itu…
Aku akan pulang menemui mu. Tanpa rasa dendam.
Walau bukan dengan dunia di mana kamu bisa berlari bebas tanpa beban. Bukan dengan kehidupan yang jauh dari sorotan orang-orang yang kamu ingin hindari.
Bahkan bukan dengan balasan atas pengorbananmu selain kehancuran Amera dan Maura yang tak akan pernah bisa pulih.
Namun tetap saja, aku akan pulang tanpa rasa dendam.
Memohon agar kamu memaafkan perbuatanku, karena bagiku, kamu adalah istri paling berharga. Karena aku tidak akan membiarkan siapa pun menyakitimu lagi.
Sejenak, Yaga tersenyum.
Seolah bisa melihat sepasang mata terang itu memandangnya dengan marah. Dia merasakan tenggorokannya mengencang karena lelah, lalu berbalik dan meninggalkan atap itu.
***
"Selamat ya!"
Almaira yang baru saja keluar dari ruang tamu terkejut mendengar suara sambutan yang tiba-tiba.
Dia mengedipkan matanya beberapa kali, mencoba memahami situasi.
Baru saja dia tiba di apartemen Anita, membongkar koper, lalu tidur seperti orang mati.
Begitu dia bangun, Anita yang baru saja pulang dari makan malam bersama teman kuliahnya muncul dengan pipi yang sedikit memerah karena kekenyangan.
"Huh?"
Almaira menatapnya dengan wajah kosong.
Apakah ini ucapan selamat karena Aira tiba di apartemen? Tapi... bukankah biasanya orang akan bilang selamat datang, ya?
Saat dia masih memikirkan maksudnya, Anita melepaskan sepatunya dan berseru dengan suara ceria.
"CEO SIN, sepupu jauh Kak Aira yang dulu sempat di gosipkan itu, dia hancur!"
"…Apa?"
"Bukankah dulu Kak Aira bilang kalian tidak sampai di jodohkan, kan? Oke, baiklah, mantan gebetan Kak Aira, sudah hancur!"
Anita menggoyangkan kantong plastik minimarket di tangannya sambil tertawa.
Almaira berdiri terpaku, tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Dia bahkan tidak menyangka akan mendengar nama orang itu lagi, apalagi dalam konteks seperti ini.
Lebih dari itu, dia hancur?
"Jangan bilang.. kalian masih berteman?"
Nada suara Anita tiba-tiba berubah serius. Dia memandang Almaira dengan ragu. Terkejut, Almaira buru-buru menggeleng.
"Tidak, itu sudah berakhir, sejak KaK Aira masih SMA."
"Kan? Aku sampai kaget. Bayangkan kalau aku bersemangat merayakan kehancurannya di depan Kak Aira, sementara kalian masih berteman. Padahal, dia lah, yang menyuruhnya untuk membully almarhum Kak Bagas."
Anita tertawa lega.
"Kak, lihat, aku sampai membeli coca-cola buat kita merayakan."
"Apa maksudnya?"
Almaira berjalan ke meja makan, di mana Anita menaruh kantong plastik berisi beberapa minuman kaleng
"Kak Aira tidak melihat internet? Ini sedang heboh! Anak-anak basket ketahuan membully dan ternyata uang yang mereka pakai untuk berpoya-poya berasal dari dana yang digelapkan SIN Contractions! Berita itu keluar kemarin."
"…Oh."
"Sejujurnya, gosip seperti ini sudah banyak beredar, jadi aku tidak begitu kaget. Tapi hari ini mereka malah mengadakan konferensi pers! Mereka menangis, berlutut, bersujud, pokoknya seperti drama di tv. Katanya mereka tidak tahu uang itu hasil penggelapan, berjanji akan menebus kesalahan dengan bermain lebih baik di pertandingan berikutnya. Konyol sekali! Memangnya basketball itu tempat kerja paksa? Kalau begitu, aku juga bisa berkunjung ke kantor lama dan membayar semua amarah ku dengan menghajar Pak Bram!"
Almaira mendengarkan dengan tenang, tetapi pikirannya sibuk berputar. Apakah itu berarti suaminya juga terlibat?
"Tapi bukan itu yang paling menarik!"
lanjut Anita dengan antusias.
"Saat berita itu muncul, tiba-tiba banyak foto tersebar. Salah satunya ada si gadis bajingan mantan teman Kak Aira itu! Puluhan foto mereka bersama!"
"…Apa?"
"Lucunya, ketika skandal ini pecah, nama selingkuhannya sama sekali tidak disebut. Yang disebut hanya seorang CEO perusahaan. Makanya, orang-orang sekarang curiga. Kenapa hanya selingkuhannya yang tidak kena imbas? SIN FAM yang punya klub basket dan SIN Contractions, jadi mungkin dia sengaja menutupi sesuatu?"
Nada suara Anita menurun sedikit saat mengucapkan kalimat terakhir, seolah sedang membisikkan rahasia besar. Dia bergidik, lalu tertawa kecil.
"Kak Aira paham?"
"…Kurang lebih."
"Syukurlah..! Aku mau mandi dulu. Kak Aira, tolong masukkan ini ke kulkas, ya. Nanti kita minum sampai pagi, oke?"
"Hm, baiklah.."
Dengan langkah riang, Anita mengambil piyamanya dan masuk ke kamar mandi, berseru bahwa dia hanya butuh waktu sebentar.
Sementara itu, Almaira masih berdiri di tempatnya, menelan ludah. Dia tetap berpura-pura tenang saat mengambil kantong plastik dan menyusun kaleng coca-cola ke dalam kulkas.
Namun, dalam dirinya, ada gejolak yang sulit diabaikan.
Akhirnya, dia melirik ke arah kamar mandi, di mana suara senandung riang terdengar, lalu berjalan masuk ke kamar.
Dia mengambil hpnya dan mengetikkan sebuah nama di kolom pencarian. Tidak sulit menemukan berita-berita yang berhubungan.
Pertama, dia membaca tentang skandal para pemain basket. Kemudian, dia melihat berita tentang konferensi pers, mereka berlutut, menangis, memohon belas kasihan.
Lalu, artikel-artikel lain muncul begitu saja.
"…Ah."
Almaira tidak bisa mempercayai apa yang dia lihat.
Di layar, salah satu foto yang tersebar menampilkan sosok yang tidak dia duga.
Amera
Jarinya sedikit gemetar saat dia menggulir layar, membaca lebih lanjut tentang mantan LC yang kini terseret dalam skandal.
Artikel demi artikel berisi spekulasi, komentar publik, dan berbagai analisis muncul di hadapannya. Namun, yang benar-benar membuat napasnya tertahan adalah berita terakhir yang dia lihat.
Judulnya mengarah pada sosok yang bahkan lebih dia kenal.
SIN Fam_CEO SIN Contraction dan pemilik klub basket.
Dalam diagram mind map yang menghubungkan para tersangka dalam skandal ini, foto-foto mereka ditampilkan secara sistematis.
Namun, di tengahnya, di pusat dari semua hubungan yang terjalin, ada satu gambar yang lebih besar dari yang lain.
Wajah SIN Fam
Almaira menatap layar tanpa berkedip, membiarkan kata-kata Anita kembali bergema di pikirannya.
Selamat, dia hancur.
Perlahan, dia menurunkan hpnya, mengedip beberapa kali untuk memastikan bahwa semua ini bukan hanya imajinasinya.
Namun, ini belum berakhir. Keesokan harinya, sesuatu yang lebih besar muncul ke permukaan.
Nama Amera semakin banyak dibicarakan dan kali ini, ada satu nama lain yang ikut terseret dalam pusaran berita.
KTV
***
Begitu nama KTV disebut, Jaksa Adrian langsung menghunus pedangnya.
Dia menyerukan pemberantasan korupsi konglomerat dan mempercepat proses penyelidikan.
Tak butuh waktu lama sebelum panggilan pemeriksaan resmi dikeluarkan untuk Ketua SIN Contractions, serta CEO SIN Fam dan Pak Bram.
Sementara itu, panggilan dari Maura dan Amera tiba sekitar tiga jam yang lalu, hampir bersamaan dengan pemberitahuan bahwa Yaga harus menghadiri pemeriksaan sebagai saksi.
Keluar dari mobil, Yaga menerima dasi dari Sekretaris Gan dan mengalungkannya ke leher, memperbaiki sorot matanya yang tampak berat.
"Tuan muda, Anda baik-baik saja?"
"Apa maksudmu?"
Yaga menyeringai ringan, menerima jas dari tangan Sekretaris Gan. Tatapan laki-laki itu dipenuhi kekhawatiran yang jelas.
"Anda terlihat lelah."
"Begitulah."
Yaga mengangkat bahunya seolah tidak peduli. Namun, Sekretaris Gan hanya bisa menatapnya dengan ekspresi tak percaya. Bagaimana tidak?
Semalam, Yaga sekali lagi melewati malam tanpa tidur di kantor anak perusahaan. Konferensi gabungan dengan konglomerat utama telah ditunda, dan persaingan proyek kini berubah menjadi pertempuran tanpa aturan.
Pihak lawan melanggar etika promosi, mendekati penduduk setempat, bahkan sampai terjadi bentrokan fisik di lapangan. Informasi tak resmi menyebar deras, dan begitu pula tekanan yang terus meningkat.
Akibatnya, begadang. Lagi dan lagi.
Yaga tenggelam dalam pekerjaan yang seakan tak ada habisnya, dengan sengaja menahan setiap kritik dan sorotan yang diarahkan padanya.
Para pegawai yang awalnya ragu-ragu setelah skandal pecah kini hanya bisa menggelengkan kepala melihat bagaimana dia tetap bertindak seperti biasa.
"Sebaiknya Anda beristirahat sebelum pemeriksaan dimulai," saran Sekretaris Gan
"Saya akan mengatur ulang jadwal jika perlu."
"Tolong uruskan."
Yaga menyesuaikan setelan jasnya, seolah bersiap menghadapi hari lain yang tak berkesudahan.
Seperti malam-malam sebelumnya, dia terus terjaga, seakan menolak waktu berjalan. Atau lebih tepatnya, seperti seseorang yang ingin mempercepat segala sesuatu agar bisa segera mencapai tujuannya.
Tak masalah jika harus melewati malam tanpa tidur. Tapi, jika sampai pada saatnya dia kehilangan kendali, mungkin akan lebih baik jika dia mulai mempertimbangkan minuman anggur atau obat tidur.
Yaga meregangkan lehernya perlahan. Tak lama lagi. Jaksa telah berjanji akan bergerak cepat.
Penyelidikan, penggeledahan, dan penyitaan aset akan segera dilakukan. Dengan informasi yang telah dia bocorkan, hampir mustahil bagi mereka untuk menghindari dakwaan.
Ya, semuanya akan segera berakhir. Namun, kadang-kadang, sial, semua ini terasa seperti omong kosong belaka.
Mereka toh akan tertangkap juga. Haruskah dia benar-benar repot menunggu hanya demi melihat mereka dijatuhkan secara resmi?
Apa dia benar-benar harus menyaksikan mereka tergantung di alun-alun sebelum bisa pergi?
Di depan pintu rumah Ketua SIN, Yaga mengernyit sejenak.
Melihat ekspresinya berubah, Sekretaris Gan dengan cepat mendekat.
"Tuan muda, apakah Anda baik-baik saja?"
"Sekretaris Gan."
"Jika Anda sakit kepala, saya bisa segera mengambil obat penghilang rasa sakit."
"Hubungi tim media art. Pastikan mereka sudah menyelesaikan pemilihan instalasi untuk lobi De Majestic."
"…Maaf?"
Sekretaris Gan tertegun, tidak menyangka perintah yang tiba-tiba itu.
"Sial. Selesai atau tidak, hubungi pihak yayasan fotografi dan atur pertemuan. Bilang bahwa kita sedang mencari karya seniman muda yang berbakat."
"Eh… Baik, saya mengerti."
Setelah mendengar konfirmasi itu, Yaga menekan bel pintu Ketua SIN
Saat ditanya identitasnya, dia menjawab singkat,
"CEO Yaga."
Pintu terbuka tak lama kemudian. Dia melangkah masuk, menyeberangi taman yang hijau subur dengan langkah panjang.
Dinding ada di mana-mana.
Baik di lobi gedung konstruksi maupun di kantor eksekutif, selalu ada ruang untuk menggantungkan sebuah foto.
Yaga menelan dorongan perasaan yang mendesaknya, sejenak mengingat foto yang pernah dia lihat di kamar Almaira
***