sebuah cerita sederhana seorang melati wanita sebatang kara yang memilih menjadi janda ketimbang mempertahankan rumah tangga.
jangan lupa like dan komentar
salam autor
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon santi damayanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
jm 35
Aroma nasi goreng kambing menyeruak kuat di udara. Angin malam berembus lembut, pertanda hujan sebentar lagi turun. Orang-orang lalu lalang, suara dentingan spatula beradu dengan wajan terdengar riuh, dan pembeli bersahut-sahutan memesan makanan. Nasi goreng Kebon Sirih memang legenda.
Sementara itu, Melati masih melotot ke arah Panji. Tapi tenggorokannya tersedak.
“Pelan-pelan dong minumnya, kayak anak kecil saja,” ucap Panji datar sambil mengambil sebotol air mineral. Ia mengelap bagian tutupnya dengan tisu, lalu membukanya dan menyerahkan botol itu pada Melati.
Melati cepat-cepat meraih botol itu. Jantungnya berdebar kencang, tatapannya tanpa sadar tertuju pada wajah Panji. Lelaki itu tampak tenang, sama sekali tak terpengaruh oleh kebingungan yang kini melanda dirinya.
Tiba-tiba Melati menampar pipinya sendiri.
“Aduh!” serunya spontan.
Panji menatapnya datar. “Kayak anak kecil ngambek saja, nampar diri sendiri.”
“Pak Panji… tadi itu bohong, kan?” akhirnya Melati bisa bersuara.
“Aku tidak berbohong,” jawab Panji tenang. “Aku sungguh-sungguh dengan ucapanku tadi.”
“Menikahi aku?” Melati memastikan.
“Ya, aku serius.”
“Kenapa?”
“Karena aku ingin.”
“Ya, tapi kenapa harus aku?” tanya Melati dengan nada bingung.
“Ya karena kamu perempuan. Masa aku nikah sama Babah tukang nasi goreng itu?” balas Panji santai.
Melati tertegun. Dua kali pertemuan, itu pun tanpa rencana. Pertemuan pertama membuatnya punya utang seratus juta, dan yang kedua malah membuatnya sakit pinggang. Sekarang lelaki itu melamarnya?
“Kenapa Bapak mau sama saya?” tanya Melati pelan.
“Siapa bilang aku mau sama kamu?” jawab Panji datar.
“Lho, terus tadi kenapa ngajak nikah?”
“Ya, nikah kan belum tentu berarti aku mau,” katanya ringan.
Melati mengernyit. Maksudnya apa sih ini? Bukankah orang menikah itu karena saling menginginkan? batinnya.
Panji menghela napas sebentar. “Ibuku sakit-sakitan. Usiaku sudah tiga puluh enam tahun, dan beliau terus memintaku segera menikah.”
Melati menatapnya. “Lalu kenapa harus saya, Pak?” katanya sambil meletakkan botol air mineral di meja.
“Ya, aku rasa kamu cocok saja.”
“Cocok jadi istri bohongan?” tanya Melati, mulai bisa bernapas normal lagi.
“Ya tentu bukan bohongan. Aku sungguh-sungguh. Aku akan daftarkan ke KUA dan menafkahi kamu dengan layak.”
Melati menarik napas panjang. “Pernikahan tidak bisa dipermainkan, Pak.”
“Nyawa ibuku juga bukan untuk dipermainkan, Melati. Setidaknya kamu punya empati pada perempuan tua yang sakit-sakitan,” balas Panji.
“Lalu Bapak enggak punya empati sama saya? Bagaimana nasib saya nanti kalau menikah dengan orang yang bahkan tidak mau sama saya?” suaranya mulai bergetar.
“Jangan terlalu serius, Melati,” ucap Panji. “Banyak juga yang awalnya sungguh-sungguh menikah, akhirnya bercerai juga.”
Melati terdiam. Ada benarnya juga. Ia dulu begitu serius menikah dengan Arga, tapi akhirnya tetap berakhir dengan perceraian
“Tapi saya janda, Pak,” ucap Melati akhirnya, mencoba membuat Panji mengurungkan niatnya. Mana mungkin lelaki tampan dan kaya mau menikahi janda miskin seperti aku, pikirnya.
“Ya bagus dong,” jawab Panji enteng. “Artinya kamu bukan istri orang.”
Melati memegang pelipisnya, benar-benar bingung. Bos satu ini makin lama makin aneh, gumamnya dalam hati.
“Lalu kenapa Bapak belum menikah sampai sekarang?” tanyanya tanpa sadar. Begitu sadar dengan ucapannya, ia buru-buru menutup mulut. Pertanyaan itu terasa lancang sekali.diajukan kepada jomblo akut seperti panji dan sepertinya akan membuat panji tersinggung.
Namun Panji malah tersenyum. Senyum yang lembut—senyum yang baru pertama kali Melati lihat sejak mengenalnya. Ia meneguk air mineral, meletakkan botol di meja, lalu menghela napas panjang.
“Waktu aku umur empat belas tahun, aku kabur dari rumah,” katanya pelan. “Aku lapar, sendirian, dan enggak punya uang. Di sinilah aku bertemu dengan seorang bapak-bapak bersama anak perempuannya, mungkin usia empat tahun. Saat semua orang mengabaikanku, mereka berdua malah ngajak aku makan di sini.”
Panji tersenyum samar. “Kamu tahu? Sejak itu, aku jatuh cinta pada anak kecil itu.”
Melati langsung menatapnya kaget. “Bapak… pedofil?” ucapnya spontan lalu menutup mulut sendiri.
Panji mendengus. “Pikiran kamu memang ngaco, Melati. Aku suka anak kecil itu bukan karena aku mau menyakitinya. Tapi karena sejak saat itu, entah kenapa aku ingin melindunginya.”
Melati menunduk malu. “Lalu kenapa Bapak enggak cari anak itu?” tanyanya pelan.
“Waktu itu, anak buah ibuku menemukan aku dan membawaku ke luar negeri, ke Dubai. Baru sebulan yang lalu aku pulang dan memutuskan tinggal di sini. Aku terus mencari bapak dan anak itu, tapi bagaimana bisa? Namanya saja aku enggak tahu.”
Panji menatap piring nasi goreng yang sudah dingin. Matanya terlihat sendu. Di tengah hiruk-pikuk malam Kebon Sirih, entah kenapa Melati merasa… ada luka lama yang tersembunyi di balik ketegasan lelaki itu.
“Aku benar-benar terobsesi dengan bapak dan anak itu. Aku tidak suka nasi goreng dan jus, tapi sejak saat itu makanan dan minuman itu jadi favoritku. Aku bahkan sering mendengarkan lagu anak-anak,” ujar Panji pelan.
“Kenapa?” tanya Melati penasaran.
“Entahlah, aku seperti ingin terus kembali ke masa dua puluh dua tahun lalu. Momen itu terlalu indah. Dan kamu tahu, selama satu bulan ini aku terus datang ke tempat ini, berharap menemukan bapak dan anak itu. Tapi aku tak menemukan jejak sedikit pun.”
Mereka terdiam. Masing-masing tenggelam dalam pikirannya sendiri. Suara hiruk pikuk malam di Kebon Sirih mengisi keheningan di antara mereka.
“Bagaimana, Melati?” tanya Panji tiba-tiba.
“Apanya, Pak?”
“Ya, menikah denganku.”
Melati menarik napas panjang. “Maaf, Pak. Saya tidak bisa memutuskan secepat itu.”
Panji menatapnya datar. “Oke. Aku beri waktu tiga hari. Setelah itu, kamu bebas, Melati.”
“Terus, hutang saya bagaimana, Pak?”
“Cuma seratus juta. Itu uang receh bagiku.”
Melati mendengus pelan. Sombong sekali si tampan ini, batinnya.
Akhirnya mereka mengobrol ngalor-ngidul tentang banyak hal. Melati merasa seperti berbicara dengan Panji yang berbeda—bukan sosok dingin dan berwibawa seperti di kantor. Ada sisi manusiawi yang baru ia lihat malam itu.
Panji melirik arlojinya. “Sudah malam, ayo kita pulang.”
Melati mengangguk. Setelah membayar makanan, mereka berjalan menuju mobil. Seperti biasa, Panji membukakan pintu untuknya, tetapi kali ini senyum tipis tersungging di wajahnya. Tak lagi sedingin biasanya.
Mobil melaju pelan menembus padatnya Jakarta malam hari. Seolah Panji sengaja memperlambat laju mobil, ingin memperpanjang waktu bersama Melati.
Sampailah mereka di sebuah gang kecil.
“Di sini saja, Pak,” ucap Melati.
“Rumah kamu di mana?”
“Dekat waduk Kebon Melati, terhalang satu rumah. Mobil tidak bisa masuk, Pak.”
“Oke, aku tidak bisa antar sampai rumah. Ibuku menelpon terus.”
“Baik, Pak,” jawab Melati.
Ia berdiri di pinggir gang, melihat mobil Panji perlahan menjauh. Malam sudah menunjuk pukul sepuluh, tapi kawasan Tanah Abang masih ramai. Jakarta memang tak pernah tidur.
Melati akhirnya tiba di rumah. Ia membuka pintu, lalu menjatuhkan tubuh ke kasur. Pandangannya tertuju pada sebuah kartu nama di atas bantal.
“Panji Sukmana,” gumamnya sambil tersenyum kecil.
Rasa kantuk perlahan datang, dan Melati pun tertidur dengan kartu nama itu masih tergenggam di tangannya.
end then kamu pakai be smart don't be stupid selangkah di depan dong bukan di belakang