Arumi Bahira, seorang single mom dengan segala kesederhanaannya, semenjak berpisah dengan suaminya, dia harus bekerja banting tulang untuk membiayai hidup putrinya. Arumi memiliki butik, dan sering mendapatkan pesanan dari para pelanggannya.
Kedatangannya ke rumah keluarga Danendra, membuat dirinya di pertemukan dengan sosok anak kecil, yang meminta dirinya untuk menjadi ibunya.
"Aunty cangat cantik, mau nda jadi mama Lion? Papa Lion duda lho" ujar Rion menggemaskan.
"Eh"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kikoaiko, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 28
"Mas, boleh aku bertanya tentang orang tua Shaka?" tanya Arumi memberanikan diri.
"Kamu pasti mau bertanya mengapa mereka mengabaikan Shaka" tebak Alvaro.
Arumi mengangguk pelan, dia memang penasaran dengan alasan kedua orang tua Shaka mengabaikan anak itu.
"Aku tidak ada maksud lain, aku hanya kasihan saja dengan Shaka" ucap Arumi.
Alvaro menganggukkan paham, dia menghela nafas sebelum bercerita. "Tepatnya tujuh tahun yang lalu, saat Shaka masih berusia enam tahun. Tiba-tiba perusahaan ayahnya mengalami goncangan, yang membuatnya hampir kolaps. Dia dan ibunya yang tak lain adalah kakak ku, akhirnya memutuskan pindah Eropa untuk mengurus perusahaannya supaya tidak bangkrut. Mereka sudah mengajak Shaka, tetapi anak itu menolak"
Arumi menatap Alvaro dengan ekspresi terkejut bercampur sedih. Angin malam berhembus lembut melalui jendela yang terbuka, membuat tirai bergoyang pelan. Suasana ruangan itu mendadak hening, seolah waktu ikut berhenti mendengarkan kisah masa lalu yang perlahan terungkap.
"Shaka menolak ikut?" gumam Arumi tak percaya.
Alvaro mengangguk perlahan. "Iya... Dia anak yang keras kepala sejak kecil, tapi bukan tanpa alasan. Dia merasa di sini adalah rumahnya. Semua kenangan, teman, dan bahkan nenek yang membesarkannya sejak bayi... semuanya ada di sini."
Arumi menggigit bibirnya, menahan emosi yang mulai naik ke permukaan. "Tapi mereka bisa tetap berkomunikasi, kan? Menelpon, video call, atau apa pun... Kenapa harus seolah-olah menghilang begitu saja dari hidup Shaka?"
Alvaro menunduk. Ada jeda sebelum ia menjawab, seakan kalimat berikutnya terlalu berat untuk diucapkan.
"Karena... setelah sampai di Eropa, semuanya tidak berjalan semudah yang mereka kira. Perusahaan benar-benar di ambang kehancuran. Mereka terpaksa menjual aset, berjuang dari nol lagi. Kakakku bahkan sempat dirawat di rumah sakit karena tekanan mental." Nada suaranya mulai bergetar, mengenang luka lama.
Arumi mendekat, duduk di sebelah Alvaro. "Lalu... Shaka tinggal dengan siapa saat itu?"
"Dia tinggal bersamaku dan mommy. Kami mencoba menutupi segalanya, agar Shaka tidak merasa ditinggalkan. Tapi anak itu pintar, dia tahu... dia hanya pura-pura tidak tahu."
Air mata Arumi mulai menggenang. Dia membayangkan Shaka kecil, sendirian di tengah malam, bertanya-tanya kenapa orang tuanya tidak ada di sampingnya.
"Apa... dia pernah menanyakan mereka?" bisik Arumi.
Alvaro mengangguk perlahan. "Bukan hanya sekali. Tapi setiap kali dia bertanya, mommy selalu berusaha menjawab dengan tenang, seolah semuanya baik-baik saja. Sampai akhirnya, Shaka berhenti bertanya. Dia memilih diam."
Diam yang lebih menyakitkan dari pertanyaan apa pun.
Arumi menyeka air matanya. "Dia pasti terluka sangat dalam."
"Dan sampai sekarang pun, meski orang tuanya mulai stabil dan bisnis mereka kembali pulih... mereka belum berani pulang. Mungkin karena rasa bersalah. Atau... karena mereka tak tahu harus mulai dari mana," ujar Alvaro pelan.
Sunyi kembali menyelimuti ruangan. Tapi kini, sunyi yang penuh makna. Sunyi yang mengandung luka, pengorbanan, dan rasa bersalah yang tak terucapkan.
Arumi menatap Alvaro penuh tekad. "Kalau begitu... biarkan aku yang mulai menjahit luka Shaka. Walaupun perlahan, aku ingin dia tahu... dia tidak sendiri."
Alvaro menatap Arumi dalam-dalam, lalu tersenyum tipis. "Kamu memang berbeda, Arum. Mungkin... memang kamu yang dikirim semesta untuk menyembuhkan anak itu."
"Karen kami terlalu sibuk, sampai tidak bisa memperhatikan anak itu dengan baik" lanjutnya.
******
Usai memasak Arumi kembali ke kamarnya untuk membangunkan suaminya yang masih terlelap.
"Mas, bangun, sudah siang" ucap Arumi sambil menepuk nepuk pipi suaminya lembut.
Bukannya bangun, Alvaro justru menarik tangan Arumi hingga membuat wanita itu jatuh di atas tubuhnya.
"Akh... " Arumi terkejut.
Arumi merasakan panas di wajahnya, merona karena malu dan jantungnya yang berdegub kencang.
"Mas lepas" pinta Arumi sambil berusaha melepaskan pelukan suaminya.
Alvaro yang masih dengan mata terpejam, semakin mengencangkan pelukannya. "Mmmh, biarkan seperti ini dulu sebentar," gumam Alvaro dengan suara serak, masih terbungkus kantuk.
Arumi, yang merasa hatinya berkecamuk dengan rasa gugup dan kejutan, berusaha melepaskan diri, namun pelukan Alvaro terasa begitu kuat.
"Mas, sudah jam tujuh nanti kamu terlambat," bujuk Arumi mengalihkan situasi, suaranya gemetar sedikit.
Alvaro akhirnya membuka matanya, menatap Arumi dengan tatapan yang sayu dan penuh kasih. "Baiklah, tapi bolehkah aku memulai hari ini dengan melihat senyummu terlebih dahulu?" pinta Alvaro dengan suara lembut yang membuat Arumi semakin merasa canggung namun di dalam hatinya, tumbuh kehangatan yang tak terduga.
Arumi memberikan senyuman yang malu-malu kepada Alvaro sebelum mengucapkan dengan nada riang, "Sudah, cepetan bangun aku ingin ke kamar anak-anak." Dengan langkah yang terburu-buru, ia segera meninggalkan kamar, meninggalkan Alvaro yang masih terduduk di tepi tempat tidur.
Alvaro hanya bisa menggelengkan kepala sambil tersenyum kecil. Dalam hatinya, ia merasa heran dan gemas. "Dia sudah pernah menikah, tapi kenapa masih malu-malu," gumamnya pelan, seraya turun dari tempat tidur dan berjalan menuju kamar mandi.
Di dalam kamar mandi, Alvaro dengan cepat menghidupkan shower dan membiarkan air mengalir membasahi tubuhnya. Pikirannya melayang pada sikap Arumi yang selalu membuatnya penasaran dan jatuh cinta lagi setiap hari. Meski belum lama menikah dengan Arumi, ada saja tingkah laku istrinya yang membuat hari-harinya menjadi lebih berwarna.
Sementara itu di kamar anak-anak, Arumi sedang merapihkan seragam sekolah yang di kenakan oleh Bella dan Naka. Hari ini bocah menggemaskan itu sudah mulai berangkat sekolah.
"Mama, Naka nda jadi cekolah lah, Bella aja. Naka nda Ikut" ucap Naka tiba-tiba, bocah kecil itu mendadak tidak mau pergi ke sekolah.
"Lho, memangnya kenapa? Bukannya kemarin Naka juga minta sekolah" tanya Arumi.
"Nda ya, yang minta cekolah itu Bella bukan Naka. Naka maleslah, nanti di cana di culuh belajal, bica kebakal otak Naka" ucapnya alasan.
Tangan Arumi mengusap lembut kepala Naka, mencoba menenangkan bocah kecil yang tampak begitu gelisah itu. "Tapi sayang, Papa sudah susah payah mendaftarkan kamu sekolah, masak kamunya tidak mau berangkat. Di sana tidak cuma belajar, kamu juga bisa bermain dengan teman-teman mu" jelas Arumi mencoba membujuk.
Naka mengernyitkan dahi, tampak berpikir keras. "Tapi Mama, di cekolah pasti banyak PL. Naka takut kepala Naka meledak, Dhuall....." ujarnya, suaranya lirih penuh kekhawatiran.
Arumi terkekeh, berusaha memberikan pemahaman. "Mana ada seperti itu, kamu ini kebanyakan nonton film. Menghadapi tugas itu bagian dari belajar, sayang. Naka jadi lebih pintar dan bisa banyak tahu hal baru," kata Arumi, berusaha menanamkan semangat belajar pada anaknya.
Naka masih tampak ragu, tetapi tatapan lembut Arumi pelan-pelan membuatnya merasa lebih tenang.
"Ya cudah, Naka coba cekali. Kalau nda celu, Naka nda mau cekolah lagi," ucapnya akhirnya, mengalah setelah melihat kesungguhan di wajah mamanya.
Natasha mengangguk, merasa lega mendengar keputusan Naka. "Itu anak baik," ucapnya sambil tersenyum, memeluk Naka erat. Keduanya berdiri.
Bella merotasi bola matanya malas, melihat drama yang di buat oleh saudaranya itu. "Dlama cekali kau lupanya. Cuma di culuh cekolah aja nda mau, becok lagi di culuh ngalit lumput cama papa bial tau laca" cibir Bella.
"Diam kau pintu, nda ucah lah kau ikut campul ulucan ku" seru Naka tidak terima.
"Dih, pelcaya dili cekali kau Nangka bucuk. Memangnya ciapa yang mau ikut campul ulucan mu, nda penting cekali kau ini" kedua bocah kecil itu terus berdebat, keduanya sama-sama tidak ada yang mau mengalah.
Tak lama suara Alvaro mengagetkan mereka.
"Berantem terus, itu di dapur ada pisau mau papa ambilin nggak? Masih pagi kok sudah berantem, heran" seru Alvaro.
Seketika Bella dan Naka diam melipat bibirnya kedalam, takut dengan Alvaro.
"Memangnya apa yang sedang kalian perdebatkan? Apa kalian tidak kasihan melihat mama? Dia pusing terus melihat kalian berantem seperti ini" tegur Alvaro.
"Itu kalena Naka papa, dia nda mau cekolah. Katanya mau ngalit lumput aja" ucap Bella.
Naka melototkan matanya menatap saudaranya itu, ia kesal karena Bella mengadukannya kepada sang papa.
"Benarkah begitu Naka?" tanya Alvaro memastikan.
"Iya papa, tapi cekalang Naka cudah cemangat lagi kok. Suwelll..... " ucap Naka sambil mengangkat kedua jarinya membentuk huruf V.
"Kalau kamu tidak mau sekolah, nanti papa titipkan kamu ke rumah paman Jay, di kampung. " ancam Alvaro, dia tidak suka putranya bermalas-malasan, apalagi mengenai pendidikan. Bagi Reynald pendidikan paling utama.
"EKHE... MAMA NDA MAU, LION NDA MAU KE KAMPUNG" rengek Naka sambil menghentak hentakan kakinya.
"Papa cuma bercanda sayang, tidak usah di dengarkan" ucap Arumi sambil mengsuap kepala Naka sayang.
"Aku tidak bercanda, aku serius. Kalau dia malas sekolah aku akan titipkan dia di kampung, biar di suruh ternak Kerbau" ucap Alvaro
"HUA....... " tangis Naka pecah. "Naka nda mau ngalit lumput, itu ci pintu yang mau jadi kang mulung campah" ucapnya dengan suara tinggi.
"MAS..." kesal Arumi menatap suaminya tajam, "anaknya sudah nangis masih aja di becandain, anak sama bapak sama aja" omel Arumi.
Arumi berjalan cepat meninggalkan Alvaro yang masih terdiam di pintu kamar, pikirannya berkecamuk. Ia memandang ke arah Naka yang menangis dia gendongan mamanya. Arumi membelai kepala Naka dengan lembut, mencoba meredakan tangis anaknya yang telah pecah sebelumnya.
Alvaro mengikuti dari belakang, rasa bersalah menggelayuti hatinya. "Rum, aku hanya bercanda," ucapnya dengan suara rendah, mencoba mencairkan suasana.
Arumi menoleh dengan tatapan yang masih menyimpan amarah. "Candamu itu menyakitkan, mas. Kamu tidak melihat bagaimana Naka ketakutan? Anak ini masih kecil, dia tidak mengerti candamu," sahut Arumi, suaranya bergetar menahan emosi.
Dengan langkah gontai, Alvaro mendekat dan menyentuh bahu Arumi, berusaha meminta maaf. "Aku janji, tidak akan mengulanginya lagi. Aku hanya khawatir dia malas sekolah," kata Alvaro mencoba menjelaskan.
Namun Arumi hanya menggeleng, "Khawatirmu tidak bisa kamu sampaikan dengan cara yang membuat dia takut dan sedih begini, mas. Kita harus mendukungnya, bukan menakut-nakuti."
Alvaro menghela napas, menyesali ucapannya yang tanpa pertimbangan tersebut. Ia memandang Naka yang masih sesegukan.
"Hais.... Dia marah beneran" desis Alvaro Ia menggendong Bella dan membawanya menuju ke ruang makan menyusul Arumi.
Setibanya di ruang makan Shaka mengeryitkan keningnya melihat om dan tantenya yang saling diam.
"Mereka kenapa oma" bisik Shaka kepada sang oma.
"Oma juga tidak tahu" jawab Julia.
seharusnya ganti tanya Arumi
bagaimana servisku jg lbh enakan mana sm clara wkwkwk
Alvaro menyesal menghianati clara
kok minta jatah lagi sama arumi
itu mah suka al