"Setelah bertahun-tahun diabaikan dan diperlakukan tidak adil oleh keluarganya sendiri, senja Aurelie Wijaya anak kandung yang terlupakan memutuskan untuk bangkit dan mengambil alih kendali atas hidupnya. Dengan tekad dan semangat yang membara, dia mulai membangun dirinya sendiri dan membuktikan nilai dirinya.
Namun, perjalanan menuju kebangkitan tidaklah mudah. Dia harus menghadapi tantangan dan rintangan yang berat, termasuk perlawanan dari keluarganya sendiri. Apakah dia mampu mengatasi semua itu dan mencapai tujuannya?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ariyanteekk09, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
chapter 11
“Dinda, lihat deh! Kak Dirga viral di grup sekolah karena ngerjain guru kemarin,” seru Nadira, menunjukkan ponselnya. Mata Dinda membulat.
“Dia benar-benar nggak takut sama guru-guru, kalau dia nggak suka pasti langsung dikerjain. Hebat juga ya,” tambah Dinda, kagum sekaligus sedikit takut.
“Tapi Kak Dirga pinter kok, meskipun nakal. Dia juga ketua geng motor yang terkenal seantero Kota MM,” Nadira menambahkan, suaranya berbisik penuh kekaguman. Bayangan seorang kakak kelas yang pemberani dan misterius tergambar jelas di benak mereka.
Senja, yang sedari tadi asyik dengan ponselnya, akhirnya angkat bicara. “Kalian ngomongin siapa sih?” tanyanya penasaran.
“Ini loh, kakak kelas kita, namanya Dirga Abraham. Dia viral gara-gara ngerjain guru,” jelas Dinda.
“Ohh,” jawab Senja singkat. Pikirannya melayang, jauh dari gosip tentang Kak Dirga. Senja terdiam sejenak, mengingat pertengkaran hebat antara Papinya dan Eyang Mommy, serta perubahan sikap Maminya yang tiba-tiba menjadi sangat baik padanya.
“Woi, lo kenapa melamun?” tanya Nadira, menyentak Senja dari lamunannya.
“Gue cuma aneh… kenapa Mami gue pagi ini baik banget sama gue? Sampai dibuatin bekal. Apa karena Eyang Mommy ya?” tanya Senja bingung. Perubahan sikap Maminya yang drastis membuatnya bertanya-tanya.
“Kapan Eyang Mommy lo sampai?” tanya Dinda.
“Kemarin, waktu pulang sekolah. Dia udah sampai rumah. Kalian tahu nggak? Tadi pagi si Caca minta mobil gue! Seperti biasa, merengek-rengek sama Papinya. Tapi bukannya dikasih, malah Eyang marah besar sama dia!” cerita Senja, masih tak habis pikir dengan sikap Caca.
“Gue penasaran banget gimana muka si Caca waktu dimarahin Eyang. Mulut Eyang kan pedes banget,” Nadira tertawa membayangkan ekspresi kesal Caca. Bayangan itu menghiburnya.
Di kantin, Galih dan Radit masih terlihat lesu. Mereka terdiam, mengingat kejadian pagi tadi.
“Gue nggak nyangka Caca berani banget minta mobil Senja tadi pagi,” ucap Galih, masih tak percaya.
“Ya, karena Caca kan biasa dimanja sama kita. Kita selalu nurutin keinginannya. Dari dulu kita selalu maksa Senja kasih apa pun yang Caca mau,” kata Radit, menyadari kesalahan mereka selama ini.
“Terus tentang Senja, kok dia tetap bisa hidup mewah meskipun nggak pernah lagi dikasih uang bulanan sama Papi?” tanya Galih, penasaran.
“Pasti Eyang Mommy yang kasih dia. Kan lo tahu, Eyang Mommy sangat memanjakan Senja dari dulu. Selalu ngasih barang-barang mahal, meskipun Senja nggak minta,” Radit menjelaskan, mengingat kasih sayang Eyang Mommy pada Senja.
Meskipun Eyang lebih menyayangi Senja daripada mereka, ketiga kakak Senja itu sama sekali tidak iri. Mereka tahu, sampai kapan pun, Senja tetap putri satu-satunya keluarga Wijaya. Kasih sayang Eyang Mommy pada Senja tak mengurangi cinta mereka pada adik perempuannya.
******
Bayang-Bayang Senja
Matahari sore menyinari ruang keluarga yang luas itu, menerangi debu-debu yang menari-nari dalam sinar emas. Helena duduk di sofa empuk, tubuhnya lemas, tatapannya kosong. Sekar, putri sulungnya, menghampiri, tubuhnya gemetar.
"Mommy, maafin aku, ya," lirih Sekar, suaranya terisak.
Helena mengangkat alisnya, "Untuk apa?"
"Atas semua perlakuan aku pada Senja. Aku selalu mengabaikan dan cuek padanya," aku Sekar, air mata mulai membasahi pipinya.
Helena menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. "Sekar, aku mau tanya, atas dasar apa kamu dan yang lain memperlakukan Senja setidak adil itu?"
Sekar menunduk, "Karena Caca… Caca selalu bilang kalau Senja tidak menyukainya, bahkan berniat membunuhnya. Caca selalu babak belur kalau ditinggal berdua dengan Senja di rumah."
Helena mengerutkan keningnya. "Dan kalian percaya begitu saja pada Caca, tanpa meminta penjelasan Senja terlebih dahulu?"
Sekar mengangguk, air matanya mengalir deras. Percuma berbohong, ibunya sudah tahu semuanya.
"Di sekolah, Senja selalu juara. Dia cerdas. Caca iri, ingin dipuji seperti Senja. Dia merengek pada kita untuk menyuruh Senja pura-pura bodoh. Dan Senja… Senja selalu menurut, tanpa melawan. Tapi setelah ulang tahunnya yang ke-16, dia berubah. Dia tidak lagi mendengarkan kita. Dia menjadi dirinya sendiri," Sekar menjelaskan, suaranya terputus-putus oleh isak tangis.
Helena bangkit, suaranya meninggi, "Kamu tahu kenapa Senja selalu mengalah? Karena dia berharap kalian menyayangi dia seperti kalian menyayangi Caca! Senja sudah lelah diabaikan! Makanya dia memilih untuk bangkit dan menjadi dirinya sendiri!"
"Buat apa kamu minta maaf padaku, Sekar? Seharusnya kamu minta maaf pada Senja, putrimu! Kamu tidak tahu seperti apa lukanya? Luka yang kalian buat sejak dia berumur lima tahun! Semua perhatian dan kasih sayang kalian berikan pada Caca, sementara Senja kalian lupakan! Cucuku menderita, Sekar! Kamu tahu itu?!" Helena menangis tersedu-sedu, air matanya membasahi pipinya.
Sekar ikut menangis, terisak mengingat perlakuan kejamnya pada Senja. Kenangan demi kenangan muncul di benaknya, menusuk hatinya dengan rasa bersalah yang amat dalam.
Helena memanggil Surti, asisten rumah tangga yang sudah lama bekerja di keluarga mereka. "Surti, jelaskan pada Sekar apa yang Senja alami selama ini karena perlakuan mereka yang tidak adil."
Surti, dengan mata berkaca-kaca, menceritakan semuanya. "Sejak Caca ada di rumah ini, Nona Senja menjadi murung dan pendiam. Setiap hari dia melihat Raka, Radit, dan Galih memanjakan Caca, sementara dia diabaikan. Setiap malam, tangisnya selalu pecah di dalam kamar."
Raka, Radit, dan Galih, yang baru pulang dari kantor dan sekolah, mendengar cerita Surti. Mereka juga menangis, menyesali perbuatan mereka. Hanya Surti yang selalu ada untuk Senja, menjadi tempat Senja mencurahkan isi hatinya. Senja sangat menyayangi Surti lebih dari siapa pun.
Keheningan menyelimuti ruangan, hanya isak tangis yang memecah kesunyian. Bayangan Senja, gadis kecil yang terluka, menghantui mereka semua.
Galih, kakak ke 3 senja itu, memecah kesunyian. Suaranya bergetar, menunjukkan betapa menyesalnya dia. "Kak, ternyata selama ini kita sudah membuat luka yang begitu dalam pada Senja," katanya, menatap saudaranya satu per satu.
Raka, yang biasanya pendiam dan tenang, mengangguk setuju. "Benar itu, Dek. Kita tertipu dengan muka polosnya Caca. Dia begitu licik, memanipulasi kita semua." Nada suaranya menunjukkan penyesalan yang mendalam. Dia menyesali kebodohannya yang telah mempercayai Caca begitu saja.
Radit, yang selalu emosional, menunjukkan amarahnya. "Berarti Caca lah yang melukai dirinya sendiri supaya kita membenci Senja! Dia yang licik! Kita semua tertipu!" Amarahnya bukan ditujukan kepada Senja, tetapi kepada Caca, yang telah menjadi biang keladi dari semua permasalahan ini. Dia merasa bodoh dan marah karena telah begitu mudah dimanipulasi.
Ketiga kakak Senja itu saling memandang, menunjukkan rasa penyesalan yang mendalam. Mereka menyadari betapa besar kesalahan yang telah mereka perbuat. Mereka telah menyakiti Senja, adik perempuan mereka sendiri, selama bertahun-tahun. Kesadaran itu begitu menyayat hati. Mereka berharap Senja bisa memaafkan mereka, meski mereka tahu itu tidak akan mudah.