Cinta itu manis, sampai kenyataan datang mengetuk.
Bagi Yuan, Reinan adalah rumah. Bagi Reinan, Yuan adalah alasan untuk tetap kuat. Tapi dunia tak pernah memberi mereka jalan lurus. Dari senyuman manis hingga air mata yang tertahan, keduanya terjebak dalam kisah yang tak pernah mereka rencanakan.
Apakah cinta cukup kuat untuk melawan semua takdir yang berusaha memisahkan mereka? Atau justru mereka harus belajar melepaskan?
Jika bertahan, apakah sepadan dengan luka yang harus mereka tanggung?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jemiiima__, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 16
...Eternal Love...
...•...
...•...
...•...
...•...
...•...
...🌻Happy Reading🌻...
Dua bulan berlalu tiba saatnya reinan wisuda.
Hari itu aula kampus penuh dengan toga hitam dan senyum bahagia. Reinan berjalan anggun dengan toga dan topi wisudanya, wajahnya berbinar tapi juga agak gugup.
Setelah acara selesai, di luar gedung banyak keluarga dan teman sibuk memberikan ucapan selamat.
Di antara kerumunan, Yuan denga kerennya memakai kacamata hitam. Ia membawa bucket bunga besar berisi mawar putih dan biru, menunggu dengan sabar sambil sesekali memperhatikan Reinan.
Begitu Reinan keluar, matanya langsung menangkap Yuan. Seketika langkahnya terhenti, matanya berkaca-kaca.
"Selamat wisudaa" Yuan menyodorkan bucket bunga itu sambil tersenyum hangat.
Reinan menerima bunganya dengan wajah penuh Haru.
"Terima kasih"
"Hari ini cuma awal, semoga karier dan masa depanmu semakin cemerlang." jawab Yuan tenang.
Reinan tertawa kecil, tapi air matanya menetes tanpa sadar. Yuan meraih sebentar bahu Reinan, menyapukan ibu jarinya di bawah matanya. "Jangan nangis, ini momen bahagia."
"Bukan nangis... ini namanya bocor," sahut Reinan, mencoba bercanda biar nggak terlihat terlalu emosional.
Yuan hanya terkekeh, lalu menunduk sedikit, berbisik di telinganya, "Ayo ikut, saya masih punya kejutan yang lain"
...****************...
Setelah sesi foto dan ucapan selamat selesai, Yuan mengajak pergi Reinan ke sebuah restoran.
Restoran itu terletak di rooftop hotel dengan pemandangan kota yang penuh cahaya malam. Angin sepoi berhembus, menambah suasana hangat bercampur romantis.
Reinan duduk di seberang Yuan, masih dengan toga dan gaun wisudanya yang sudah ditukar menjadi dress simpel pemberian Yuan tadi sore. Cahaya lampu kuning temaram membuat wajahnya semakin lembut terlihat.
Saat hidangan penutup datang, Yuan tiba-tiba mengeluarkan sebuah kotak kecil berbalut pita perak dari sakunya. Lalu menyodorkannya pada Reinan. "Ini... untuk kamu."
Reinan membuka perlahan, menemukan sebuah kalung perak sederhana. Liontinnya berbentuk bulan sabit, dan di dalam lekukan bulan itu, ada bintang kecil yang berkilau.
"Cantik banget..." Reinan berbisik sambil menyentuhnya hati-hati. "Tapi... artinya apa?"
Yuan menatapnya lembut. "Ini bintang yaitu kamu, Reinan. Dan ini bulan yaitu saya yang akan selalu ada di dekatmu, melindungimu, bahkan di saat gelap sekalipun."
Reinan tercekat, dadanya hangat sekaligus nyeri karena terlalu terharu. "Yuan..."
"Boleh saya pakaikan?"
Reinan hanya bisa mengangguk. Yuan lalu bangkit, berjalan ke belakang kursinya, dan dengan lembut menyingkap rambut panjang Reinan ke satu sisi. Jemarinya berhati-hati ketika menutup kaitan kalung itu di tengkuknya.
Saat Reinan kembali menoleh, mata mereka bertemu begitu dekat. Reinan tersenyum kecil, suaranya hampir berbisik, "Makasih... untuk semuanya."
Yuan menunduk sedikit, mengecup keningnya singkat di tengah cahaya lampu kota. "Selama saya ada, kamu nggak akan pernah sendiri."
Suasana rooftop masih terasa hangat setelah momen kalung tadi. Reinan baru saja tertawa kecil ketika Yuan tiba-tiba merasakan getaran ponselnya di saku jas. Ia mengeluarkannya, melihat layar, dan ekspresinya berubah serius dan sedikit kaku.
Reinan langsung menangkap perubahan itu. "Ada apa? Pesan dari siapa?" tanyanya pelan.
Yuan menarik napas singkat, menatap sebentar ke arah Reinan. "Ibuku... beliau menyuruhku pulang. Katanya ada hal penting yang harus dibicarakan."
Alis Reinan terangkat. Ia bisa melihat kekhawatiran samar di wajah Yuan. "Kalau begitu... ya sudah, ayo kita pulang sekarang saja. Siapa tahu memang penting."
Yuan menatapnya, seolah enggan memutuskan momen indah mereka. "Tapi-"
Reinan tersenyum menenangkan, meski sedikit berat di hatinya. "Nggak apa-apa, kita masih bisa punya banyak waktu lain. Kalau ibumu sudah bilang penting, berarti memang penting."
Yuan akhirnya mengangguk. Ia memanggil pelayan untuk meminta bill, lalu mereka berjalan keluar restoran bersama. Sepanjang perjalanan ke parkiran, Yuan menggenggam tangan Reinan erat, seakan tidak mau berpisah terlalu cepat malam itu.
Di mobil, Yuan tetap menepati kebiasaannya: mengantar Reinan lebih dulu ke apartemennya. Begitu sampai, Reinan membuka pintu mobil, lalu menunduk ke arah Yuan. "Jangan khawatir dulu, dengar saja apa yang ibumu mau bicarakan. Kalau ada apa-apa, kabari aku."
Yuan menatapnya lama, lalu mengusap lembut kepala Reinan. "Baik. Kamu istirahat ya. Terima kasih karena selalu mengerti saya. "
Sebelum Reinan masuk, Yuan sempat mencondongkan diri dan mengecup bibirnya singkat sebuah janji diam-diam bahwa meski ada urusan mendesak, perasaan mereka tetap sama.
Setelah Reinan masuk ke apartemen, Yuan menarik napas panjang, lalu mengarahkan mobilnya menuju rumah orang tuanya.
Mobil berhenti di halaman rumah keluarga Yuan. Rumah besar itu tampak megah, dengan taman yang selalu rapi terawat. Yuan turun dari mobil, menegakkan tubuhnya, meski dalam hati ada sedikit perasaan gelisah.
-Kediaman Baek-
Begitu masuk ke ruang tamu, ia langsung melihat ibunya duduk anggun di sofa, dengan tatapan serius. "Kamu pulang juga akhirnya," suara ibunya tenang, tapi mengandung nada yang tak bisa dianggap sepele.
Yuan menunduk hormat. "Mama bilang ada hal penting, jadi aku datang"
Suasana ruang tamu tiba-tiba menegang. Ibunya Yuan meletakkan sebuah map tipis di meja. Dari dalamnya, ia keluarkan beberapa lembar foto-foto Yuan bersama Reinan: saat keduanya keluar dari apartemen, makan malam berdua, bahkan momen sederhana seperti berjalan berdekatan.
"Ini yang ingin Mama bicarakan sebenarnya," ucap ibunya pelan, tapi penuh tekanan. "Mama tahu tentang gadis itu"
Mata Yuan langsung membelalak, tangannya mengepal di sisi tubuh. "Ma... bagaimana bisa-"
"Yuan." Sang ibu memotong dengan nada tegas. "Dia terlalu muda untukmu. Masih mahasiswa. Status keluarganya pun belum jelas. Apa kamu pikir dia bisa berdiri sejajar denganmu? Dengan keluarga kita?"
Yuan menghela napas keras, berusaha menahan diri. "Ma... Reinan bukan sekadar 'gadis muda'. Dia pekerja keras, dia tulus, dan aku-" ia berhenti sejenak, menatap ibunya lurus. "aku mencintainya."
Ibunya menggeleng pelan, tapi tatapannya tajam. "Cinta saja tidak cukup. Dunia kita tidak sesederhana itu. Mama tidak ingin kamu menyesal nanti."
Yuan berdiri, suaranya meninggi untuk pertama kalinya. "Seumur hidup, aku selalu menuruti semua keinginan Mama dan Papa. Dari sekolah, karier, bahkan bagaimana harus menjalani hidup. Tapi kali ini..." ia mengepalkan tangan, nadanya gemetar menahan emosi, "kali ini biarkan aku memutuskan sendiri siapa yang menjadi pendampingku."
Ibunya terdiam. Untuk sesaat, ruang tamu itu hanya dipenuhi suara napas berat Yuan.
Yuan hendak berbalik pergi, tapi langkahnya terhenti. Dengan wajah menegang, ia menoleh lagi ke arah ibunya.
"Ma..." suaranya berat, penuh emosi yang ditahan. "Apa Mama ingin kejadian Yiran Hyung terulang kembali? "
Ibunya sontak terdiam. Wajahnya yang tadinya tegas langsung berubah kaku, seolah ada luka lama yang tersentuh.
Suasana ruang tamu mendadak terasa sesak.
Ibunya mencoba membuka mulut, "Yuan, itu berbeda..."
Ibunya menunduk, genggaman tangannya di pangkuan semakin erat. Luka lama itu jelas masih membekas. Tapi Yuan tidak menunggu jawaban lagi. Dengan dada yang naik turun karena amarah tertahan, ia berbalik meninggalkan ruangan, meninggalkan ibunya terdiam dalam bayang-bayang masa lalu.