JATUH KEPELUKAN SANG PANGERAN
Zhao, putri bangsawan yang terkenal cantik dan keras kepala, kembali membuat kehebohan di kediaman keluarganya. Kali ini, bukan karena pesta atau keributan istana… tapi karena satu hal yang paling ia hindari seumur hidup: perjodohan!
Dirinya dijodohkan dengan Pangeran Wang pangeran kerajaan yang dikenal dingin, tegas, dan katanya... kejam?! Zhao langsung mencari cara kabur, apalagi hatinya telah tertambat pada sosok pria misterius (pangeran yu) yang ia temui di pasar. Tapi semua rencana kacau saat ia malah jatuh secara harfia ke pelukan sang pangeran yang tak pernah ia pilih.
Ketegangan, kekonyolan, dan adu mulut menjadi awal dari kisah mereka. Tapi akankah hubungan cinta-benci ini berubah jadi sesuatu yang lebih hangat dari sekadar perjodohan paksa?
Kisah cinta kerajaan dibalut drama komedi yang manis, dramatis lucu, tegang dan bikin gemas!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sarah Siti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
API DALAM SEKAM ISTANA
Langit mulai gelap, warna jingga memudar perlahan di balik atap-atap pavilion istana. Di taman belakang Paviliun Hwajin, ketiga gadis itu duduk di bawah naungan pohon yang daunnya mulai gugur tertiup angin musim panas.
Zhao menatap wajah xiao dengan cemas. Xiao tampak tenang, duduk sambil memandangi bunga-bunga yang mulai layu. Namun, ketenangan itu justru membuat Zhao semakin khawatir.
“Xiao… apa kau benar baik-baik saja?” tanya Zhao lirih sambil menggenggam tangan xiao erat. “Jangan terlalu memikirkannya. Jaga kesehatanmu, ya?”
Xiao menoleh, tersenyum polos.
“Aku baik-baik saja, Kak,” jawabnya pelan. “Sudah kubilang… jantungku akan selalu berdetak saat bersama Pangeran Jaemin.”
Dari samping, Hwajin yang sejak tadi diam ikut menyambung dengan suara lembut, “Jadi benar… jantungmu lemah?”
Xiao mengangguk kecil. “Tapi aku tak pernah bercerita pada siapa pun. Aku hanya bilang… jantungku berdetak kencang tiap kali melihat Pangeran Jaemin,” ia tertawa kecil, getir. “Tak kusangka itu berubah jadi bahan gunjingan seisi istana.”
Zhao menarik napas pelan. “Begitulah di istana, kalau kita tak pandai menyembunyikan sesuatu…”
“Tapi aku memang tak ingin menyembunyikannya,” potong Xiao tanpa ragu. “Aku ingin mereka tahu. Aku memang menyukai Pangeran Jaemin.”
Keduanya terdiam sejenak sebelum Zhao kembali bersuara, hati-hati, “Tapi… bagaimana jika Kaisar benar-benar mendengar rumor itu? Dia bisa saja memanggil Ayahmu dan menyalahkanmu karena dianggap berani mengejar Pangeran Jaemin.”
Xiao memucat. Tangan di pangkuannya mengepal erat.
“Itu dia…” gumamnya, “Bagaimana aku harus menghadapi Ayah? Jika beliau menganggap ini mempermalukan keluarga… aku pasti akan dilarang keluar rumah lagi.”
Ia terdiam sejenak, lalu menunduk. “Dan… jantungku... mungkin tak akan bertahan jika aku harus jauh dari Pangeran Jaemin…”
Zhao menggigit bibir, merasa bersalah. “Ini semua salahku. Aku terlalu melibatkanmu dalam urusanku… Maafkan aku.”
Namun Xiao langsung menggeleng cepat.
“Karena Kakak… aku bisa lebih dekat dengan Pangeran Jaemin. Untuk sekarang, itu sudah cukup bagiku. Jika nanti aku harus dijauhkan… aku akan menerimanya.”
Hwajin menepuk bahu Xiao dengan lembut. “Kau pasti bisa melewati semuanya,” katanya hangat. “Kau lebih kuat dari yang kau kira.”
Belum sempat suasana melunak, langkah kaki cepat terdengar dari arah lorong taman. Ketiganya menoleh bersamaan.
Pangeran Jaemin muncul dengan napas terburu, wajahnya serius.
“Xiao!” panggilnya, langsung menghampiri.
“Xiao.”
Suara itu terdengar pelan namun jelas menyusup di antara gemerisik daun dan hembusan angin senja. Ketiga gadis itu menoleh bersamaan.
Xiao tersenyum begitu melihat sosok yang ia kenal. “Pangeran,” ucapnya pelan, seolah hanya ingin dia yang mendengarnya.
Pangeran Jaemin melangkah cepat ke hadapan mereka, sorot matanya bingung dan khawatir. “Kau baik-baik saja? Bagaimana bisa… rumor seperti itu tiba-tiba menyebar?”
Xiao menggeleng pelan. “Aku tak tahu,” jawabnya jujur, “Tapi… apakah itu mengganggumu, Pangeran?”
Pangeran Jaemin terdiam sejenak sebelum berkata, “Bukan itu… Tapi tentang jantungmu, apakah itu benar?”
Xiao menunduk sesaat lalu mengangguk perlahan. “Aku pernah bilang padamu… Saat pertama kali melihatmu, jantungku yang dulu sempat nyaris berhenti berdetak… tiba-tiba hidup kembali. Berdegup sangat kencang. Tuk tuk tuk. Seperti itu bunyinya.” Ia tersenyum ringan. “Dan aku merasa… itu adalah kesempatan hidupku.”
Jaemin terdiam. Ia mengingat ucapan itu pernah terdengar, dan ia memang mendengarnya… tapi saat itu tak ia tanggapi serius.
“Ah… aku memang tidak memperhatikannya,” gumam Jaemin, seolah bicara pada dirinya sendiri.
Zhao menatapnya dengan pandangan penuh tanya. “Pangeran… apa yang akan kau lakukan?”
“Aku belum tahu,” jawab Jaemin jujur. “Yang jelas, Ayah pasti akan memanggilku. Dan aku belum tahu harus menjelaskan apa.”
Xiao menatapnya lembut. “Kalau begitu, kau bisa berkata sejujurnya. Bahwa kau tak menyukaiku… dan akulah yang mengejarmu. Dengan begitu… tak akan jadi masalah untukmu.”
Namun Jaemin menggeleng cepat. “Tidak semudah itu. Lagi pula, kau temanku. Aku tidak akan bersikap pengecut seperti itu. Kak Zhao juga pasti takkan senang jika aku berbuat seperti itu, benar begitu?”
Zhao mengangguk, tersenyum kecil. “Kau sudah mulai dewasa, Jaemin. Kau pasti tahu bagaimana menjelaskannya pada ayahmu.”
Langkah kaki dari arah samping membuat mereka semua menoleh. Pangeran Yu dan Pangeran Wang muncul di balik semak mawar, wajah mereka terlihat lebih tegang dari biasanya.
“Pangeran Jaemin, rupanya kau di sini,” ucap Pangeran Yu datar. Pandangannya menyapu kehadiran para gadis. “Kalian semua ada di sini rupanya.”
“Pangeran Yu,” sapa Hwajin dengan suara lembut. Senyum kecil terbit di wajah Pangeran Yu.
“Kalian juga sudah mendengar soal rumor itu?” tanya Zhao.
Pangeran Wang mengangguk. “Bahkan… Yang Mulia Kaisar pun sudah tahu. Pangeran Jaemin diminta menghadap secepatnya.”
“Astaga... benarkan…” gumam Jaemin dengan suara lirih, wajahnya sedikit tegang.
“Apa aku perlu ikut untuk menjelaskan pada Kaisar?” tanya Xiao lirih, menatap Jaemin penuh niat.
Namun Pangeran Wang langsung menyahut sebelum Jaemin sempat menjawab. “Jangan,” katanya tegas namun tenang. “Justru kehadiranmu bisa membuat situasi makin rumit. Ayahmu juga kemungkinan akan segera dipanggil.”
Zhao menunduk, kegelisahan mulai terlihat di matanya. Ia menggigit bibir bawahnya, lalu berbisik pada Pangeran Wang yang berdiri di dekatnya.
“Pangeran… Apa ini salahku?” tanya Zhao lirih, seakan merasa menyesal karena telah menyeret Xiao ke dalam pusaran istana.
Pangeran Wang menoleh padanya, lalu menjawab dengan suara yang dalam dan tenang, “Bukan. Ini adalah ujian… untuk hati mereka berdua.”
Zhao mengerutkan kening. “Ujian… maksudmu?”
Pangeran Wang tersenyum samar. “Kau akan tahu nanti
Istana Dalam Ruang Audiensi Pribadi Kaisar
Pangeran Jaemin berdiri tegak di hadapan Kaisar, wajahnya serius meski jelas terselip rasa gugup. Ia menunduk dalam memberi hormat.
“Pangeran Jaemin,” ucap Kaisar tenang namun tegas.
“Ayah,” balas Jaemin dengan suara pelan, menunduk sopan.
“Ada yang ingin kau jelaskan soal… rumor pertamamu yang tiba-tiba meledak di seluruh penjuru istana?”
Jaemin menarik napas dalam. “Maafkan aku, Ayah. Aku benar-benar tak tahu kalau semua ini akan menyebar seperti itu…”
Kaisar menyilangkan tangan, matanya tajam. “Lalu… apa yang harus kulakukan pada gadis kecil yang katanya mengejarmu itu dengan terang-terangan?”
Pangeran Jaemin menatap lantai sejenak sebelum menjawab. “Awalnya aku bahkan tak sadar dia memperhatikanku, karena aku tidak terlalu peduli… kecuali pada teman dan saudaraku. Tapi setelah dia menjadi temanku… aku mulai melihatnya. Aku juga mulai… mengingat kata-katanya.”
“Lalu?” desak Kaisar.
“Jika semua ini jadi kekacauan, biarlah aku yang bertanggung jawab. Aku harap Ayah tidak menghukumnya.”
Kaisar mendengus. “Masalahnya bukan pada gadis itu. Yang membuatku kesal adalah kau. Pangeran yang selalu menolak perjodohan, tiba-tiba membiarkan seorang gadis mengejarmu… dan kau diam saja.”
“Karena sekarang… dia temanku, Ayah,” ucap Jaemin jujur.
Kaisar bersandar pada kursi singgasananya. “Begitu ya? Kalau begitu, apa aku perlu menjodohkanmu dengannya sekalian?”
“Ayah…” Jaemin menghela napas berat. “Aku belum menyukainya. Dan aku tidak ingin menikah dengan seseorang yang tidak aku cintai.”
Kaisar mengangguk pelan, lalu berkata datar, “Kalau begitu, aku akan memanggil ayahnya dan menyuruhnya membawa gadis itu pergi jauh darimu.”
Wajah Jaemin langsung berubah. “Ayah… jangan seperti itu juga…”
Kaisar tak tahan, tawanya pecah. “Hahaha… dasar kau, pangeran kecil yang mulai tumbuh besar.”
Jaemin ikut tertawa, lega. “Aku sempat berpikir Ayah akan memarahiku.”
“Sebenarnya Pangeran Wang sudah lebih dulu menceritakan padaku,” ucap Kaisar. “Lagi pula, dia adalah putri Menteri Han. Dalam pandangan politik, ini bisa memperkuat posisi kalian untukmu maupun kakakmu.”
Jaemin mendengus kecil. “Ayah dan Kakak selalu menyangkutkan semuanya pada politik…”
Kaisar tersenyum bijak. “Itu memang bagian dari istana. Tapi urusan perasaan… kau yang menentukan. Aku takkan memaksamu.”
“Terima kasih, Ayah. Kau memang selalu hangat.”
Kaisar lalu menatap Jaemin lebih serius. “Tapi, tentang penyakit gadis itu jantungnya yang lemah. Apa kau akan tetap menerimanya di sekitarmu?”
“Aku akan tetap berteman dengannya… apapun yang terjadi. Aku percaya dia kuat, bahkan saat semua orang meragukannya.”
Kaisar mengangguk. “Baiklah. Tapi aku beri kau waktu. Dua bulan. Jika dalam waktu itu kau masih belum bisa menerima perasaannya… maka aku tak bisa terus membiarkan dia berada di sekitarmu. Ingat itu.”
“Wah… Ayah kejam sekali,” Jaemin bergumam, tersenyum geli.
Kemudian, ia menatap ayahnya penuh rasa ingin tahu. “Lalu bagaimana dengan rumor-rumor itu, Ayah? Apa tidak mengganggumu dan para anggota dewan?”
Kaisar menghela napas. “Aku sudah terlalu sering menghadapi rumor, Jaemin. Anggap saja itu seperti debu di istana yang tak bisa dihindari. Biarkan kakak-kakakmu yang menanganinya. Tapi kalau kau ingin membantu mereka, silakan. Itu memang sudah seharusnya jadi tugasmu juga.”
Jaemin mengangguk perlahan. “Baik, Ayah. Terima kasih… sudah memaklumi anakmu yang payah ini.”
Kaisar menatap putranya, lalu tersenyum hangat. “Karena kau bukan hanya pangeran… kau adalah putraku. Dan salah satu kesayanganku.”
Jaemin menunduk dalam-dalam. Untuk sesaat, ia melupakan semua beban istana karena hatinya terasa penuh oleh hangatnya cinta seorang ayah.
Sementara itu, di kediaman Zhao dan Pangeran Wang
Zhao mondar-mandir gelisah. Sementara Pangeran Wang duduk tenang di sofa, membaca kitab kuno.
“Kalau kau terus mondar-mandir seperti itu, kau akan pusing sendiri, Nona Zhaoku,” ucapnya santai.
Zhao mendecak. “Aish! Aku benar-benar cemas, tahu? Adikmu dan Xiao sedang dalam masalah, dan kau selalu saja terlihat tenang dan damai!”
Pangeran Wang menutup bukunya perlahan. Ia bangkit, menghampiri Zhao.
“Aku memang seperti ini. Lalu... kau mau aku ikut-ikutan mondar-mandir di belakangmu?”
Zhao mendelik. Tapi sebelum sempat membalas, Meilan masuk terburu-buru.
“Nona! Saya sudah menelusuri semuanya. Pusat rumor itu... berasal dari kediaman Nona Lee.”
Zhao membelalak. “Astaga... dia lagi?!”
---
“Baiklah, Meilan. Terima kasih informasinya,” ucap Zhao pelan. Meilan membungkuk lalu pergi.
“Kau menyuruhnya mencari tahu?” tanya Pangeran Wang.
“Yah... ternyata benar dia lagi. Sampai kapan sih dia akan menggangguku dan orang-orang di sekitarku? Kapan semua ini akan berhenti?” keluh Zhao.
“Aku sudah tahu sejak Meilan memata-matai kediaman ayahmu. Tapi langkah Nona lee terlalu terburu-buru. Aku punya pirasat mungkin dia sedang mengalihkan perhatian. Di balik semua ini... pasti ada seseorang yang sedang mempersiapkan sesuatu,” ucap pangeran Wang dengan tatapan tajam.
“Kenapa ucapanmu menakutkan seperti itu...” gumam Zhao.
“Aku hanya menebak. Tapi aku juga tidak akan diam saja,” lanjut pangeran Wang.
“Kau... sedang merencanakan sesuatu?” tanya Zhao.
“Yah... ada. Tapi mata-mata di istana ini terlalu banyak,” ucapnya lirih.
Zhao mengangguk mengerti.
“Ah... kau benar.”
“Jadi... berhenti mencemaskan mereka. Pikirkanlah aku,” ucap pangeran Wang tiba-tiba, manja.
“Kau manja sekali,” ujar Zhao sambil tertawa geli.
“Apa tidak boleh?” pangeran Wang menaikkan alis.
“Tentu... kalau hanya padaku saja.”
“Baiklah. Tapi... aku selalu tidak tahan kalau memandangmu terlalu lama.”
Pangeran Wang langsung menggelitik pinggang Zhao.
“Hei! Hentikan! Apa yang kau lakukan?!”
Pangeran Wang mendekatkan wajahnya, mencium bibir Zhao dengan lembut. Zhao membalasnya. Dalam diam, dalam rasa percaya.
Tak lama, Pangeran Wang mengangkat Zhao ke tempat tidur, masih menatapnya tanpa berkedip.
Dan ... entah apa yang terjadi setelah itu.
---
Di tempat lain, dua sosok sedang berbincang rahasia
“Dia sedang melakukan tugasnya. Mengalihkan perhatian semua orang di istana. Sementara itu, kita terus melatih pasukan dan memperbanyak jumlah mereka... agar kita bisa memberontak dengan mudah.”
Seseorang di hadapannya tersenyum sinis.
“Aku sangat menanti saat itu datang... Dan kau adalah satu-satunya orang yang bisa membantuku, Ayah Mertua.”
Ternyata... mereka adalah Pangeran Chun dan Menteri Perang ayah dari Nona Lee.
Di dalam balairung pribadi yang hanya digunakan untuk urusan penting kerajaan, Menteri Han menundukkan kepala dalam-dalam, berlutut di hadapan Kaisar. Suasana ruangan sunyi, hanya terdengar detik waktu dari lonceng air di sudut ruangan.
Kaisar menatapnya dengan tenang.
“Aku memanggilmu bukan untuk memarahimu, Menteri Han,” ucapnya pelan, namun penuh tekanan. “Tapi untuk membicarakan tentang rumor yang kini menyebar di istana. Tentang putrimu… dan Pangeran Jaemin.”
Menteri Han mendesah berat, tetap menunduk dalam.
“Saya mohon maaf yang sebesar-besarnya atas kelalaian saya menjaga putri saya, Yang Mulia. Saya tidak bermaksud membiarkannya menjadi sumber masalah… terlebih sampai mengganggu kehidupan pribadi Pangeran Jaemin.”
Kaisar tersenyum samar, sedikit tak terduga.
“Justru aku berterima kasih padanya.”
Menteri Han mendongak, terkejut.
“Y… Yang Mulia?”
“Putraku itu terlalu santai. Terlalu asyik dengan dunianya sendiri, hingga tidak pernah serius menanggapi perjodohan atau politik istana. Kehadiran putrimu… membuatnya belajar untuk menghargai seorang wanita.”
Menteri Han terlihat ragu, lalu berkata lirih, “Tapi putri saya… berbeda dari gadis lain, Yang Mulia. Ia ceroboh, dan juga…”
Ia berhenti sejenak. “…menderita gangguan jantung sejak lahir.”
Kaisar mengangguk pelan.
“Jantungnya lemah, bukan?”
Menteri Han membeku.
“Y-Ya, Yang Mulia… saya hanya khawatir jika ia terlalu dilibatkan dalam urusan istana, itu akan memperburuk kondisinya. Saya tidak ingin ia jadi korban intrik.”
Kaisar kembali menatapnya, kali ini dengan pandangan yang lebih dalam.
“Kalau begitu… kau tidak memperhatikan kondisinya sekarang?”
Menteri Han terdiam sejenak. Lalu perlahan-lahan berkata, “Ah… akhir-akhir ini ia terlihat lebih ceria. Nafasnya lebih stabil, dan ia tampak… jauh lebih hidup.”
“Berarti pengaruh putraku sungguh besar padanya.”
Nada suara Kaisar nyaris terdengar puas.
Menteri Han tersenyum kaku. “Sepertinya begitu, Yang Mulia…”
Kaisar lalu mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, tatapannya berubah tajam.
“Dan tentang urusan politik... biarlah itu menjadi urusanku. Aku butuh kekuatanmu untuk mendukungku dan juga putraku. Kau hanya perlu setia.”
Menteri Han mengangkat wajahnya perlahan.
“Yang Mulia… apakah ini ada kaitannya dengan Pangeran Wang?”
Kaisar mengangguk pelan, tetapi tegas.
“Sebentar lagi, aku akan mengangkat Pangeran Wang sebagai Putra Mahkota. Tapi… banyak yang menentangnya. Aku tak bisa sendirian dalam menghadapi perlawanan itu.”
Hening sesaat.
Kemudian, Menteri Han mengepalkan tangan di atas lututnya dan menunduk dalam.
“Saya mengerti, Yang Mulia. Saya akan bekerja keras, setia mendukungmu dan Pangeran Wang… demi istana ini, dan demi negeri ini.”
Tatapan mereka saling bertemu, tajam namun saling mengukur kekuatan.
Tak ada janji yang lebih kuat dari kata "setia" di hadapan seorang Kaisar.
Dan di balik ketenangan yang dibangun dalam ruang itu, roda kekuasaan mulai bergerak. Perlahan, tapi pasti.