Heera Zanita. Besar disebuah panti asuhan di mana dia tidak tahu siapa orang tuanya. Nama hanya satu-satunya identitas yang dia miliki saat ini. Dengan riwayat sekolah sekedarnya, Heera bekerja disebuah perusahaan jasa bersih-bersih rumah.
Disaat teman-teman senasibnya bahagia karena di adopsi oleh keluarga. Heera sama sekali tidak menginginkannya, dia hanya ingin fokus pada hidupnya.
Mencari orang tua kandungnya. Heera tidak meminta keluarga yang utuh. Dia hanya ingin tahu alasannya dibuang dan tidak diinginkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dian Fauziah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
15
Aku kembali ke rumah keluarga Hilmar. Seperti biasa Oma Melati menyambutku dengan hangat. Aku menerima perlakuan itu dengan baik. Kali ini pak Arga tidak sedang menulis. Pria itu tengah membaca buku di balkon lantai dua. Aku sengaja tidak langsung menghampirinya. Aku memilih duduk bersama Oma Melati lebih dulu.
Seorang pelayan datang dengan dua cangkir teh. Jika dilihat, Oma Melati saat ini terlihat lebih cerah dan tenang. Tidak lagi menatapku dengan terang-terangan seperti sebelumnya.
"Oma. Kenapa di rumah hanya ada Oma dan Pak Arga?"
"Semua orang sibuk. Lagi pula, di rumah ini hanya ada aku, Arga, dan Elvi. Keluarga lain ada di luar kota dan hanya sesekali datang."
"Begitu ya Oma."
"Tenang saja. Aku sudah mengatakan pada mereka tentang kamu."
"Terima kasih Oma."
"Ada satu hal yang belum aku katakan padamu."
Aku memperbaiki dudukku agar bisa menghadap Oma Melati langsung. Aku ingin dengar dengan jelas hal apa yang belum dia sampaikan. Apa ini tentang Ibu Heni atau Pak Arga.
"Jika selama satu minggu lebih Arga masih sama. Kau bisa berhenti."
Aku tersenyum. Ternyata tentang hal ini. Oma Melati tidak tahu jika aku dan Mada sudah menemui dokter Pak Arga. Kami membahas beberapa hal, di mana Pak Arga akan mengamuk dan menyiksa dirinya jika mengingat Ibu Heni.
Jadi, sebisa mungkin aku akan membuat Pak Arga tenang dan mendapat emosinya dulu. Urusan sembuh total, aku tidak bisa menjamin tapi di saat itu terjadi. Aku yakin Oma Melati akan menyesal sudah membawaku datang ke rumah ini.
Perbincanganku dan Oma Melati berakhir. Hari ini aku meminta jadwal Pak Arga pada Oma Melati. Tentunya agar aku bisa menemani Pak Arga tanpa harus diganggu.
Jika kedekatan terjalin, Pak Arga pasti tidak akan sungkan saat aku bertanya tentang Ibu Heni. Jadi, aku bisa tahu cerita dari sisi keluarga Hilmar.
"Mbak."
Aku memanggil seorang pelayan yang baru keluar dari dapur. Dia membawa jus alpukat dan kudapan di piring.
"Nona ..."
"Dia Nona Heera. Anak Pak Arga yang telah lama hilang."
Aku menoleh dan mendapati Oma Melati di belakangku. Aku tersenyum pada pelayan itu. Pelayan itu mengangguk padaku.
"Biar saya yang bawa untuk Papa."
"Baik, Nona."
Aku mengambil alih nampan itu. Membawanya ke lantai dua di mana Pak Arga tengah sibuk dengan bukunya. Kembali aku merasa sakit hati saat melihatnya.
"Papa. Aku datang," kataku sembari meletakkan nampan ke meja.
"Heera."
Aku tersenyum dan duduk di sampingnya. Merindu, itu buku yang saat ini di baca oleh Pak Arga. Pria itu menutupnya dan meletakkan di sisi meja yang lain.
"Kenapa kemarin pulang cepat?"
"Suamiku datang menjemputku."
"Kamu sudah menikah?" tanya Pak Arga antuasias.
"Sudah, Pa. Maaf, aku tidak mengabari Papa karena saat itu belum tahu."
Ya, saat itu aku tidak tahu jika kau adalah ayahku. Aku memilih menikah dengan di dampingi oleh wali hakim.
"Kapan kau kenalkan aku dengannya?"
"Jika sudah saatnya nanti Pa. Pa, buku apa yang Papa baca." Aku berharap pancinganku mendapatkan hasil bagus kali ini.
Pak Arga melihat ke arah buku yang jelas terlihat judulnya. Wajahnya berubah sendu, seakan bayangan masa lalu datang menari dalam pelupuk matanya.
"Apa Papa rindu dengan seseorang?"
Pak Arga mengangguk. Dia mengambil buku itu dan membuka sebuah halaman. Tidak aku sangka gambar Ibu Heni di sana.
"Aku sangat merindukan Ibumu."
Jantungku berdetak lebih cepat. Entah kenapa saat Pak Arga yang mengatakannya ada sebuah alarm dalam hatiku yang berbunyi.
"Seperti apa Ibu?"
"Dia wanita cantik. Dia wanita baik, pengertian dan kuat. Kau tahu, dia sangat suka bunga mawar."
Diam. Aku mencoba untuk tenang dan tidak bertanya hal lebih sensitif. Aku harus belajar lebih sabar agar Pak Arga tidak mencurigai diriku.
"Kami menikah dengan cinta. Sayangnya, nenekmu tidak merestui."
"Kenapa?"
"Papa tidak tahu."
Suasana berubah sunyi. Obrolan itu mati begitu saja membuat aku tidak tahu harus bertanya tentang apa lagi. Tiba-tiba saja Pak Arga menoleh padaku. Dia menatap mataku dengan lekat. Bahkan tanpa dia tahu dia sudah mencengkram bahuku dengan kuat.
Sakit, tapi aku mencoba menahannya. Oma Melati tidak boleh tahu jika Pak Arga kembali pada mode emosi yang tidak terkendali.
"Kau benar anakku? Jangan-jangan ibu bohong lagi. Kau hanya anak yang dipungut di pinggir jalan untuk kesembuhanku," kata Pak Arga.
"Pa, tenang ya. Heera di sini, bukankah Papa yang memberikan aku nama itu. Lihat, ini kalung yang Mama berikan padaku."
Susah payah aku memperlihatkan kalung yang aku pakai. Cara itu berhasil, Pak Arga sedikit tenang dan melepaskan aku.
"Heni. Di mana kamu bertemu Heni?"
"Aku tidak pernah bertemu dengan Mama."
Pak Arga diam. Dia kembali membuka bukunya dan tidak menoleh padaku. Sudah cukup untuk hari ini, aku akan mendekatinya lagi esok hari. Jika aku terus mengingatkannya tentang ibu Heni tidak akan baik. Apa lagi di rumah ini ada Oma Melati.
Aku memilih turun untuk ke kamar mandi. Sampai aku mendengar obrolan beberapa pelayan di sana mengenai Pak Arga. Di mana biasanya Pak Arga akan marah jika ada orang baru. Sementara dengan diriku Pak Arga memilih diam dan sedikit acuh saat mengingat Ibu Heni.
"Jika dilihat memang sedikit mirip," kata salah satu dari mereka.
"Mungkin ini cara Nyonya Mela agar Pak Arga sehat kembali."
"Jika Pak Arga sehat. Kita akan sejahtera seperti dulu lagi."
"Benar. Semoga saja Nona itu membawa keberuntungan. Tidak seperti Nona Elvi yang tahunya hanya berpesta dan menghamburkan uang."
Aku melewati mereka dan berhasil membuat mereka bubar. Aku mencari Oma Melati, ternyata wanita itu tengah duduk di taman belakang menikmati waktunya.
"Oma."
"Apa kau sudah selesai menemani Arga?"
"Pak Arga diam saja."
"Begitu ya. Setidaknya dia tidak marah dan mengamuk tanpa alasan."
"Memangnya seperti itu?"
"Bukankah kamu pernah melihatnya? Dia selalu seperti itu saat ada yang menyentuh barang Heni. Bahkan saat dia mengingat wanita itu."
"Mungkin karena terlalu cinta."
Oma Melati tersenyum sinis saat aku mengatakannya. Saat itu ponselku berdering nyaring. Aku melihat Santi yang menelfon. Aku sedikit menjauh dari Oma Melati dan mengangkatnya.
"Halo, Santi. Ada apa?"
"Mbak. Bisa ke rumah sakit nggak?"
"Rumah sakit mana?"
"Rumah sakit Central, Mbak. Ibu masuk rumah sakit."
"Baik, aku akan datang."
"Terima kasih ya, Mbak."
"Iya, San. Kamu yang tenang dulu ya."
Aku kembali mendekat pada Oma Melati. Wanita itu baru meletakkan cangkir tehnya saat aku kembali duduk.
"Siapa?"
"Teman, Oma. Oma, ada hal mendesak. Aku harus pergi dulu."
"Baiklah. Besok datang lagi."
"Tentu Oma."