_Simple Komedi horor_
Demian, seorang anak miskin yang mencoba kabur dari bibi dan pamannya malah mendapat kesialan lain. Ya.. ia bertemu dengan seorang pemuda sebayanya yang tidak masuk akal dan gila. Lantas apakah Demian akan baik-baik saja??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gerimis Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Belenggu yang Menampakkan Diri
Demian mengerling, menatap sosok yang ada di balik pintu kamar. Matanya menajam, seolah sedang memperbesar apa yang ia tatap.
Udara di kamar mama Alsid semakin berat. Pendingin ruangan yang menyala sejak tadi justru terasa seperti meniupkan hawa panas ke kulit Demian. Keringatnya mengalir, menetes di pelipis meski ia sama sekali tidak bergerak banyak.
Pandangan matanya masih terpaku pada belenggu hitam sebesar tali kapal yang melilit tubuh mama Alsid. Belenggu itu tidak hanya sekadar “ada”—melainkan berdenyut, seolah-olah hidup. Semakin lama Demian memandang, semakin ia merasakan lilitan itu menyerap energi siapa pun yang ada di dekatnya.
Ia sempat mengusap dada, mencoba mengatur napas, tapi tetap saja dada itu terasa sesak.
“Demian...” suara mama Alsid terdengar lemah, samar, namun penuh getaran. “Kamu... kenapa?? Kamu melihat apa?” tanyanya sambil menyentuh tangan Demian.
Ada sensasi aneh yang ia rasa ketika tangannya bersentuhan dengan mama Alsid. Demian terpaku, hendak tersentak namun kepalang bingung.
Demian membeku. Kata-kata yang di keluarkan mama Alsid itu, apakah sebuah konfirmasi bahwa si mama juga menyadari penderitaan gaib yang menjerat tubuhnya? Atau ia hanya kebingungan menatap raut wajah Demian??
“Sakit hati ini... sejak hari itu tidak pernah lepas dariku,” lanjutnya, mengisahkan penderitaan kehidupannya lagi, sambil menarik napas melalui selang oksigen yang tercolok di hidungnya. “Makin hari, sakit di hati ini makin kuat. Aku bahkan tak tahu apakah aku masih hidup karena alat medis ini... atau karena rasa sakit hati ini sengaja tidak mau melepaskanku.”
Bulu kuduk Demian berdiri. Biasanya, roh penasaran yang menempel pada manusia bisa dilihatnya dengan jelas. Tapi kali ini berbeda. Belenggu itu bukan sekadar roh—lebih menyerupai kontrak gelap, semacam sumpah yang dibuat oleh dendam yang begitu kuat.
Demian hendak membuka mulut, tapi sebelum sempat menjawab, sesuatu terjadi.
Gelap.
Lampu kamar tiba-tiba padam, padahal listrik di rumah itu tidak pernah bermasalah. Hanya ruangan itu yang terjerumus dalam kegelapan. Suara mesin infus berdetak cepat, monitor detak jantung berdenting bip... bip... dengan ritme terburu-buru.
Mama Alsid terkejut dan menoleh ke sekeliling, tubuhnya bergetar. Sementara bibi ART menjerit kecil, buru-buru merapat ke dinding.
Dari dalam kegelapan, suara berbisik muncul.
"Kaauuu... milikku..."
Demian menoleh cepat ke arah suara. Dalam kegelapan ia tak dapat melihat dengan baik, meski ada bendangan cahaya dari peralatan medis. Bisikan itu bukan berasal dari mulut manusia, melainkan dari lilitan belenggu yang kini bersinar samar. Warnanya hitam pekat, tapi berdenyut merah di sela-selanya, seperti bara api di dalam arang.
Mama Alsid terbatuk keras. Setiap kali ia batuk, belenggu itu mengencang.
Demian melangkah maju, meski tubuhnya sendiri terasa berat. “Siapa kamu sebenarnya?” bisiknya dengan napas terengah, suara yang ia keluarkan nyaris tak terdengat, layaknya pembicaraan batin antara dirinya dengan tali tersebut.
Tidak ada jawaban, kecuali tawa lirih yang menggema dari segala arah.
Mama Alsid batuk semakin keras, bibi ART menangis tertahan. “Tuan muda... tolong... jangan dekat-dekat... nanti—”
BRAK!
Meja kecil di samping tempat tidur terbalik dengan sendirinya. Botol obat-obatan berhamburan, pil bertebaran ke lantai. Infus hampir saja tercabut dari tangan mama Alsid kalau Demian tidak cepat menopang lengannya.
Dan saat itulah... Demian melihat sesuatu yang lebih mengerikan.
Dari balik belenggu itu, perlahan muncul wujud samar. Tubuh hitam tinggi besar, matanya merah membara, wajahnya nyaris tak berbentuk. Seperti kumpulan asap yang meneteskan darah. Ia merayap dari tubuh mama Alsid, tapi rantai gelap masih menahannya agar tetap menempel di sana.
Mama Alsid tampak begitu kesakitan, tapi suara rintihannya tenggelam oleh desis makhluk itu di telinga Demian.
"Dia milikku... sampai dendamku terbayar..."
Demian merasakan hawa panas menyeruak di sekujur tubuhnya. Berkejaran dari tengkuk, punggung, leher, lalu ulu hati. Tapi telapak tangan dan kakinya terasa mendingin. Sakit kepala menyerangnya, hingga hampir membuatnya jatuh terduduk.
Dengan terengah, ia menunduk, merapatkan kedua telapak tangan, dan berbisik doa. “Bismillahirrahmanirrahim...”
Suara itu bagai cahaya tipis di tengah kegelapan. Belenggu bergetar, makhluk itu meraung kesakitan, seolah cahaya doa itu melukai tubuh asapnya.
Namun, belenggu tak goyah sepenuhnya. Justru lilitannya semakin ketat, membuat mama Alsid tersentak dengan wajah pucat dan mata yang terbelalak. Tiba-tiba saja ia memuntahkan darah dari mulutnya.
“Nyonya...!” bibi ART menjerit, hendak menolong, tapi seketika ada sesuatu yang terasa mendorong tubuhnya dengan kencang. Ia langsung terhempas ke belakang, menabrak pintu hingga hampir pingsan.
Demian mendekap tangan mama Alsid. “Tahan sebentar, Bu. Jangan menyerah. Aku akan—”
“Jangan, nak...!” suara mama Alsid terpotong tangisan. Air matanya jatuh membasahi wajah pucatnya dengan noda darah yang belepotan di sekitar mulutnya. “Kamu gak boleh..." bisik Mama Alsid, dan tentu saja membuat Demian kebingungan.
"Gak boleh??" Demian mengulang. "Gak boleh apa maksudnya, bu?" lanjutnya bingung.
Suara mama Alsid tertahan, seolah tak mampu untuk berkata. Jelas sakit mama Alsid ini bukan perkara medis, melainkan sakit gaib yang dihasilkan dari perbuatan seseorang. Dan ini adalah permainan setan.
Demian menggeleng, matanya membara. “Tidak ada manusia yang pantas ditawan setan. Kalau ibu masih kuat, ayo kita lawan.”
Makhluk hitam itu mendesis, suaranya menyalak dari dalam belenggu seolah benci dan tak setuju dengan perkataan Demian barusan.
"Dia bukan lagi milikmu, warna indigo... Pergi... sebelum aku juga melilitmu...!"
Dan benar saja—seutas tali hitam bercabang keluar dari belenggu, melesat ke arah Demian dan...
Refleks, ia melompat mundur. Tali itu menghantam lantai, meninggalkan bekas hangus seolah kayu yang tersambar. Suara gemeretak terdengar, seolah api merayap dari dalam lantai.
Demian berdoa lebih keras, membaca ayat kursi dengan suara bergetar namun penuh keyakinan. Kali ini, cahaya putih samar muncul dari sekeliling tubuhnya. Lilitan tali yang mengincarnya langsung hancur berasap begitu menyentuh cahaya itu.
Makhluk hitam meraung lagi, suara raungannya mengguncang seluruh ruangan.
Air mata mengalir dari sudut mata Mama Alsid, namun ia hanya bisa menggerakkan mulutnya tanpa menciptakan suara berarti.
Tiba-tiba, sesuatu yang mengejutkan terjadi.
Belenggu itu tidak lagi hanya menjerat mama Alsid. Beberapa ujungnya memanjang ke arah dinding, lalu merambat ke foto keluarga yang tergantung di sana. Foto Alsid kecil bersama ayah dan ibunya bergetar hebat, sebelum pecah berderak. Kaca jatuh berkeping-keping.
Di balik pecahan itu, Demian melihat sekilas bayangan seorang perempuan muda. Cantik, anggun, tapi tatapannya penuh kebencian. Wajahnya mirip seseorang yang sudah disebutkan mama Alsid sebelumnya... asisten pribadi yang telah menusuknya dari belakang.
Mata Demian melebar.
“Jadi... kamu...!”
Wujud itu menoleh, tersenyum dingin, lalu menyatu lagi ke dalam belenggu.
Mama Alsid terisak, tubuhnya makin lemah. Rasa sakit itu seolah semakin menyiksanya.
Demian berdiri tegak, wajahnya pucat tapi penuh tekad. “Kalau begitu... aku akan pastikan belenggu ini putus. Meski harus melawannya sampai akhir.”
Namun sebelum ia sempat bergerak lebih jauh, belenggu tiba-tiba menarik tubuh mama Alsid begitu kuat hingga tempat tidur berguncang. Monitor detak jantung memekik tiiit... tiiit... cepat sekali.
Bibi ART berteriak panik. “Nyonya! Tuan muda, lakukan sesuatu!!”
Demian menguatkan diri, membentangkan tangannya ke arah belenggu, lalu melafalkan doa dengan lantang. Cahaya makin terang, menyilaukan seluruh ruangan.
Makhluk hitam menjerit, belenggu bergetar hebat.
Namun—
Sebelum semuanya benar-benar putus, pintu kamar tiba-tiba terbanting terbuka.
BRAK!!
Seseorang berdiri di ambang pintu.
Bukan bibi, bukan Kirana, bukan papa Alsid.
Melainkan... sesosok bayangan perempuan yang sama dengan yang muncul di foto tadi. Kini ia tampak lebih nyata—wajahnya pucat pasi, matanya hitam pekat, dan bibirnya tersenyum jahat.
Udara di ruangan mendadak mati.
“Sudah kubilang... dia milikku,” bisiknya dengan suara berganda.
Demian menoleh cepat. Kali ini, kengerian mencapai puncaknya.
Dan semuanya kembali...
Tepat ketika Mama Alsid melepaskan genggamannya dari tangan Demian. Demian tercengan dengan jantung yang berdebar cepat. Ia melihat seluruh ruangan tampak normal, dan tak ada meja yang berhamburan.
Semua yang ia lihat tadi terasa nyata, dan tidak mungkin mimpi. Hanya saja semuanya dalam kondisi normal. Jadi, apakah yang ia lihat...
Dinamakan mata batin??
bersambung...
lanjut thor kerenn/Smile/
ada kun sm agam ga ini