Isabella Rosales mencintai Alex Ferguson dan ketiga anak kembar mereka—Adrian, Eren, dan Alden—lebih dari hidupnya sendiri. Namun, kebahagiaan mereka direnggut secara paksa. Berasal dari keluarga Rosales yang merupakan musuh bebuyutan keluarga Ferguson, Isabella diancam oleh keluarganya sendiri: tinggalkan Alex dan anak-anaknya, atau mereka semua akan dihancurkan.
Demi melindungi orang-orang yang dicintainya, Isabella membuat pengorbanan terbesar. Ia berpura-pura meninggalkan mereka atas kemauannya sendiri, membiarkan Alex percaya bahwa ia adalah wanita tak berperasaan yang memilih kebebasan. Selama lima tahun, ia hidup dalam pengasingan yang menyakitkan, memandangi foto anak-anaknya dari jauh, hatinya hancur setiap hari.
Di sisi lain kota, Celine Severe, seorang desainer yatim piatu yang baik hati, menjalani hidupnya yang sederhana. Jiwanya lelah setelah berjuang sendirian begitu lama.
Takdir mempertemukan mereka dalam sebuah malam yang tragis. Sebuah kecelakaan hebat terjadi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sang_Imajinasi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27
Siang hari adalah melodi yang ceria dan penuh tawa, di mana Isabella sepenuhnya adalah "Nona Celine", pusat dari dunia anak-anak. Ia mengajari Adrian cara mengidentifikasi rasi bintang melalui teleskop di taman atap, membantu Eren menciptakan cat air dari kelopak bunga, dan menjadi wasit yang adil dalam perang benteng bantal yang epik dengan Alden. Di waktu-waktu ini, Alex sering kali akan berhenti dari pekerjaannya hanya untuk mengamati mereka dari jauh, hatinya dipenuhi oleh kehangatan yang telah lama hilang.
Namun, saat bulan menggantikan matahari di langit Kekaisaran Matahari, melodi itu berubah menjadi irama yang lebih dalam, lebih intens, dan lebih berbahaya. Ruang kerja Alex, yang tadinya merupakan wilayah terlarang bagi Isabella, kini menjadi markas besar mereka.
Malam itu, beberapa hari setelah mereka menyatakan perang tak terucap pada keluarga Rosales, suasana di dalam ruang kerja itu terasa penuh dengan listrik statis. Peta korporat Rosales Corp dan OmniCorp terpampang di layar-layar besar. Grafik keuangan, analisis pasar, dan profil para eksekutif kunci memenuhi setiap inci ruang digital.
Alex berdiri di depan layar utama, menjelaskan strategi awal yang telah disusun oleh timnya. "Ini yang kita punya sejauh ini," katanya, nadanya kembali menjadi CEO yang tajam dan fokus. "Timku telah menganalisis arus kas Rosales Corp. Mereka kuat, tapi tidak sekuat citra yang mereka proyeksikan. Rencana kita adalah melakukan strategi pertahanan standar: membeli saham OmniCorp secara agresif melalui perusahaan cangkang untuk menaikkan harganya, dan secara bersamaan meluncurkan kampanye media yang menyoroti risiko dari pengambilalihan paksa ini bagi para pemegang saham."
Ia berhenti dan menoleh pada Isabella, yang telah menyerap setiap informasi dalam keheningan total. " Tapi itu adalah pertarungan gesekan yang akan memakan waktu dan sumber daya yang sangat besar." Ia menatap lurus ke matanya. "Sekarang, giliranmu. Apa yang tidak dilihat oleh timku? Apa yang tidak akan pernah bisa mereka temukan di dalam laporan keuangan mana pun?"
Isabella bangkit dari kursinya dan berjalan perlahan mendekati layar. Ia melihat angka-angka dan grafik yang disajikan oleh tim Alex. Tapi ia melihat lebih dari itu. Ia melihat ego, kesombongan, dan ketakutan dari pria-pria yang ia kenal seumur hidupnya. Matanya memindai diagram struktur perusahaan Rosales Corp, melewati divisi-divisi utama yang menguntungkan, dan berhenti pada sebuah kotak kecil di sudut yang ditandai sebagai "Proyek Pengembangan Properti & Perhotelan."
"Ini," katanya pelan, jarinya yang ramping mengetuk kotak kecil itu di layar sentuh. "Ini adalah titik lemahnya. Ini adalah jantung ayahku yang berdarah."
Alex mengernyit. "Proyek properti? Timku memeriksanya. Skalanya kecil dibandingkan dengan bisnis inti mereka. Keuntungannya marjinal. Mereka menandainya sebagai tidak relevan."
Sebuah senyum tipis dan dingin—senyum Isabella Rosales yang asli—terukir di wajah Celine. "Tentu saja mereka melakukannya. Karena ayahku telah menghabiskan satu dekade terakhir untuk memastikan tidak ada yang melihat apa yang sebenarnya terjadi di sana."
Ia memperbesar detail proyek itu. Sebuah resor super mewah di sebuah pulau terpencil bernama 'Pulau Permata'. "Ini bukan sembarang resor, Alex. Ini adalah proyek kesombongan terbesar ayahku. Pulau itu adalah tempat ia melamar ibuku. Resor itu ia namai 'The Seraphina', nama almarhumah nenekku. Baginya, proyek ini bukan tentang keuntungan. Ini tentang warisan. Ini tentang harga diri."
Ia menatap Alex, matanya berkilat dengan pengetahuan yang berbahaya. "Dan proyek ini adalah sebuah bencana finansial. Biayanya membengkak tiga kali lipat dari anggaran. Tingkat huniannya menyedihkan. Proyek ini membakar uang lebih cepat daripada yang bisa ia cetak. Tapi ayahku tidak akan pernah mengakuinya. Ia menyalurkan dana secara diam-diam dari divisi-divisi lain yang lebih menguntungkan untuk menutupi kerugiannya, memalsukan laporan untuk membuatnya tampak seolah-olah proyek itu berjalan seimbang."
Alex menatapnya, benar-benar terpesona. Ini adalah jenis intelijen yang tidak akan pernah bisa dibeli dengan uang. Ini datang dari pemahaman mendalam tentang psikologi musuh.
"Pengambilalihan OmniCorp ini," lanjut Isabella, menghubungkan semua titik, "ini bukan hanya tentang kekuasaan. Ini tentang keputusasaan. Ayahku butuh suntikan dana segar yang besar dari aset likuid OmniCorp untuk menopang The Seraphina tanpa diketahui oleh dewan direksinya yang lain. Jika rahasia ini terbongkar, itu tidak hanya akan menghancurkan keuangannya, tetapi juga harga dirinya."
Tiba-tiba, seluruh lanskap pertempuran berubah. Mereka tidak lagi dalam posisi bertahan. Isabella baru saja memberinya belati untuk ditusukkan langsung ke jantung naga.
"Jadi," kata Alex pelan, otaknya berputar dengan kecepatan kilat, "jika informasi tentang masalah keuangan The Seraphina bocor ke media finansial... para kreditor proyek itu akan panik. Dewan direksi Rosales Corp akan menuntut audit internal."
"Dan ayahku," sambung Isabella, "akan terpaksa mengerahkan seluruh modal dan perhatiannya untuk memadamkan api di halaman belakang rumahnya sendiri. Ia tidak akan punya sumber daya atau fokus untuk melanjutkan pertempuran merebut OmniCorp."
Mereka saling berpandangan, sebuah pemahaman yang sempurna terjalin di antara mereka.
Saat mereka mulai berdiskusi dengan penuh semangat tentang cara terbaik untuk membocorkan informasi itu secara anonim, pintu ruang kerja itu tiba-tiba berderit terbuka.
Sosok mungil Eren berdiri di sana, memeluk erat kelinci Bona-nya, matanya masih setengah terpejam karena tidur. "Aku... aku mimpi buruk," bisiknya.
Seketika, suasana di ruangan itu berubah total. Dua ahli strategi korporat yang kejam itu lenyap, digantikan oleh "Ayah" dan "Mama Celine".
"Oh, sayang," kata Isabella, segera berlutut dan membuka lengannya. Eren langsung berlari ke dalam pelukannya.
"Tidak apa-apa, Nak. Hanya mimpi," kata Alex, suaranya kini lembut, ia mengelus kepala putrinya.
Mereka menuntun Eren kembali ke kamarnya bersama-sama. Alex menyelimutinya kembali, dan Isabella duduk di tepi tempat tidur, menyanyikan sebuah lagu nina bobo yang lembut dan aman—bukan lagu rahasia mereka, tetapi lagu anak-anak yang menenangkan—sampai mata Eren kembali terpejam. Mereka berdiri sejenak di ambang pintu, mengamati napas putrinya yang teratur, sebuah front persatuan yang sunyi. Momen domestik yang tenang ini terasa begitu kontras dengan konspirasi kejam yang baru saja mereka rancang.
Alex menatap Isabella, yang sedang merapikan beberapa kertas di atas meja. Matanya dipenuhi oleh emosi yang kompleks—kekaguman, rasa syukur, dan cinta yang begitu dalam.
"Bagaimana kau bisa melakukannya?" tanyanya pelan.
Isabella mendongak, bingung. "Melakukan apa?"
"Menjadi seperti itu," kata Alex, menunjuk dengan samar ke arah kamar anak-anak, "lalu beberapa menit kemudian, menjadi seperti ini," ia menunjuk ke arah layar yang dipenuhi data keuangan yang rumit. "Seorang ibu yang paling lembut di dunia dan seorang ahli strategi yang paling tajam, semuanya dalam satu orang."
Isabella memberinya senyum kecil yang mengandung jejak kesedihan dari lima tahun yang telah hilang. "Aku harus menjadi keduanya untuk bisa bertahan hidup, Alex," jawabnya. "Dan untuk melindungi mereka."
Alex berjalan mendekat dan mengambil tangannya, jari-jari mereka bertaut dengan pas di atas cetak biru pertempuran mereka. "Kau tidak perlu lagi melakukannya sendirian," katanya dengan sungguh-sungguh.