SCRIPT SWEET

Aluan diam beberapa kali memandang room chat yang baru saja masuk sebuah pesan dari Keenan. Kaget sih sebenarnya, apalagi saat di cek foto profil memang Mas Ojol, tapi Aluna sudah terlanjur ilfeel dengan pria itu. Sikap manipulatif dan main pegang saja membuatnya ogah kenal dengannya lagi. Meski sudah minta maaf, dan dianggap lalu, tetap saja bikin hati dongkol. Aluna pun pura-pura tanya Keenan siapa ya? Ia tak mau langsung menjurus ke Mas Ojol, khawatir dia ge-er saja, ya kali Aluna dikira memikirkannya sehingga langsung tertuju pada Keenan Mas Ojol.

Setelah membalas itu, Aluna serasa terhipnotis dengan room chat antara dirinya dan Keena. Hanya beberapa kalimat, tapi bisa memancing rasa keingin tahuan berlebih. "Kok gak balas lagi? Niat minta maaf gak sih?" gumam Aluna sembari memandang ponsel dengan intens.

"Kenapa lu?" tanya Jihan sembari menoel lengan Aluna, lagi kumpul di ruang tengah bersama anak lain, kok malah Aluna yang diam.

"Enggak, pa-pa!" jawab Aluna sembari menggelengkan kepala, dan keluar dari room chat Keenan.

"Jangan bilang lo travel otak dengan omongan anak-anak tadi," bisik Jihan sembari menatap beberapa teman laki-laki mereka yang masih asyik game dan garap laporan.

Aluna mengerutkan dahi, bingung, "Omongan apa?" tanya Aluna, Jihan tertawa saja.

"Sumpah lo benar-benar polos ya, Lun. Di dalam pikiran kamu, kayaknya porsi cinta sama lawan jenis belum ada wadahnya. Pernah akselerasi satu tahun, wajar sih penuh dengan pelajaran!" ucap Jihan sembari menggulir ponselnya, apalagi kalau tidak berkabar dengan sang kekasih.

"Ya gak juga, selain pelajaran juga bisnis lah. Emang benar sih, belum pernah ada cinta dari lawan jenis dalam otak gue."

"Biasanya nih masa SMA itu masa yang indah, Lun. Banyak cerita cinta abu-abu putih di sana. Lo emang gak pernah ditaksir?"

Aluna mengingat kejadian masa SMA nya. Meski SMA IT tetap saja satu kelas dicampur antara laki-laki dan perempuan. Memang soal pacaran di SMA Aluna sepertinya jarang terjadi, mereka sudah punya pondasi bahwa pacaran itu haram, pergaulan di saat itu pun hanya sekedar ledek-ledekan saja, tapi entah saat di luar ya, karena Aluna tidak pernah memergoki teman SMA nya pacaran di luar sekolah.

"Cuma pernah sih, saat itu aku kelas XI. Ikut lomba karya tulis bersama dua teman lainnya. Satu cowok, dan satu cewek. Nah saat presentasi di sebuah kampus, teman cowokku yang bernama Ito ini, punya teman SMP, bertemulah di sana, namanya kalau gak salah Sakti, dari sekolah negeri."

"Terus?"

"Suatu hari Ito kasih aku sebuah kotak berwarna pink, katanya dari Sakti. Ya gue lupa-lupa ingat lah, kalau bertemu dengan Sakti. Terus gue tanya kenapa dia kasih aku kotak pink ini? Ito bilang gak tahu, ya udahlah gue buka bersama teman sebangku gue. Ternyata surat cinta dan cokelat dari Belgia asli, sumpah tuh cokelat kelihatannya enak banget."

"Kok kelihatannya enak banget, lah emang lo gak makan?" Aluna menggeleng.

"Kok bisa?"

"Gue bawa pulang, gue cerita ke mama dan papa. Kata papa, balikin aja kalau kamu menolak dia, lagian masih SMA ngapain pacar-pacaran. Lalu seminggu kemudian apa dua mingguan ya, aku dapat cokelat itu sih dari papa, lebih tepatnya dikirim banyak jenis cokelat dari Belgia juga, lewat teman papa namanya Om Radit."

Jihan melongo, kemudian mengangguk pilon begitu sembari bertepuk tangan, "Daebak. The real cinta pertama anak perempuan adalah papa sendiri."

"Apaan sih, bukannya semua gitu ya?" Jihan menggeleng, sembari meneruskan makan camilan.

"Bagi gue gak ada!"

"Why?"

"Bapak gue yang seorang TNI, pangkatnya saja gak tinggi-tinggi amat, gaji juga menurut gue pas-pas an lah ya, berani main serong. Sampai pernah gak pulang hampir 3 bulan, tapi mamaku gak mau cerai, katanya enak aja kalau gaji dan tunjangan dikasih ke selengkinya, mama masih memikirkan jaminan kehidupan untuk gue dan adik gue."

"Ya Allah!"

"Bersyukurlah lo punya kedua orang tua yang benar-benar menciptakan rumah buat pulang untuk anak-anak mereka."

"Iya benar. Makanya otak gue gak punya space buat mikirin cowok lain, Ji. Bagi gue kalau ada cowok yang tiba-tiba chat, terus sok puitis, bawaannya gue pengen muntah coba. Kelihatan banget kan ya PDKT sama gue."

Jihan tertawa ngakak sampai beberapa anak menoleh ke mereka, wajar sih banyak anak KKN tentu kalau ngobrol juga bikin kelompok obrolan sendiri-sendiri.

"Tapi lo normal kan?" Aluna langsung mendelik dan menggeplak lengan Jihan.

"Ya iyalah gue normal, gue cuma belum ketemu cowok yang seperti papa saja." Jihan memutar bola matanya malas.

"Kagak ada yang sama seperti papa lo kali, Lun. Ya elah nih anak. Papa lo kloning aja, hasilnya gak bakal ada yang sama. Sikap dan karakter papa lo itu istimewa dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Mungkin ada kemiripan tapi tidak plek ketiplek, karena manusia tercipta dengan keistimewaan sendiri-sendiri."

"Bijak banget!"

"Gue bisa sebijak ini, bahkan sampai punya pikiran childfree dan main bebas sama pacar gue karena gue gak punya rumah untuk pulang, Lun. Orang tua gue masih bersama tapi gak nyatu gitu. Papa dan mama saja hanya sekedar menjalankan rumah tangga sekedar ada di rumah, kedekatan mereka sudah tidak ada kata harmonis lagi sejak tingkah papa itu. Jadi anak gue gak berani ikut campur, dan gue pikir mungkin begitulah mereka menjaga kewarasan satu sama lain, dan tidak tercipta pertengkaran yang bisa dilihat gue dan adik gue. Saat gue kuliah, gue jadi kenal beberapa cowok, yang bisa kasih perhatian yang tak pernah aku dapatkan dari papa, cuma ya gitu imbal baliknya tidur bareng."

"Lo kayak gitu sama pacar lo doang kan?" tanya Aluna penasaran. Dia masih tabu dengan hubungan pacar, eh malah temannya sudah berbuat lebih dari sekedar pacar.

"Iya!"

"Pacar lo berapa?"

"Satu lah. Cuma dua kali ganti."

"Dan setiap pacaran lo berbuat gitu?" Jihan mengangguk.

"Udah pernah merasakan jadi ya kalau gak melakukan lagi, ada yang kurang lah, Lun."

"Ji, lo gak takut dosa?"

"Takut. Cuma setan dalam diri gue masih mendominasi. Gue gak punya tujuan hidup, selama 21 tahun ini hidup gue hampa saja. Orang tua gue yang harusnya jadi panutan untuk anak-anaknya ternyata gagal. Setiap gue mencoba bangkit da menjadi anak berprestasi mama gue cuma bilang kok gak juara 1. Gimana gue jadi anak benar kalau dari orang tua gue saja meremehkan gue terus. Sekalian aja gue jadi nakal."

"Jihan!" ucap Aluna ikut nelangsa. Ia tak punya pengalaman seperti Jihan, pasti berat hidupnya selama ini, sampai punya pemikiran childfree begitu. Memang benar ya, sekolah pertama itu ada di rumah, jadi kalau ada seorang anak tidak punya rumah untuk pulang, menjalani kehidupan rasanya tanpa tujuan hidup.

"Udah biasa kali, Lun. Gue salut sama lo. Sampai usia segini masih perawan dan tak tersentuh rayuan pria."

"Ya gue masih ingat omongan mama gue lah, hidup gue ada di tangan gue. Kalau gue nakal yang hidup gue gak ada arah, itu aja sih prinsip yang selama ini gue pegang."

"Tapi lo ada niatan menikah?"

"Ada."

"Calon pacar?"

"Masih OTW, resinya masih ditulis oleh Allah, biar gak salah alamat dan datang tepat waktu."

"Paket kali," jawab Jihan menonyor lengan Alunaz dan gadis itu tertawa ngakak.