NovelToon NovelToon
Menantu Ibu

Menantu Ibu

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintamanis / Nikah Kontrak / Mengubah Takdir
Popularitas:203.9k
Nilai: 5
Nama Author: Me Nia

Kontrak kerja Tya di pabrik garmen akan segera berakhir. Di tengah kalut karna pemasukan tak boleh surut, ia mendapat penawaran jalur pintas dari temannya sesama pegawai. Di hari yang sama pula, Tya bertemu seorang wanita paruh baya yang tampak depresi, seperti akan bunuh diri. Ia lakukan pendekatan hingga berhasil diajak bicara dan saling berkenalan. Siapa sangka itu menjadi awal pilihan perubahan nasib. Di hari yang sama mendapat dua tawaran di luar kewarasan yang menguji iman.
"Tya, maukah kau jadi mantu Ibu?" tanya Ibu Suri membuyarkan lamunan Tya.
"HAH?!"

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Me Nia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 8 Warung Terapi Kejut

"Bu, makasih untuk jamuannya. Apa aku udah boleh pulang?" Di samping makan bersama sudah selesai, Tya juga merasa sudah tak perlu berlama-lama berada satu ruangan dengan Diaz terutama. Ibu Suri sih menyenangkan karena selalu mengajak bicara. Tapi sikap anaknya yang wajahnya datar tapi beberapa kali terciduk curi-curi pandang, membuat ia risih.

"Boleh. Diaz akan mengantar."

"Eh. Nggak usah, Bu. Aku...."

"....jangan naik ojol. Akting kalian udah dimulai dan akan dinilai sama Ibu. Kan kalian harus cepat nikah. Jadi Diaz harus udah mulai main ke rumah Tya. Kenalan sama kakakmu. Semua harus terlihat natural. Jangan sampai adik durjananya Diaz curiga kalau nikahnya Diaz cuma settingan. Tya...nanti kau juga akan dikenalkan sama ayahnya Diaz. Dan setelah itu pasti ada momen makan bersama dengan mengajak keluarga madu. Ritual memuakkan sebenarnya. Harus tersenyum palsu di hadapan madu. Tapi Ibu mesti bersabar nunggu timing. Dan kunci cepat atau lambatnya misi tercapai, itu tergantung kepintaran kalian dalam memainkan peran." Jelas Suri yang kali ini berbicara serius dan tegas. Sekilas ada luka di sorot mata tapi kemudian dihempaskan dengan berganti tatapan lembut ke arah Tya yang sepertinya terkesima mendengar uraian panjangnya yang blak-blakan.

Tya meringis. Semakin bertambah intens komunikasi dengan Ibu Suri semakin terbuka karakter perempuan paruh baya yang cantik dan modis itu. Misinya dari awal jelas dan semakin memperjelas bagaimana kehidupan rumah tangganya yang banyak berkorban perasaan.

"Ayo. Mau pulang sekarang, kan?" tanya Diaz usai mengelap bibirnya dengan selembar tisu.

Jika Diaz tampak santai, lain halnya Tya yang berganti ekspresi lagi menjadi melongo mendengar pria yang tadi berkata sinis kini berubah berkata lembut. Spontan bahunya bergidik.

"Kenapa, Tya? Mau ke kamar mandi dulu?"

Dikira Bu Suri aku kebelet kali. Itu, Bu...apakah anakmu seorang psikopat? Tadi sinis sekarang manis.

Tapi mana berani Tya mengeluarkan kata hati itu di bibirnya. "Bukan, Bu. Kelamaan di AC jadi merinding. Aku pamit ya, Bu."

"Salam untuk kakak dan kakak iparmu ya, Tya. Nanti kita agendakan pertemuan keluarga."

"Hah? Iya..iya, Bu." Tya jadi sering mendapat terapi kejut karna Ibu Suri tidak main-main dan bertindak sat set.

"Diaz, Tya, sekarang kalian saling kenal aja dulu biar nggak gagu saat pihak keluarga ada yang tanya. Semisal samakan jawaban kalau ada yang nanya 'awalnya ketemu di mana, tinggal di mana', dan sebagainya. Sekarang nih sambil jalan sambil samakan jawaban ya." Intruksi ini adalah perintah yang harus dipatuhi dua sejoli pemain drama. Suri tersenyum tipis melihat Tya dan Diaz keluar ruangan usai mengangguk patuh.

Tya memilih berjalan mengekori Diaz sambil membuka ponsel. Harus segera mengirim chat pada Mbak Susan biar nanti tidak kaget.

[Mbak...Mas Diaz mau ke rumah. Ini otw bareng aku]

[Sengaja ku kasih tau dulu. Kali aja mbak lagi pakai setelan dapur]

[Mbak... tolong kabarin Kak Bisma juga ya. Pulang dulu gitu bentar biar ketemu mas Diaz]

Bugh!

"Aduh." Tya mengusap keningnya yang membentur punggung Diaz. Berjalan menunduk sambil mengirimkan tiga pesan membuatnya tak tahu kalau pria sinis tapi manis itu menghentikan langkah. "Mas Diaz, kalau berhenti tuh kasih lampu rem dulu kek."

"Ini..." Diaz tak menanggapi. Tapi mengulurkan goodie bag warna marun dengan logo Geranium Cafe.

"Ini apa?" Tya bergeming. Tas itu dibiarkan menggantung di tangan Diaz. Tidak tahu sejak kapan Diaz menenteng tas ciri khas tas belanja take away di Geranium Cafe.

"Buat oleh-oleh. Ingat kata Ibu harus natural. Ini pertemuan pertama aku dengan keluargamu. Harus dapat kesan," jelas Diaz dengan suara pelan.

"Oh, paham-paham." Tya tersenyum. Barulah mau mengambil alih tas dari tangan Diaz. Lagi-lagi ia mengekori langkah Diaz. Kali ini melangkah dengan tatapan fokus ke depan sampai tiba di samping mobil Rubicon warna abu tua.

Jika Diaz langsung membuka pintu dan duduk di jok kemudi, berbeda dengan Tya yang berdiri mematung dan bengong.

Naik mobil ini alamat jadi pusat perhatian. Mana lewat warung Mpok Iyam lagi. Duh, Joko....gimana ini. Help!

Diaz mendecak kesal melihat Tya tak juga membuka pintu mobil. Satu kali tekan tombol, otomatis kaca sebelah kiri terbuka sampai bawah. "Ngapain bengong terus? Ayo naik!"

Tya meringis. Menuruti perintah Diaz dan duduk manis setelah mengenakan sabuk pengaman. Tetapi kemudian keningnya mengkerut karena Diaz belum melajukan mobilnya. "Kenapa, Mas? Ada yang salah di aku?"

"Kata Ibu, kita harus samakan jawaban. Kau aja yang ngarang sambil jalan." Setelah mengatakan demikian, Diaz mengenakan kacamata hitam lalu menginjak pedal gas setelah bertanya alamat tujuan. Keluar dari parkiran kafe.

"Soal di mana pertama kali kita ketemu, menurutku sejujurnya aja ketemu di kafe. Tapi waktunya sebulan yang lalu. Terus kita tukeran nomer hp deh. Gimana kalau gitu?" Tya menoleh sebentar menatap driver yang parasnya makin tampan setelah mengenakan kacamata hitam.

Ganteng sih tapi sariawan dan asem gini nggak ada manis-manisnya. Nilai 11/100 deh.

"Oke."

"Soal apa lagi yang mesti dibahas, Mas Diaz?"

"Rumahku di Kemang."

"Kemang? Wuih, anak Jaksel ternyata. Coba dong bicara english gaul versi anak Jaksel. Pengen dengar aku." Tya terkikik pelan.

"Kau tinggal di mana?"

Ampun dah judes nyo. Kim Jong Un aja yang auranya dingin tapi kalau ngomong ramah.

"Ya di planet Bekasi lah, Pak. Alamat sesuai yang tadi aku sebut. 10 menit lagi akan sampai. Harap konsentrasi penuh biar tidak salah belok. Nanti kita akan lewat jembatan terus lurus sekitar 600 meter. Patokannya dari Indojuni belok kiri. Nah disitulah kawasan rumahku."

Diaz tak menyahut. Separuh perjalanan dilalui dengan kebisuan hingga mobil melaju dengan kecepatan sedang melewati jembatan yang Tya maksud. Begitu baligo Indojuni terlihat, ia membelokkan mobilnya ke kiri—keluar dari jalan besar.

"Warung Mpok Iyam yang mana?"

"Kenapa emang, Mas?"

"Jawab aja. Tidak usah balik tanya."

"Berhenti di sini!"

Diaz terkejut mendengar Tya berkata dengan intonasi dingin dan setengah membentak. Mobil menepi dan berhenti. "Aku nggak lihat ada warung di sini."

"Warung Mpok Iyam tuh yang cat merah tulisan iklan Telkomsel." Tya meluruskan telunjuknya ke arah depan.

"Masih jauh kenapa minta berhenti di sini." Gerutu Diaz yang lalu menyalakan lagi mesin mobil.

"Karna aku mau bicara. Dengar dulu ya, Mas Diaz yang terhormat. Aku memang miskin harta tapi tidak miskin etika. Sebaliknya kau kaya harta tapi miskin etika. Kau...sedari tadi bicara ketus, dingin, dan angkuh..."

"Dengar, Tya..."

"Dengar, Mas Diaz. Biarkan aku lanjutin dulu ucapanku.

Diaz diam. Tak menyangka jika Tya akan marah dan melawannya. Pipinya yang putih sampai terlihat memerah.

"Kau...sedari tadi bicara ketus, dingin, dan angkuh. Terus Anda pikir aku mau nurut diperlakukan semena-mena di bawah telunjuk Anda yang angkuh? Big no, Tuan muda. Anda salah orang. Aku diajarkan orang tua untuk jangan mau direndahkan, diintimidasi, dan diperlakukan semena-mena oleh orang kaya."

"Aku tidak..."

Tya mengangkat telunjuknya. Membuat Diaz mengatupkan bibir.

"Bu Suri bilang, ini kerjasama saling menguntungkan. Itu artinya tidak boleh ada perasaan salah seorang yang dikorbankan dan dirugikan. Dan asal kau tahu, sikap angkuhmu dari sejak parkiran sampai sekarang, bikin aku merasa direndahkan, dirugikan. Jadi lebih baik aku mundur aja. Bilang ke Bu Suri, kerjasama ini dicancel. Maaf ya, horang kaya. Harga diriku tidak bisa diinjak-injak. Perjanjian batal. Makasih udah mengantar pulang. Ini oleh-olehnya aku kembalikan."

Tya menurunkan goodie bag merah marun yang dipangkunya sedari awal berangkat. Membuka sabuk pengaman dan bersiap turun tapi lebih dulu pergelangan tangannya dicekal oleh Diaz.

"Sorry. Aku akan perbaiki lagi sikapku. Jangan cancel. Ibu pasti marah."

Tya diam.

"Tya..."

"Oke. Ini kesempatan kedua dan terakhir ya, Mas Diaz. Bersikap biasa aja, maka aku akan menghormati Anda. Bagaimana aku bisa akting natural kalau partnernya tidak menyenangkan. Anda pengen warisan, kan? Sama. Aku juga pengen lunas utang. Ayo kita kerjasama tanpa ada yang direndahkan."

"Oke-oke. Sekali lagi...aku minta maaf." Diaz sungguh tak mengira jika Tya akan semarah itu. Tidak bisa dianggap remeh.

Tya mengembuskan napas kasar. "Oke dimaafkan."

Mobil kembali melaju. Tapi kemudian berhenti di samping warung Mpok Iyam.

"Kenapa berhenti?" Tya menatap heran.

"Aku haus. Beliin dulu air mineral dingin sebentar." Diaz merogoh saku.

"Sebentar lagi sampai rumahku, Mas. Gimana kalau minumnya nanti aja di rumah?"

"Aku butuh sekarang. Biar aku aja yang turun. Kau tunggu di mobil."

"Eh, jangan-jangan. Biar aku aja." Tya segera membuka pintu mobil. Tidak mau sampai Mpok Iyam melihat wajah Diaz dan bikin heboh grup Mak Asbun.

"Tya...kirain siapa yang ada di mobil itu. Kau rupanya. Bareng siapa, Ty? Mobilnya macho bet." Jiwa kepo Mpok Iyam meronta-ronta.

"Mpok, minta air mineral dingin satu yang botol sedeng. Cepetan, Mpok. Aku buru-buru mau ke rumah."

"Iya-iya bentar. Tapi itu siapa, Ty?" Mpok Iyam memanjangkan leher. Tetapi dari posisinya berdiri tidak bisa terlalu jelas melihat wajah pria yang duduk di jok kemudi. Beralih memutar badan untuk mengambil minuman di dalam showcase.

"Sayang, sekalian aja beli cemilan buat keponakanmu."

Bukan hanya Tya yang memutar badan menghadap ke sumber suara, akan tetapi serentak dengan Mpok Iyam yang sudah memegang botol minuman. Keduanya menganga dan melotot dengan isi pikiran berbeda—menatap pria berkacamata hitam yang lalu dengan santainya mengusap puncak kepala Tya sambil tersenyum manis.

1
🇮🇩My_AS4🇵🇸
🤣🤣🤣 kesenjangan kasta, sa ae teh othor nih
🇮🇩My_AS4🇵🇸
hmmm buat obat stress, suatu saat nnti Tya bakal jadi obat segalanya utk mas Diaz 🤭
Entin Wartini
hukumannya apa tuh mas diaz
Rahma Inayah
hukumannya pasti cium km tya🤭🤭
bundanya Fa
modusmu mas.... pasti nanti hukumannya yg aneh2 gitu.
bundanya Fa
penurut sambil mikirin strategi berperang. 🤭
bundanya Fa
ibu suri kepo. 🤣🤣🤣
tidur bareng itu maunya ibu suri kaaan.... sabar ya ibu. 🤭
bundanya Fa
lari kayak dikejar setan beneran kan tya.... setannya mas dias. 🤣🤣🤣🤣
bundanya Fa
malam pertama sdh mulai muncul hilal cintanya ke tya kaaan....
bundanya Fa
haha... siksp terbukanya tya nih juga bikin dag dig dug dias.😄😄
astri chan
haduhhh bacanya nanti apa ya kalau udah banyak
Mamah Eneng
hukumnya pasti di cium🤭
Dhesy Echa
cium🤣🤣🤣
mamak"e wonk
suka dgn karakter tya
Wiwi Nurwiyah
jangan biling hukuman nya dicium🤭
Wiwi Nurwiyah
😄😄😄😄😄👍👍
Wiwi Nurwiyah
boleh ketawa lebar gak tya?
🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣
Wiwi Nurwiyah
diratukan mertua ini mah ceritanya😄🤭🤭🤭
Hera Wati
selalu suka alur ceritanya thanks ka nia
Wiwi Nurwiyah
joko selalu dihati,,,,kudis aja kalah🤣
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!