Aziya terbangun di tubuh gadis cupu setelah di khianati kekasihnya.
Untuk kembali ke raganya. Aziya mempunyai misi menyelesaikan dendam tubuh yang di tempatinya.
Aziya pikir tidak akan sulit, ternyata banyak rahasia yang selama ini tidak di ketahuinya terkuak.
Mampukah Aziya membalaskan dendam tubuh ini dan kembali ke raga aslinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lailararista, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertemuan yang menegangkan
Hari itu langit mendung, tapi di rumah sakit suasananya terasa lebih menyesakkan. Aziya akhirnya diizinkan pulang, meski tubuhnya belum sepenuhnya pulih. William datang menjemput, sementara keluarganya sudah menyiapkan semua keperluan.
Namun sebelum meninggalkan lantai itu, William berhenti di depan sebuah ruangan lain. Tangannya mendorong pintu perlahan, membuat Aziya ikut menoleh.
Dan di sanalah, untuk pertama kalinya mata mereka bertemu lagi.
Seorang pria sudah tidak lagi terbaring. Ia duduk di kursi roda dengan tubuh tegak, masih mengenakan pakaian pasien, tapi auranya sama sekali tidak tampak rapuh. Tatapannya lurus menembus mata Aziya, seolah sudah menunggu momen itu.
Ruangan mendadak hening. Bahkan suara monitor di belakangnya terasa jauh.
Aziya tanpa sadar menggenggam lengan bajunya sendiri. Ada ketakutan samar yang ia tidak bisa jelaskan. “S-Saya…” suaranya pecah, “minta maaf soal malam itu. Saya tidak bermaksud—”
Pria itu tiba-tiba tersenyum kecil. Senyum itu bukan ramah, melainkan seperti seseorang yang baru saja memenangkan sesuatu.
“Kamu sudah bilang akan bertanggung jawab, kan?”
Aziya menelan ludah, menatap bingung. “Iya… keluarga saya sudah menanggung semua biaya pengobatan Anda. Saya… saya pikir itu cukup.”
Senyum pria itu melebar tipis, tapi matanya dingin. “Kamu benar-benar tidak tau… apa yang kumaksud.”
William hanya berdiri diam, memperhatikan tanpa berniat ikut campur.
Pria itu menggerakkan tangannya, menyuruh anak buahnya yang menunggu di belakang untuk keluar meninggalkan ruangan. Kini hanya ada mereka bertiga.
Lalu, dengan suara yang rendah namun tegas, ia berkata,
“Aku tidak peduli soal uang. Aku tidak peduli soal rumah sakit ini. Yang kupedulikan hanya satu… kamu.”
Aziya tertegun. Kata-kata itu menghantamnya lebih keras dari peluru.
“Mulai hari ini,” pria itu melanjutkan, menatapnya lekat tanpa berkedip, “hidupmu terikat padaku. Itu arti sebenarnya dari janji yang kamu ucapkan.”
Aziya mundur setengah langkah, wajahnya memucat. Ia ingin menyangkal, ingin berkata kalau semua itu salah paham. Tapi tatapan pria itu terlalu kuat, terlalu yakin, seakan-akan takdir memang sudah menuliskan demikian.
Dan untuk pertama kalinya, Aziya merasa… ia bukan pelaku, bukan pemburu, tapi justru mangsa yang sedang ditandai oleh seekor predator.
★★★
Cahaya matahari menembus jendela kamar, menyilaukan mata Aziya yang baru saja membuka kelopak. Tubuhnya sudah lebih kuat, meski sisa-sisa luka masih terasa. Ia sempat mengira semuanya hanyalah mimpi, dunia asing, tubuh lain, menjadi Azira yang hidup bersama Gabriel.
Tapi nyatanya itu bukan mimpi, kebenarannya memang benar, Azira itu memang ada, dan benar itu kembarannya. Aziya sudah tau dari dulu kalau dia cuma anak angkat William. Dan tanpa diduga dia bertemu dengan keluarga kandungnya, yang malah tidak diinginkan Aziya. Lebih baik dia hidup dengan orang lain yang menyayangi nya dari pada keluarga yang hanya menggoreskan luka.
Aziya menghela nafas, dan hendak turun dari ranjang. Tapi begitu ia menoleh ke sisi ranjang lain, napasnya tercekat.
Seorang pria yang tidak asing duduk di kursi meja rias, bersandar santai dengan setelan hitam, wajahnya segar meski pernah nyaris mati karena peluru. Matanya menatap lurus padanya, dalam, seakan menelanjangi isi pikirannya.
“Kamu akhirnya bangun.” Suaranya tenang, tapi ada tekanan samar di balik setiap kata.
Aziya menelan ludah. “Kenapa kamu ada di sini?” momen ini seperti tidak asing, persis seperti Gabriel dulu yang diam-diam masuk ke kamar Azira.
Pria itu tidak langsung menjawab. Ia berdiri perlahan, langkahnya mantap mendekat. Tangannya bertumpu di pinggiran ranjang, wajahnya semakin dekat hingga Aziya bisa merasakan hangat napasnya.
“Kamu lupa janji itu?” tanyanya rendah.
Aziya terdiam, matanya membelalak. Ingatan samar malam penembakan itu kembali, ia menembaknya, darah bercucuran, dan sebelum jatuh pingsan pria itu berkata “kamu harus bertanggung jawab.”
“Saya sudah… membiayai pengobatanmu,” jawab Aziya terbata. “Keluarga saya sudah lakukan semuanya. Jadi—”
“Bukan itu.” pria itu memotong dengan tegas. Senyum tipis muncul di wajahnya, tapi tatapannya tajam, penuh obsesi.
“Uang bukan yang kuminta. Aku bicara tentang tanggung jawab lain, tanggung jawab untuk tidak meninggalkanku.”
Aziya tersentak. “Apa maksudmu?!”
Pria itu tidak menjawab langsung. Ia menatapnya lama, lalu dengan gerakan ringan ia mengangkat dagu Aziya dengan ujung jarinya, memaksa matanya bertemu dengan tatapan kelam itu.
“Maksudku sederhana,” bisiknya. “Kamu ada di sisiku. Kamu ikut denganku. Kamu… milikku.”
Aziya menepis tangannya, wajahnya memerah antara marah dan takut. “Kamu gila! Kita bahkan tidak saling mengenal.”
Pria itu justru terkekeh kecil, lalu berbalik, berjalan menuju pintu balkon. Sebelum keluar, ia menoleh sekilas, matanya berkilat aneh.
“Kamu pikir begitu? Lucu sekali, padahal kita sudah lebih mengenal satu sama lain. Lebih dari yang kamu bayangkan.”
Pintu menutup pelan. Aziya terpaku, jantungnya berdetak kencang. Ada sesuatu dalam kata-kata Pria itu yang mengguncang perasaannya, seolah ia menyembunyikan rahasia besar.
Bagi pria itu, tanggung jawab yang ia tagih bukan sekadar janji kosong, itu adalah cara lain untuk memastikan takdir lama mereka berlanjut di dunia ini.