Ryan, kekasih Liana membatalkan pernikahan mereka tepat satu jam sebelum acara pernikahan di mulai. Semua karena ingin menolong kekasih masa kecilnya yang sedang dalam kesusahan.
Karena kecewa, sakit hati dan tidak ingin menanggung malu, akhirnya Liana mencari pengganti mempelai pria.
Saat sedang mencari mempelai pria, Liana bertemu Nathan Samosa, pria cacat yang ditinggal sang mempelai wanita di hari pernikahannya.
Tanpa ragu, Liana menawarkan diri untuk menjadi mempelai wanita, menggantikan mempelai wanita yang kabur melarikan diri, tanpa dia tahu asal usul pria tersebut.
Tanpa Liana sadari, dia ternyata telah menikah dengan putra orang paling berkuasa di kota ini. Seorang pria dingin yang sama sekali tidak mengenal arti cinta dalam hidupnya.
Liana menjalani kehidupan rumah tangga dengan pria yang sama sekali belum dia kenal, tanpa cinta meskipun terikat komitmen. Sanggupkah dia mengubah hati Nathan yang sedingin salju menjadi hangat dan penuh cinta.
Temukan jawabannya disini
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Minaaida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab.27 Rayuan Nathan
"Bukankah kamu di sini untuk mengantarkan dokumen? Jangan berdiam diri di sini. Jika orang lain melihatmu berkeliaran di sini, kamu pasti akan mendapat teguran." Pria itu mendesak, memberi isyarat agar dia segera pergi.
"Oh, iya benar, terima kasih." Liana melirik sekali lagi ke belakang. Tapi dengan beban dokumen di tangannya, dia menyingkirkan rasa penasarannya dan bergegas menuju ruang rapat utama.
Beruntung, sebagian besar peserta rapat belum tiba, dan rapat belum dimulai. Dia berhasil menyerahkan dokumen tepat waktu.
Setelah menyelesaikan tugasnya, dia naik lift kembali ke Departemen Desain Mode.
Namun pikirannya menjadi kacau balau. Gambaran pria itu — yang sangat mirip dengan Nathan — selalu hadir dalam pikirannya.
Apakah benar dia Nathan?
Tapi itu jelas tidak masuk akal. Nathan tidak punya alasan untuk berada di RC Corporation, apalagi berdiri di sana seolah-olah dia tidak menghabiskan beberapa tahun terakhir di kursi roda.
Mungkin dia salah?
Kembali ke mejanya, Liana ragu-ragu sebelum mengeluarkan ponselnya. Dia membuka nomor Nathan dan mulai mengetik pesan.
"Nathan, di mana kamu sekarang?"
Itu adalah pertanyaan biasa saja, hanya pertanyaan iseng. Setelah mengirim pesan, dia bersandar di kursinya, mengetuk-ngetuk jarinya di ponselnya sambil menunggu.
Tapi beberapa menit berlalu tanpa balasan.
Rasa kecewa perlahan menyelimuti dadanya. Nathan mungkin tidak akan membalas pesan—dia sudah cemberut sepanjang pagi dan mengurung diri di ruang kerjanya.
Menghela napas, dia meletakkan ponselnya di meja dan mencoba fokus pada situs web desain perusahaan.
Tepat saat dia mulai asyik bekerja, ponselnya tiba-tiba bergetar.
Itu adalah panggilan dari Nathan.
Liana terkejut — dia cepat-cepat melihat sekeliling — beberapa rekan kerja sedang sibuk bekerja, sementara yang lain jelas-jelas malas-malasan. Tidak ingin menerima panggilan di mejanya, dia berdiri dan pindah ke tempat yang lebih sepi di dekatnya.
"Halo." Saat dia berbicara, suaranya melembut tanpa dia sadari.
Ada jeda sejenak di ujung telepon sebelum suara Nathan yang dalam dan tenang terdengar, "Ada apa?"
Suara Nathan pelan dan lembut, diiringi gemerisik sesuatu yang terdengar samar, yang semakin mereda saat mencapai telinga Liana.
Sebuah kehangatan aneh merayap di kulitnya saat ponsel menempel di pipinya. Dia menurunkan suaranya tanpa sadar. "Ya, tidak ada apa-apa. Aku hanya sekedar bertanya."
Nada suara Nathan sedikit berubah, ada kelembutan yang terselip dalam setiap kata-katanya. Liana hampir bisa membayangkan raut wajah Nathan, bagaimana alisnya terangkat sedikit saat sedang berbicara.
"Hanya bertanya? Kamu yakin hanya bertanya biasa tentang di mana aku?"
Suara Nathan — tenang, dalam, dan menggoda dengan mudah — mengacaukan pikirannya, dan sebelum dia bisa menahannya, sebuah kejujuran meluncur dari bibirnya. "Aku.... hanya tidak ingin kamu menghilang lagi selama berhari-hari seperti sebelumnya. Aku bahkan tidak tahu di mana kamu berada?"
Tawa pelan bergema dari ujung telepon, pelan, dalam, dan dihiasi dengan nada serak yang membuatnya sejenak terdiam. Dia terpesona.
"Apa yang kamu tertawakan?" pertanyaan itu meluncur sebelum dia bisa berpikir dua kali.
Masih tertawa, Nathan menjawab, "Liana, apakah kamu mengatakan bahwa kamu tidak bisa berpisah denganku? Aku tidak tahu, seberapa menariknya aku bagimu — aku memikirkan bahwa kamu akan begitu khawatir tentangku?"
Suaranya menjadi lebih dalam, hampir intim, dengan nada menggoda di ujungnya.
Atau mungkin itu hanya imajinasinya saja yang berlarian menggoda pikirannya.
Komentar Nathan yang menggoda membuat wajah Liana memerah. Mengapa dia bisa seterus terang itu, mengatakan apa yang dia pikirkan begitu saja?
Bukankah itu sama saja mengatakan jika dia sangat membutuhkan nya?
Gugup, dia menekan punggung tangannya yang dingin ke pipinya yang panas dan merona.
"Itu bukan maksudku," dia mendengus ringan, berusaha membela diri dari rasa malu.
Sebelum dia bisa berkata lagi, Nathan memotongnya, suaranya hangat dan tenang. "Jangan khawatir. Selama beberapa hari ke depan, aku akan di rumah, menunggu kamu pulang kerja."
Janji yang tak terduga itu membuatnya terkejut. Sebuah sentakan lembut mengencang di hatinya, jantung berdesir, emosi yang singkat itu segera berganti dengan kegembiraan yang meluap-luap.
Sebuah kehangatan yang tenang menyebar di dadanya. Dia tak bisa menahan kebahagiaan yang membuncah di dalam dirinya.
Untuk pertama kalinya dalam bertahun - tahun, seseorang telah mengucapkan kata-kata itu padanya.
Senyum Liana terkembang, saat ini dia sendiri sedang tersipu-sipu.
Jadi, dia memang punya sebuah rumah — tempat di mana dia diharapkan, tempat di mana seseorang sedang menunggunya.
"Baiklah, kamu sendiri yang mengatakannya, loh." Dia bergumam, menggigit bibirnya pelan.
Suara Nathan terdengar santai, nyaris tanpa beban. "Aku tidak akan repot-repot berbohong tentang hal seperti itu, jika bermaksud hanya untuk menggodamu."
Setelah panggilan berakhir, Liana masih duduk, dia terdiam sejenak, memegangi ponselnya erat-erat. Kehangatan dari kata-kata Nathan tadi masih terasa, membungkus dirinya seperti sebuah pelukan yang lembut.
Jika Nathan mengatakan dia akan ada di rumah menunggunya, maka dia pasti akan ada di sana. Hatinya pun berbunga-bunga.
Pikirannya melayang pada Nathan — dirinya menghabiskan sebagian besar waktunya di ruang kerja, bergantung pada kursi rodanya untuk bergerak.
Sekarang, gambaran pria yang dia lihat di ruang rapat CEO telah memudar di benaknya. Dia yakin, dia pasti telah salah orang.
Sambil tersenyum, dia memasukkan teleponnya ke saku belakang. Dia sekarang sedang memikirkan apa yang bisa dia beli untuk Nathan sebagai hadiah kecil sepulang kerja nanti.
Meskipun kedengarannya Nathan sangat rileks selama panggilan tersebut, tapi dia masih kepikiran Nathan, jadi dia ingin membawakan sesuatu untuknya — mungkin sesuatu yang bisa mencerahkan moodnya, setelah kekesalan suaminya itu tadi pagi.
Liana
selamat
lanjut thor ceritanya
di tunggu up nya
seru cerita nya...
Nathan yg bercinta dengan Liana...
lanjut thor ceritanya
jangan sampai membuat masalah, takutnya salah faham
nanti Liana nya...
Nathan
bakal tidur pulas nich
karena kepalanya di pijit...
ternyata Nathan
tidak lumpuh
dia hanya berpura-pura...
lanjut thor ceritanya