Demi menikahi wanita yang dicintainya, Arhan Sanjaya mengorbankan segalanya, bahkan rela berhutang banyak dan memenuhi semua keinginan calon mertuanya. Terbelenggu hutang, Arhan nekat bekerja di negeri seberang. Namun, setelah dua tahun pengorbanan, ia justru dikhianati oleh istri dengan pria yang tak pernah dia sangka.
Kenyataan pahit itu membuat Arhan gelap mata. Amarah yang meledak justru membuatnya mendekam di balik jeruji besi, merenggut kebebasannya dan semua yang ia miliki.
Terperangkap dalam kegelapan, akankah Arhan menjadi pecundang yang hanya bisa menangisi nasib? Atau ia akan bangkit dari keterpurukan, membalaskan rasa sakitnya, dan menunjukkan kepada dunia bahwa orang yang terbuang pun bisa menjadi pemenang?
Karya ini berkolaborasi spesial dengan author Moms TZ.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Mia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
12. Ke rumah Budi
.
Arhan menarik napas dalam-dalam, aroma kebebasan terasa begitu nyata. Namun, langkahnya tidak mengarah ke rumah yang dulu ia bangun bersama Nurmala. Ia memilih rumah Budi, sahabat yang selalu ada.
"Han, akhirnya kamu bebas!" Budi menyambutnya dengan pelukan erat. Tawa lebar menghiasi wajahnya.
“Pasti kedatanganku akan membuat kamu repot." Arhan merasa tak enak hati.
“Siapa bilang? Aku sudah mendapat kabar dari Larasati kemarin, karena itu aku sudah siapkan kamar buat kamu. Aku senang rumahku menjadi tujuan pertama kamu. Istirahatlah dulu, cerita belakangan."
Malam itu, setelah makan malam sederhana, mereka duduk berdua di beranda depan. "Aku tidak menyangka, Bud. Mereka tega banget melakukan itu padaku."
Budi mengangguk prihatin. "Jangan lagi pikirkan mereka. Pikirkan saja apa yang akan kamu lakukan ke depannya. Sekarang, apa rencana kamu?"
Arhan tersenyum tipis. "Belum tahu pasti. Tapi yang jelas, aku tidak akan membiarkan mereka hidup tenang." Ia terdiam sejenak, matanya memancarkan tekad. "Tapi untuk itu, aku butuh bantuan kamu, Bud."
"Kamu tidak perlu sungkan, Han. Apapun buat kamu," jawab Budi tanpa ragu. "Kamu pasti bisa, Han. Kita akan membuat mereka menyesal.”
Arhan mengangguk, lalu sesaat lamanya mereka hanya diam menikmati semilir angin malam.
"Besok, aku mau ke rumah," ucap Arhan tiba-tiba, memecah keheningan malam. Budi yang sedang memeriksa berkas-berkas terkejut.
"Kamu yakin, Han? Mereka pasti tidak menyangka kamu bakal datang," jawab Budi khawatir. "Dan kamu jangan terkejut, sejak kamu mendekam di penjara mereka sudah tinggal serumah. Di rumah yang kamu bangun.” Budi menceritakan apa yang ia ketahui.
“Apa mereka sudah menikah?" Arhan mengurutkan kening. "Aku dan Nurmala bercerai baru sekitar satu bulan, dan itu saat aku masih berada di penjara. Seharusnya masa iddah Nurmala belum selesai kan?” Arhan sedikit merasa aneh.
“Apanya yang aneh dengan tingkah mereka, Han?” Budi menoleh ke arah Arhan, menghela nafas dalam. “Bahkan sebelum kamu pulang ke Indonesia, mereka sudah sering melakukannya. Bukankah kamu pernah melihatnya sendiri?"
Arhan mengangguk dan menghela napas. "Aku ingat, Bud. Tapi aku sudah tidak peduli dengan semua itu. Aku hanya ingin mengambil apa yang menjadi milikku. Aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Aku juga membutuhkan buku tabunganku untuk membuka usaha."
Budi menatap Arhan dengan serius. “Tapi ingat, Han! Jangan gegabah. Kamu tidak boleh terpancing emosi lagi."
"Tenang saja, Bud. Aku sudah belajar banyak selama berada di penjara. Aku tidak akan membiarkan emosi mengendalikan aku," jawab Arhan mantap.
*
*
*
Arhan telah sampai di depan rumahnya, tetapi apa yang dilihatnya membuat matanya terbelalak. Koper miliknya tergeletak di luar. Arhan langsung membukanya untuk memeriksa barang-barangnya. Yang ingin ia pastikan adalah ponsel dan buku tabungannya, tetapi setelah mengacak-acak isi koper tersebut, ponsel dan buku tabungan itu tetap tidak ditemukan.
“Nurmala… !” geramnya dengan rahang mengeras. Segera ia berdiri dan menggedor pintu berulang kali.
Beberapa saat kemudian, pintu terbuka dan menampakkan wajah normal yang terkejut. "Kamu...!" ucapnya, kedua mata wanita itu terbelalak lebar.
"Siapa, Sayang?" terdengar suara Fadil dari dalam.
Nurmala segera menutupi kekagetannya dan berteriak, "Bukan siapa-siapa, Mas! Hanya seorang pengemis yang meminta sumbangan!"
Arhan mengeraskan rahangnya, ia tidak mau terpancing oleh ucapan Nurmala. "Di mana HP-ku? Apa kamu maling juga?" tanyanya dengan nada sinis.
"Tidak ada, sudah aku jual!" Nurmala menjawab dengan ketus.
Arhan mengepalkan tangannya, seraya menggeretakkan gigi-giginya, dan menatap Nurmala dengan tatapan tajam penuh amarah.
"Di mana kamu menjualnya?" tanyanya lagi.
"Ya, di counter lah, masa di warteg!" Nurmala menjawab tanpa rasa bersalah. Membuat Arhan semakin geram.
"Dengar baik-baik, ya! Kamu itu sudah tidak berhak lagi tinggal di sini. Rumah ini beserta isinya, mobil, dan motor, semuanya sudah atas nama aku! Jadi, lebih baik kamu pergi dari sini, sekarang juga! Hus...hus...hus...!" Nurmala mengibaskan tangannya, mengusir Arhan seperti hewan.
Tanpa berkata, Arhan langsung pergi begitu saja, menyambar kopernya yang tergeletak di teras. Mencari warnet terdekat untuk melacak keberadaan ponselnya.
Di warnet, Arhan menyeringai tipis saat mengetahui di mana ponselnya berada. "Rupanya rubah licik itu ingin bermain-main denganku. Baiklah jika itu maumu, aku akan meladenimu!" ucapnya dalam hati.
"Ya Tuhan…! Arhan menengadahkan wajahnya ke atas. “Terima kasih sudah kau pertemukan aku dengan Pak Jatmiko.” Pria itu mengingat Pak Jatmiko lah yang telah mengajarinya tentang teknik IT ketika dirinya masih berada di penjara
Arhan segera kembali lagi ke rumahnya. Dia langsung masuk tanpa permisi. Matanya melihat Nurmala sedang asyik memainkan ponselnya, sehingga tidak menyadari kedatangannya. Arhan melenggang masuk ke dalam kamarnya, lalu membuka lemari dan menggeledah isinya dengan cepat.
"Alhamdulillah, masih milikku," ucap Arhan dengan lega setelah menemukan ponselnya, lalu memasukkannya ke dalam saku celana.
Ia keluar dari kamar tanpa merapikan kembali pakaian ke dalam lemari. Saat itulah Nurmala menyadari keberadaannya.
"Eh, kapan kamu datang?" tanya Nurmala kaget. "Kamu mau maling di rumahku, ya?"
Arhan melenggang keluar tanpa peduli dengan teguran yang dilontarkan oleh Nurmala.
Melihat Arhan yang keluar tanpa rasa bersalah, Nurmala menjadi geram. Sambil berlari mengejar ia berteriak memanggil Fadil, "Mas... Mas Fadil! Ada maling, Mas!"
Tak cukup sampai di situ ketika ia melihat beberapa orang melintas di depan rumahnya, lalu ia pun keluar rumah dan berteriak, "Maling... maling... Tolong ada maling di rumah saya!"
Beberapa orang yang kebetulan melintas di depan rumah Arhan pun, langsung berhenti dan menghampiri rumah tersebut. "Mana malingnya, Nur?" tanya salah seorang dari mereka.
"Lho, Han? Kapan kamu keluar dari tahanan?" tambah yang lain yang melihat keberadaan Arhan di sana.
Fadil yang sedang tidur siang tergeragap mendengar teriakan Nurmala. Ia langsung berlari keluar tanpa memperhatikan penampilannya. "Mana malingnya, Nur?" tanyanya bingung.
Sementara Arhan masih berdiri di tempatnya tanpa berniat melarikan diri. "Baru tadi, Paklik. Aku ke sini hanya mengambil barangku yang ketinggalan," jawab Arhan santai.
Namun Nurmala memprotes jawaban Arhan. Ia baru saja melihat kamarnya yang berantakan. "Bohong, dia! Pasti dia telah mengambil sesuatu, buktinya pakaianku berhamburan semua di lantai."
Arhan menanggapinya dengan santai. "Maling teriak maling, apa tidak malu?"
"Tapi kamu datang ke rumah orang tanpa permisi, Han. Apa itu namanya kalau bukan maling?" tuduh Fadil.
Mendengar tuduhan Nurmala, Arhan terkekeh lalu menoleh ke arah para tetangga yang berdatangan. "Bapak dan ibu? Ingat nggak Siapa yang membangun rumah ini?”
"Ya tentu saja ingat, Han. Ini kan rumah kamu?” jawab seorang tetangga yang kemudian dibenarkan oleh yang lain.
Arhan tersenyum remeh ke arah Nurmala. Seribu sesal muncul dalam hatinya kenapa dulu semua aset ia buat menjadi atas nama Nurmala. “Kamu sudah dengarkan? Siapapun tahu aku yang membangun rumah ini. Tetapi jangan khawatir, sekarang aku mengikhlaskannya untuk pengemis seperti kalian."
Ucapan Arhan membuat Fadil dan Nurmala mengepalkan tangan dengan rahang mengeras. Tapi dasar orang tidak tahu, biar saja di kata pengemis, yang penting sekarang ia mendapatkan semuanya.
*
Arhan meninggalkan rumah yang dulu ia bangun dengan tetesan keringat. Pun demikian dengan orang-orang yang tadi berkerumun, mereka ikut pergi meninggalkan rumah itu.
Tujuan Arhan selanjutnya adalah ke bank sebelum tutup. Dia berniat mengambil sertifikat tanah yang tertunda saat dirinya harus masuk penjara kemarin. Arhan juga ingin mengecek rekeningnya, karena uku tabungan, dan dompet berisi ATM tak ia temukan di rumah yang kini ditempati oleh Nurmala.
Namun, begitu ia melaporkan tentang buku tabungan dan ATM yang hilang berdasarkan nomor rekening yang ia hafal, alangkah terkejutnya dia, ketika petugas mengatakan bahwa saldo rekeningnya telah kosong.
Dengan langkah gontai, Arhan keluar dari dalam ruang ber-ac itu setelah mengucapkan terima kasih. Sesampai di luar, Arhan mendudukkan dirinya di teras. Ingin istirahat sejenak untuk meredakan emosi yang menguasai jiwanya. Pandangannya kini tertuju pada sertifikat yang berada di tangannya.
Setelah istirahat beberapa saat, Arhan berdiri dan berniat kembali ke rumah Budi. Dia tak bisa menyesali apa yang telah hilang, yang harus ia lakukan adalah mempertahankan apa yang masih berada di tangan.
Gusti mboten sare...
orang tua macam apa seperti itu...
membiarkan anaknya melakukan dosa...🤦♀️🤦♀️🤦♀️🤦♀️
bukan malah menyalahkan org lain..
wah..minta dipecat dg tidak hormat nih istri...