“Pernikahan kita cuma sandiwara. Di depan keluarga mesra, di belakang orang asing. Deal?”
“Deal!”
Arman sudah punya kekasih, Widya ogah ribet. Tapi siapa sangka, hidup serumah bikin aturan mereka berantakan. Dari rebutan kamar mandi sampai saling sindir tiap hari, pura-pura suami istri malah bikin baper sungguhan.
Kalau awalnya cuma perjanjian konyol, kenapa hati ikut-ikutan serius?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon riena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 16. Puas
Arman masih berdiri di depan pintu, menarik napas panjang. Tatapannya berpindah ke Widya yang kini sibuk merapikan buku di meja. Sikapnya terlalu kaku untuk disebut biasa.
“Wid…” suara Arman pelan, seakan takut menyentuh bom waktu. “Jujur, tadi Priya ngomong apa sama kamu?” ulang Arman.
Widya berhenti sejenak, tapi tidak menoleh. Tangannya merapikan buku sekali lagi, meski jelas tumpukan itu sudah rapi. “Nggak ada,” jawabnya singkat dan masih sama.
Alis Arman berkerut. Ia mendekat dua langkah. “Masa sih? Dari raut muka kalian, jelas-jelas ada sesuatu.”
Widya menoleh sekilas, senyum tipisnya tampak dingin. “Kalau aku bilang nggak ada, ya berarti nggak ada, Mas.” Nada suaranya terdengar tegas, tapi juga bergetar halus.
Arman menghela napas, frustasi. “Aku cuma khawatir, Wid. Aku tahu Priya… dia bisa macam-macam. Aku nggak mau kamu terseret—”
“Mas, aku capek. Aku masuk dulu.” Widya memotong kalimat suaminya, lalu berbalik. Ia melangkah ke kamar tanpa menunggu jawaban.
Arman hanya bisa menatap punggung istrinya yang menjauh. Dadanya terasa sesak, ada perasaan bersalah sekaligus bingung. Ia ingin mengejar, tapi kakinya seperti menancap ke lantai.
Di kamar, Widya duduk di tepi ranjang, jemarinya mencengkram sprei erat-erat. Kata-kata Priya masih terngiang, menusuk tajam. “Bahkan kalau sekarang dia mesra sama kamu… siapa yang bisa jamin kalau di pikirannya bukan kamu, tapi aku?”
Air mata menumpuk di sudut mata Widya, tapi segera ia usap kasar. Tidak boleh ada yang tahu. Tidak boleh Arman tahu.
Sementara di ruang tamu, Arman menjatuhkan diri ke sofa, menatap langit-langit kosong. Hatinya dipenuhi pertanyaan yang tak menemukan jawaban. Ia tahu sesuatu terjadi, tapi Widya memilih diam.
Dan di antara keduanya, jarak yang semula mulai hangat, kini kembali membeku.
*
*
Lampu kamar redup, hanya tersisa cahaya temaram dari meja kecil disamping ranjang. Widya sudah berbaring membelakangi Arman, tubuhnya meringkuk menghadap dinding.
Arman masuk pelan, mengganti bajunya tanpa suara berarti. Matanya sesekali melirik punggung istrinya. Rasanya ada tembok tak kasat mata yang berdiri di antara mereka sejak sore tadi.
“Wid…” panggil Arman lirih, sambil duduk di sisi ranjang.
“Hm.” Jawaban Widya pendek, hampir seperti gumaman setengah mengantuk.
Arman menelan ludah. “Kalau ada yang bikin kamu nggak enak hati, bilang aja. Jangan dipendam.”
Widya menghela napas panjang. “Aku nggak papa, Mas. Tidur aja.” Suaranya terdengar datar, tapi terlalu cepat keluar, seolah ingin segera mengakhiri percakapan.
Arman terdiam. Tangannya sempat terulur, ingin menyentuh bahu Widya, tapi berhenti di udara. Ia takut sentuhannya justru membuat keadaan semakin buruk.
“Wid…” sekali lagi Arman mencoba, lebih lembut. “Aku serius. Aku pengen tahu apa yang sebenarnya terjadi.”
Widya menutup mata rapat-rapat. “Nggak ada yang terjadi. Aku cuma capek. Besok masih ada kuliah pagi.”
Hening.
Arman akhirnya berbaring, membiarkan jarak seukuran bantal tetap memisahkan mereka. Ia menatap punggung istrinya yang kaku, merasakan dinginnya udara yang bukan berasal dari AC.
Di dalam hati, Arman ingin menarik Widya ke pelukannya, meyakinkan bahwa apapun yang mengganggunya bisa ia hapus. Tapi entah kenapa, malam itu langkahnya terasa terbelenggu. Jangankan memeluk, memegang tangan Widya saja tidak berani.
Sementara Widya, meski matanya terpejam, pikirannya terus bergemuruh. Kata-kata Priya masih membekas, membuat dadanya sesak. Ia ingin percaya penuh pada Arman, tapi bayangan yang tadi sore Priya lemparkan terlalu sulit diusir.
Air mata akhirnya lolos, membasahi bantal. Tapi Widya buru-buru mengusapnya, takut Arman mendengar suara isak kecilnya.
Arman, yang berbaring di sampingnya, hanya bisa menghela napas dalam hati. Keduanya sama-sama terjaga, sama-sama penuh kata yang ingin diucapkan, tapi memilih diam.
*
*
Suara alarm ponsel berdering lirih. Widya bergerak lebih dulu, mematikannya dengan gerakan cepat. Rambutnya agak berantakan, wajahnya masih menyimpan sisa lelah dari malam panjang yang tak benar-benar memberinya tidur.
Arman membuka mata beberapa detik kemudian, matanya langsung menangkap punggung Widya yang sudah duduk di tepi ranjang, bersiap bangun.
“Pagi,” ucap Arman pelan, suaranya serak.
Widya menoleh sekilas, bibirnya melengkung tipis tanpa senyum. “Pagi.”
Arman menggeser posisi, bersandar pada bantal. Ada banyak kata yang ingin ia ucapkan—permintaan maaf, pertanyaan, sekadar basa-basi—tapi semuanya tertahan di tenggorokan.
“Kamu… mau aku anterin ke kampus lagi?” tanya Arman akhirnya, suara hati-hati.
Widya berdiri, merapikan rambutnya di depan cermin. “Nggak usah repot. Aku bisa naik angkot.”
Arman tercekat. Ada penolakan halus yang menusuk, tapi ia berusaha tetap tenang. “Aku nggak repot, Wid. Lagian, aku juga seneng bisa bareng kamu sebentar sebelum kerja.”
Widya berhenti sejenak, lalu melanjutkan mengikat rambutnya tanpa komentar. Cermin memantulkan wajahnya yang berusaha netral, padahal matanya jelas menyimpan gelisah.
Arman bangkit dari ranjang, berjalan ke dapur dengan alasan mengambil air minum. Ia ingin memberi ruang, tapi juga tak sanggup kalau harus membiarkan jarak ini terus melebar.
Tak lama kemudian, suara panci dan gelas terdengar. Ketika Widya keluar dari kamar, ia mendapati Arman sudah menaruh dua cangkir teh hangat di meja makan.
“Minum dulu, biar nggak buru-buru berangkat dengan perut kosong,” ucap Arman singkat, menunduk seolah tak berani menatap langsung.
Widya menahan diri beberapa detik, lalu duduk. Tangannya menggenggam cangkir itu, merasakan hangatnya menjalar. Lalu ia melirik Arman sedikit lebih lama.
“Terima kasih,” ucap Widya pelan.
Arman tersenyum tipis, nyaris tak terlihat, tapi cukup untuk membuat dadanya sedikit lega. Meski jarak itu masih ada, setidaknya ia tahu ada celah kecil yang bisa ditembus.
Pagi itu, keduanya tetap sarapan dalam diam. Hanya suara sendok yang beradu dengan cangkir.
*
*
Kantor – Sore Hari
Arman duduk di kursi kerjanya, mengetuk-ngetuk meja tanpa sadar. Sejak pagi, raut wajah dingin Widya terus terbayang. Tatapannya semalam, sikapnya pagi ini—semua jelas ada yang mengganjal.
Akhirnya, setelah menimbang cukup lama, Arman meraih ponselnya. Jari-jarinya mengetik cepat.
[Ketemu sebentar. Aku perlu bicara.]
Balasan Priya datang hanya beberapa menit kemudian.
[Datang aja ke kafe biasa. Aku tunggu.]
Arman menarik napas panjang, lalu memutuskan untuk pergi.
---
Kafe – Senja hari.
Priya sudah duduk di pojok ruangan, mengenakan blus putih sederhana tapi tetap terlihat menonjol. Bibirnya tersenyum tipis saat melihat Arman mendekat.
“Cepet juga kamu dateng,” sapa Priya santai.
Arman langsung duduk, wajahnya tegang. “Aku nggak mau basa-basi. Kemarin… kamu ngomong apa ke Widya?”
Priya menyandarkan tubuhnya ke kursi, menatap Arman dengan mata penuh kepuasan. “Kenapa? Dia marah? Atau nangis?”
“Priya, jawab.” Nada suara Arman lebih tegas, menahan emosi.
Priya justru terkekeh kecil, menutupi mulut dengan jemarinya. “Lucu banget liat kamu panik gini.”
Arman mengatupkan rahang, mencondongkan tubuh. “Aku serius, Priya. Apa yang kamu bilang ke dia?”
Priya mengangkat bahu. “Nggak banyak. Aku cuma… ngingetin dia kalau kamu dan aku punya masa lalu. Masa lalu yang nggak gampang dihapus begitu aja.” Ia mendekat sedikit, berbisik dengan nada menggoda. “Aku bilang, bisa aja kamu ada di samping dia… tapi bayanganku masih ada di kamu.”
Arman mengepalkan tangan di atas meja, jelas menahan diri agar tidak meledak. “Kamu keterlaluan.”
Priya malah tertawa lirih, semakin menikmati situasi. “Ah, jadi beneran ngena ya di dia? Sampai kamu segini khawatirnya. Berarti Widya semalaman nangis ya?” kekeh Priya terlihat puas.
Arman menggeleng keras, menatap Priya dengan sorot kecewa. “Tujuan kamu apa sih? Mau bikin dia benci aku? Mau bikin rumah tangga kami hancur?”
Priya tersenyum miring. “Aku cuma nggak rela kamu gampang dimiliki orang lain. Apalagi sama gadis polos kayak dia. Rasanya… nggak adil.”
Arman berdiri mendadak, kursi bergeser dengan suara keras. “Priya, cukup. Aku datang kesini bukan untuk bernostalgia, apalagi main-main. Jangan pernah coba-coba ganggu Widya lagi.”
Priya mendongak, ekspresinya masih santai meski mata Arman menajam. “Kamu bisa ngelarang aku, tapi bisa nggak kamu larang pikirannya Widya biar nggak teracuni oleh kata-kataku?”
Arman tercekat. Kata-kata itu menusuk. Priya tahu betul kelemahannya.
“See?” Priya menyeringai puas. “Aku udah tanam benih keraguan di kepalanya. Tinggal tunggu waktu aja sampai dia makin goyah.”
Arman menatap Priya dengan rahang mengeras, lalu berbalik pergi tanpa sepatah kata pun. Ia tahu, membantah hanya akan membuat Priya semakin senang.
Di meja yang ditinggalkan, Priya menyandarkan dagu di tangan, senyum puas tak lepas dari wajahnya. Provokasinya berhasil, dan ia menikmatinya.
------