Kairos Valente.
Seorang pria yang memiliki masa lalu percintaan yang kelam hingga menambah traumanya. Trauma akan kekerasan yang dilakukan oleh Daddy nya kepada Mommy kandungnya. Kairos Valente mengidap penyakit CPTSD. Pewaris Valente Corp. sebuah dinasti yang dibangun oleh mendiang kakek Valente diwariskan kepada kedua cucunya yaitu Kairos Valente dan Aureliany Valente. Namun, karena Aurel tidak tertarik di dunia bisnis, Valente Corp. dipimpin oleh Kairos Valente. Suatu pertemuan tidak disengaja di suatu malam antara Kairos dan seorang gadis yang bernama Aurora membuatnya tersentuh. Semesta menemukan mereka, obsesi Kairos mendekati gadis itu tumbuh semakin besar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Saskya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perasaan Asing
Sunyi menyelimuti kamar inap itu, hanya suara mesin infus yang berdetak pelan menemani.
Dalam diam, Aurora menggeliat tipis di pelukan Kairos, berusaha mengubah posisi tubuhnya yang terasa tak nyaman.
Kelopak matanya terangkat perlahan, Aurora bergerak gelisah dalam pelukan Kairos. Kelopak matanya terbuka, dan suara lirih keluar di antara bibirnya.
“Tuan… aku mau ke toilet.”
Kairos yang masih terpejam ranjang langsung terjaga penuh. Ia menunduk, menatap wajah pucat Aurora, lalu tanpa banyak bicara mulai bangkit. “Baik. Aku bantu.”
Tangannya cekatan menurunkan tubuh Aurora dari ranjang, sementara tangan satunya meraih tiang penyangga infus.
Aurora menahan pergelangan tangannya, wajahnya berkerut malu.
“Tidak perlu. Aku bisa sendiri.”
Kairos menoleh sekilas, tatapannya dingin tapi penuh penguasaan. “Aurora, jangan keras kepala. Kamu bahkan masih lemah.”
Aurora hendak membantah lagi, tapi langkah Kairos lebih cepat. Dengan tegas ia menopang tubuh Aurora, menuntunnya turun dari ranjang.
Saat kaki Aurora menyentuh lantai, pandangannya tanpa sengaja bertemu dua sosok yang berdiri di pintu. Emily dan Valeria.
Kedua wanita itu masih terpaku, menyaksikan semuanya tanpa bersuara.
Aurora buru-buru menunduk, wajahnya memerah, lalu berbisik pelan. “S-selamat sore, Nyonya…”
Emily tersenyum hangat, meski matanya berkaca. Valeria hanya mengangguk, namun sorot matanya penuh arti.
Kairos tidak berhenti. Seakan dunia di sekitarnya tak ada, ia menuntun Aurora melangkah pelan menuju toilet.
Sampai di depan pintu, Aurora berhenti. “Tuan… tolong tunggu di luar.”
Kairos mengernyit, tetap memegang selang infus erat. “Tidak bisa. Siapa yang akan memegang ini kalau aku keluar?”
Aurora menunduk dalam, suaranya nyaris memohon. “Aku malu…”
Kairos terdiam sebentar, lalu mendekatkan wajahnya. Suaranya rendah dan penuh tekanan, tapi justru terdengar menenangkan.
“Dengar, aku akan berdiri di sini. Aku akan memalingkan wajah dan tidak akan melihat sedikit pun. Tapi aku tidak akan meninggalkanmu.”
Aurora menggigit bibirnya, matanya berkaca. “Tapi…”
Kairos menyelipkan senyum tipis, kali ini lebih lembut.
“Kau bukan tipeku, Aurora. Jadi berhentilah khawatir aku akan mengintip. Aku hanya peduli supaya kamu tidak jatuh atau kesakitan.”
Aurora langsung menegang. Dadanya terasa sesak, bukan karena sakit, melainkan karena harga dirinya tersentuh. Ia menoleh cepat, sorot matanya tajam meski tubuhnya lemah.
“Kimi bikin tipiki."Ucap Aurora kesal tapi membuat Kairos tersenyum tipis merasa gemas.
"Kenapa harus mengatakannya seperti itu?!” suara Aurora bergetar, antara marah atau memang tidak suka.
Kairos sempat terdiam, menatap wajah Aurora yang memerah karena emosi.
Ia baru menyadari kalimat yang barusan ia ucapkan terdengar menusuk, meski maksudnya adalah menenangkan.
Aurora akhirnya mengangguk pelan, membiarkan Kairos tetap berdiri di sisi pintu, satu tangan teguh memegang tiang infus.
Di kejauhan, Emily menutup mulutnya menahan haru, sementara Valeria tak bisa mengalihkan pandangan dari Kairos.
Dalam diam, mereka sama-sama tahu pria itu, dengan caranya yang keras kepala, telah menaruh seluruh perhatian pada Aurora.
Sebuah perhatian yang sulit untuk diperdebatkan.
Begitu selesai, Aurora menghela napas panjang, lalu menarik lengan Kairos.
“Aku sudah selesai. Bisa kita keluar sekarang?” suaranya datar, penuh penekanan.
Kairos menoleh sekilas, menahan diri untuk tidak menyinggung lebih jauh. “Hm. Yuk, pelan-pelan,” ucapnya singkat.
Ia menuntun Aurora keluar, langkahnya hati-hati. Tangannya kokoh menopang tubuh rapuh gadis itu, sementara tangan lainnya masih memegang selang infus.
Keduanya bergerak dalam keheningan yang sedikit canggung.
Begitu pintu toilet terbuka, cahaya lampu kamar kembali menyambut.
Emily dan Valeria yang sedari tadi menunggu di dekat pintu, refleks menegakkan tubuh mereka.
Sorot mata keduanya mengikuti gerakan Kairos yang begitu protektif mendampingi Aurora.
Aurora menunduk sopan, meski wajahnya masih menyimpan riak ketidaksenangan.
“Terima kasih sudah menunggu, Nyonya,” ucapnya lirih, suara hampir tenggelam.
Emily tersenyum lembut, sedang Valeria hanya mengangkat alis tipis, matanya sekilas meneliti ekspresi putranya yang tampak dingin, namun tangannya tak pernah melepaskan genggaman pada Aurora.
“Kamu terlihat sudah membaik Nak” ucap Emily tenang, seperti aliran sungai yang menyejukkan.
Aurora mengangguk sopan, matanya menunduk, berusaha menutupi wajahnya yang sedikit bersemu.
“Jangan terburu-buru, tubuhmu masih butuh waktu.”
Berbeda dengan Emily, Valeria langsung melangkah cepat mendekat, wajahnya penuh ekspresi khawatir sekaligus lega.
“Oh Tuhan, anak manis, kau membuat kami hampir jantungan!” serunya, tangannya refleks meraih bahu Aurora lalu menepuk lembut. “Lihat kamu… pucat begini.”
Aurora sedikit kikuk dengan sikap hangat dan ribut itu, namun ada rasa nyaman yang perlahan merayapi dadanya.
Valeria kemudian melirik Kairos, dengan nada setengah menggoda.
“Dan kamu Kai, cara menuntunnya itu… seperti sedang membawa sesuatu yang paling berharga di dunia."
Kairos hanya mendengus, wajahnya datar, tapi genggamannya pada lengan Aurora tidak longgar sedikitpun.
“Aku hanya memastikan infusnya tidak lepas,” jawabnya dingin, seolah membantah, meski jelas tak bisa menyembunyikan sikap protektifnya.
Emily hanya tersenyum samar, matanya menatap keponakannya seakan tahu lebih banyak daripada yang dikatakan.
Valeria malah terkekeh pelan, menepuk tangan Emily. “Lihat? Dia memang keras kepala, kalau sudah peduli, selalu menutupinya dengan alasan logis.”
Begitu Aurora kembali berbaring, Kairos menyesuaikan selimutnya dengan tenang. Ruangan sempat hening, hanya suara infus yang menetes pelan.
Valeria tiba-tiba menoleh ke meja samping ranjang, lalu matanya membelalak kecil.
“Ya ampun, Kairos Valente…” serunya dengan nada antara geli dan tak percaya. “Apa-apaan ini?”
Aurora dan Emily ikut menoleh. Di sana, buket bunga raksasa dengan pita mewah hampir menutupi separuh permukaan meja.
Di sampingnya, tersusun keranjang buah segar yang jumlahnya seperti untuk pesta keluarga, bukan menjenguk seorang pasien.
Valeria menutup mulutnya dengan tangan, lalu tergelak ringan. “Kau ini menjenguk orang sakit atau membuka toko bunga dan buah, hah?”
Emily tersenyum tipis, berusaha menahan tawa, matanya melirik ke arah keponakannya.
Kairos hanya mendengus, wajahnya tetap dingin. “Itu hal biasa. Pasien butuh vitamin dan suasana ruangan yang segar.”
Nada suaranya seolah formal, namun justru membuat Valeria makin geli.
“Hal biasa?” Valeria menirukan, lalu menepuk-nepuk lengan Emily. “Lihat, dia selalu punya alasan praktis untuk setiap tindakannya. Padahal jelas-jelas ini berlebihan.”
Aurora tak kuasa menahan bibirnya yang terangkat sedikit. Senyum itu kecil, nyaris tak terlihat, tapi cukup membuat pipinya bersemu.
Kairos melirik sekilas ke arahnya, mata elang itu menajam seakan tak ingin Aurora ketahuan tersenyum.
Namun genggaman jarinya di tepi ranjang, yang tak kunjung dilepaskan, justru membongkar sikapnya yang tak bisa benar-benar dingin.
Valeria menggeleng sambil menghela napas dramatis,
"Ternyata anakku normal, syukurlah kau masih menyukai wanita."
Kairos mendengus. "Mommy lebay banget deh."
Sementara Valeria tidak menanggapi, netranya menatap lekat Aurora dengan senyuman yang kentara bahagia.
tbc 🐼