NovelToon NovelToon
PENGAKUAN DIJAH

PENGAKUAN DIJAH

Status: tamat
Genre:Romantis / Komedi / Petualangan / Contest / Tamat
Popularitas:15.7M
Nilai: 5
Nama Author: juskelapa

Teruntuk semua perempuan di luar sana yang masih berjuang untuk bahagia dengan caranya masing-masing.

Ini tentang Bara Wirya. Seorang wartawan kriminalitas yang sedang mengulik kehidupan Dijah yang mengganggu pikirannya.

***

"Kamu ini tau apa sih? Memangnya sudah pernah beli beras yang hampir seperempatnya berisi batu dan padi? Pernah mulung gelas air mineral cuma untuk beli permen anak? Kalo nggak pernah, nggak usah ngeributin pekerjaan aku. Yang penting aku nggak pernah gedor pintu tetangga sambil bawa piring buat minta nasi."

Bara melepaskan cengkeraman tangannya di lengan Dijah dan melepaskan wanita itu untuk kembali masuk ke sebuah cafe remang-remang yang memutar musik remix.

Bara menghela nafas keras. Mau marah pun ia tak bisa. Dijah bukan siapa-siapanya. Cuma seorang janda beranak satu yang ditemuinya di Kantor Polisi usai menerima kekerasan dari seorang mantan suami.

Originally Story By : juskelapa
Instagram : @juskelapaofficial
Contact : uwicuwi@gmail.com

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon juskelapa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

26. Bara Berusaha

Klik like biar nggak lupa ya,

Makasih udah ikut kawal Dijah-Bara XD

*************

Bara menyinggahi sebuah rumah makan dan turun membeli dua kotak nasi dan beberapa bungkus lauk pauk. Ia langsung menyerahkannya ke tangan Dijah yang menunggunya di dekat sepeda motor.

Itu ibarat sebuah upeti agar Dijah mau pergi dengannya tanpa beban yang menggelayutinya sepanjang jalan.

"Nggak mau beli roti sekalian? Besok hari Minggu, kamu istirahat di rumah aja. Gimana? Mau ya? Kita ke toko roti," ajak Bara.

Meski kemudian mengangguk, Dijah tetap saja seperti sangat berat menerima tawaran itu dari Bara.

Siang itu Dijah mengenakan sebuah kaos berwarna merah yang bertuliskan GUCCI besar. Untuk bawahannya seperti biasa Dijah memakai jeans biru gelap yang dipadukannya dengan sepasang sepatu flat hitam. Dan sebagai informasi, kaos Dijah itu bukan dari brand aslinya. Dia membelinya kaos itu seharga 25 ribu saja.

"Ya udah, di sini aja. Nggak usah nyampe ke deket pondok Mbok Jum," ujar Dijah setibanya mereka di ujung gang tempat di mana berjajar bangunan rumah kardus dan tepas tipis yang banyak ditempeli potongan karung sebagai penghalau dingin atau air hujan.

"Kenapa sih? Kamu jalan jauh," tukas Bara.

"Udah nggak apa-apa. Di bawah pohon itu aja, biar nggak panas."

"Jangan lama-lama Jah, aku pengen nonton. Khawatir nggak keburu." Bara tahu ia terdengar egois, tapi hari ini ia memang tak ingin pulang lebih awal ke rumah. Sejak tadi ponselnya tak henti-hentinya bergetar. Ibunya pasti sedang menerornya soal Joana.

"Iya," sahut Dijah kemudian turun dengan banyak bungkusan di tangannya.

Bara membuka helm dan mengacak rambut ikalnya. Ia mematut wajahnya sesaat di kaca spion seraya melemparkan pandangannya pada Dijah yang setengah berlari seperti anak kecil.

"Gemes..." gumam Bara tak sadar masih menatap tubuh Dijah dari belakang. Tersadar dengan apa yang diucapkannya, ia kembali memandang wajahnya di kaca spion dan langsung menutup mulut.

"Mbok Jum... Mbok..." panggil Dijah. Wanita yang dipanggil Dijah langsung menyibakkan tirai yang terbuat dari potongan karung plastik.

"Lagi apa?" tanya Dijah. "Udah makan?" Dijah berjongkok menurunkan bawaannya ke hadapan Mbok Jum.

"Lagi nunggu kamu, aku kangen. Enggak ada temen. Kamu sekarang makin sibuk ya Jah, udah punya pacar." Mbok Jum memandang bungkusan yang baru diletakkan Dijah.

"Sibuk kerja Mbok, bukan karena sibuk pacaran. Ini nasi dan lauk banyak. Ada roti juga, ini ada serikayanya. Mbok besok sarapan roti kayak bule," tukas Dijah tertawa.

"Mahal ini, kita harus jual sampah plastik berapa kilo untuk beli ini. Uang siapa? Kalo pakai uangmu nggak usah Jah. Kalau uang pacarmu nggak apa-apa. Udah kodratnya dia yang harus keluar uang."

"Bara yang beli. Ya udah aku pergi dulu ya Mbok. Suamimu jangan lupa dikasi roti. Maaf aku kayaknya besok juga nggak dateng. Minggu depan aku temeni Mbok seharian pasti bisa. Aku pergi dulu ya," ucap Dijah. Sejak tadi tangannya memijat-mijat lengan kurus Mbok Jum.

Saat wanita itu mengangguk, Dijah berdiri dan meninggalkannya.

"Udah?" tanya Bara.

"Udah, ayo pergi sekarang. Nanti kesorean aku terlambat." Dijah mengambil helm pink yang berada di stang motor.

"Pake ini aja deh," tukas Bara tiba-tiba membuka jaketnya.

"Kenapa?" tanya Dijah heran. Ia tak merasa sedang kedinginan, punggungnya malah terasa basah karena sengatan matahari.

"Baju kamu itu, pendek banget kayaknya. Dari belakang pasti diliatin orang dari tadi. Pake aja cepet, biar pergi sekarang." Bara mengibaskan jaket itu dan merentangkannya untuk Dijah.

Dengan mengatupkan mulutnya Dijah memasukkan lengannya satu persatu ke dalam jaket Bara yang sangat kebesaran padanya. Panjang jaket itu menutupi hampir seluruh pahanya.

Setelah mengancingkannya sampai ke bawah dagu Dijah, Bara tersenyum puas.

"Nanti di mall jangan dibuka, pake itu aja." Bara kemudian mengancingkan helm Dijah dan menyalakan motornya.

Bara melajukan motornya ke arah mall yang biasa ia datangi. Ia tak suka pakaian Dijah. Terlalu ketat dan terlalu biasa. Tapi ia tak mungkin mengubah Dijah hanya dalam satu malam menjadi seperti yang diinginkannya.

Bagaimana pun pergaulan Bara lumayan baik dan luas di kota itu. Ia alumni sekolah menengah ternama dengan sekelompok teman dari keluarga terpandang.

Meski Bara bukan laki-laki muda yang hartanya tak habis dimakan tujuh turunan, tapi ia punya kelas. Wajahnya tampan dan orangtuanya dari kalangan akademisi yang disegani.

"Suka nonton?" tanya Bara. Ia benar-benar memilih pertanyaan yang akan dilontarkannya pada Dijah. Sebelumnya ia akan bertanya 'pernah nonton?' tapi pertanyaannya itu bakal terdengar sangat menyepelekan di telinga siapapun.

"Suka, tapi aku nggak punya waktu. Di kamar juga nggak ada tv." Dijah mengedarkan pandangannya ke sebuah lobby luas bioksop yang beraroma popcorn dan pengharum ruangan khas.

Dijah sangat menyukai pencahayaan ruangan luas itu. Meski terlihat hangat, namun di sana sangat sejuk. Dijah mengusap lengannya sekilas. Untung Bara memberikan jaket itu padanya. Kulit udiknya belum terbiasa dibelai air conditioner.

"Kita ke sana dulu, beli tiketnya. Kalo nonton film horor kamu nggak takut kan?" tanya Bara.

"Ya enggak, emang kenapa?"

"Nanya aja Dijah, biasa cewe suka takut kalo nonton film horor atau thriller kan?"

"Cewe-cewe mana? Aku enggak," potong Dijah cepat.

"Oh iya, Dijah beda. Aku lupa..." Bara menggandeng lengan Dijah untuk mengantre di depan kasir bioskop.

Bara menggamit lengan Dijah agar wanita itu berada di depannya. Semua yang mengantre saat itu kebanyakan pasangan muda-mudi yang berpacaran. Dalam antrean sang pria selalu memposisikan wanitanya di depan supaya kaum lelaki itu dengan mudah memeluk dan wanitanya bersandar.

Dijah masih menoleh ke kanan kirinya. Sepertinya Dijah baru kali itu masuk ke bioskop. Meski tadinya Dijah terlihat ogah-ogahan, wanita itu sekarang terlihat tertarik. Melihat hal itu, Bara menjadi semakin bersemangat. Pokoknya harus film horor pikirnya.

Bara sudah membayangkan bahwa Dijah akan ketakutan dan memeluknya erat. Dua jam di dalam kegelapan dan dinginnya AC studio, tak mungkin ia tak bisa mencium wanita itu lagi. Ketimbang di kamar Dijah mendengarkan ocehan Tini, tentu saja Bioksop lebih bagus pikirnya.

"Nah sekarang kita beli cemilan dulu, kamu mau apa?" Bara melingkarkan tangannya di pinggang Dijah sambil mengatup mulutnya. Bara senang sekali tapi di saat bersamaan ia merasa norak. Persis seperti ABG yang sedang gencar PDKT pikirnya.

"Mau apa?" tanya Bara pelan ke telinga Dijah yang sedang berdiri memegang meja porselen sambil memandang mesin popcorn yang sedang meletup-letup.

"Mau itu, yang manis." Dijah berkata tanpa melihat Bara. Pikirannya mengembara. Ia membayangkan Dul pasti akan sangat menyukai berondong jagung manis itu pikirnya.

Bara membayar dua minuman dan sekeranjang popcorn serta merta merangkul Dijah menuju studio tempat di mana film pilihan mereka akan diputar.

"Liat jalannya," ujar Bara.

Lampu telah dimatikan dan Bara melirik Dijah yang duduk memeluk popcorn dan memperhatikan layar yang masih menyiarkan iklan.

Bagaimana caranya membuat Dijah memeluknya dengan sukarela, mungkin ini salah satu jalannya pikir Bara.

30 menit pertama, adegan sudah menyeramkan. Pasangan di kanan kiri mereka telah layu bak dua tangkai bunga yang saling bersandar. Tapi Dijah masih duduk santai dengan popcornnya. Bahkan tangannya pun tak bisa digenggam oleh Bara.

Mereka duduk di urutan paling atas yang sepasang sofanya tak memiliki batas. Wanita normal lainnya pasti akan menyandarkan tubuhnya dalam lima menit pertama di kegelapan itu.

Dan adegan mengerikan kemudian muncul, scoring film horor yang memekakkan telinga baru saja mengejutkan Bara. Tapi Dijah tetap santai menonton film.

Hidup Dijah sudah horor dalam kenyataan yang sebenarnya, dan ia tak menjerit atau bahkan menangis. Maka film seperti itu tak ada pengaruh baginya.

"Jah..." bisik Bara di telinga wanita itu.

"Hmmm..." sahut Dijah menoleh. Wajah mereka hanya berjarak satu senti. Bara langsung mencium bibir Dijah. Ia menarik wanita itu ke dalam pelukannya. Dalam dinginnya studio bioskop, ciuman itu dengan cepat membangkitkan sesuatu pada diri Bara.

Dijah tadi masih mengunyah dan ia langsung meraup bibir wanita itu. Bara bisa merasakan pecahan berondong jagung di permukaan bibirnya yang sedang melahap bibir mungil Dijah.

Ciuman di bioskop yang sudah bertahun-tahun tak dilakukannya kini terulang kembali. Bara seperti mengulang kelicikannya dengan mengajak seorang wanita ke bioskop hanya demi sebuah ciuman.

Bara mengutuk kelicikannya itu. Ia merasa seperti sedang memperalat Dijah. Tapi ia tak bisa menahan dirinya. Dan ciuman di bioskop itu tak hanya sekedar ciuman saja. Bara mengambil kesempatan memijat dada Dijah yang terbungkus di balik jaketnya.

Meski tangan Dijah tergeletak kaku di atas pahanya, tapi wanita itu tak menolak. Bara percaya diri. Dijah juga menyukai ciumannya.

To Be Continued.....

1
echa purin
👍🏻
lily
nah gitu stlh nikah langsung bsa nempatin rumh baru
lily
akhirnya wisuda juga ya bar
lily
pak Wirya dosen psikolog jdi tau pasti harus bagaimana menyikapi sudah sepatutnya seperti ini , tapi memang pak Wirya ayah yg bijaksana terlepas dari embel2 dosen dll
lily
nangis ke sekian kali,,, Dijah
lily
tiba tiba nangisin dijah
lily
deg serrrr
lily
tpi emang bner ada kok bapak model gni, ibu model morotin anak juga ada,,, gak penting anak mau pulang apa kagak yg penting duwitnya ,,,,
lily
kelakuan tini 🤣🤣
lily
🤣🤣🤣kelakuan tini
lily
tini ngerti amat sih
lily
aku ngajak banget,, biasanya yang bilang astaga, itu si bara skrng si Tini hahaha
lily
bijak amat pak Wirya
lily
kamvret 😂
lily
tini ih harus di sensor itu wkwkwk
lily
bara dih ceplos amat wkwkw
Wandi Fajar Ekoprasetyo
ayo bude Tini...... bantai nih laki²
Hani Hanifah
pernah di posisi ini, saat kami ngotot berharap punya anak kedua, ga dikasih aja, saat 6 tahun berlalu, dan kami berdua sudah pasrah, ALLAH kasih kehamilan yang tak diduga bahkan saya minum obat warung abis 2 strip karena badan merasa demam dan kepala pusing, tapi klo ALLAH sudah berkehendak janin pun tetap tumbuh kuat di dalam rahim. sekarang anak kedua saya udah 8 tahun😇.
Hani Hanifah
Dijah mah wonder woman, cuma kaleng doang mah cetek...sekali pukul langsung gepeng..😂
Wandi Fajar Ekoprasetyo
ternyata kebiasaan Bara(astaga)tuh awalnya dr cerita ini ya
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!