NovelToon NovelToon
KARENA MEMBUKA MATA BATIN

KARENA MEMBUKA MATA BATIN

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Iblis / Mata Batin / Kutukan / Tumbal
Popularitas:1.8k
Nilai: 5
Nama Author: Archiemorarty

JANGAN ABAIKAN PERINGATAN!

Sadewa, putra seorang pejabat kota Bandung, tak pernah percaya pada hal-hal mistis. Hingga suatu hari dia kalah taruhan dan dipaksa teman-temannya membuka mata batin lewat seorang dukun di kampung.

Awalnya tak terjadi apa-apa, sampai seminggu kemudian dunia Dewa berubah, bayangan-bayangan menyeramkan mulai menghantui langkahnya. Teror dan ketakutan ia rasakan setiap saat bahkan saat tidur sekali pun.

Sampai dimana Dewa menemukan kebenaran dalam keluarganya, dimana keluarganya menyimpan perjanjian gelap dengan iblis. Dan Dewa menemukan fakta yang menyakiti hatinya.

Fakta apa yang Dewa ketahui dalam keluarganya? Sanggupkah dia menjalani harinya dengan segala teror dan ketakutan?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 11. WADAH

Malam itu seakan tak pernah berhenti berbisik. Angin merayap melalui sela-sela jendela kamar Sadewa, membawa aroma getir tanah basah dan entah apa lagi yang terasa asing. Arsel dan Tama duduk berhadapan, membicarakan sesuatu yang membuat wajah keduanya serius. Sadewa yang duduk di ujung memeluk lututnya, memerhatikan tanpa berani menyela. Retno, sang ibu, duduk di samping ketiga anaknya yang tampak tegang.

Namun, bahkan sebelum pelukan Retno mampu memberi sedikit rasa aman, tiba-tiba hawa kamar berubah. Udara mendadak dingin menggigit, menusuk hingga ke tulang. Lampu yang semula terang berkelip-kelip, berdenyut seperti detak jantung yang tak teratur.

"Kalian merasakannya?" tanya Dian, suaranya bergetar.

Dinding kamar mendadak bergetar perlahan. Awalnya seperti getaran kecil, namun kian lama semakin terasa seolah bumi di bawah rumah itu bergejolak. Jendela berderak, tirai berkibar liar meski tak ada angin. Dari langit-langit, suara berderit terdengar seperti langkah kaki yang merayap di antara kayu.

Sadewa menutup telinganya, wajahnya pucat pasi. "Mereka ... mereka datang lagi!"

Naras berdiri tegap, meski jelas terlihat matanya dipenuhi ketakutan. "Apa-apaan ini?! Rumah seperti mau runtuh!"

Arsel dengan cepat membuat lingkaran besar dengan garam yang sudah ia siapkan sejak datang ke rumah ini.

Tama segera merentangkan tangannya. "Tetap tenang! Semua tetap di dalam lingkaran yang sudah dibuat Arsel. Jangan keluar dari sini!"

Arsel berdiri, matanya menajam seolah menatap sesuatu yang tak terlihat orang biasa. "Pagar gaib yang kupasang memang menahan mereka ... tapi jumlah mereka terlalu banyak. Mereka mengepung rumah ini."

Lampu mendadak padam, menyisakan kegelapan total. Hanya suara napas panik dan detak jantung masing-masing yang terdengar. Lalu, tiba-tiba lampu menyala kembali, namun bukan dengan cahaya terang, melainkan redup kehijauan, seperti ada selaput kabut menyelubungi. Bayangan di dinding bergerak sendiri, meliuk, meski tak ada yang bergerak di dalam ruangan.

Retno menjerit kecil, menutup mulutnya agar tidak semakin panik. Dian berpegangan erat pada tangan kakaknya, Naras, yang berusaha tetap tegak meski wajahnya pucat.

Sadewa gemetar hebat. Ia merasakan hawa dingin mengusap kulitnya, seperti jari-jari tak kasat mata yang berusaha meraba.

"Arsel ... mereka ... mereka ingin aku ...," suara Sadewa tercekat, napasnya memburu.

Arsel menoleh cepat. "Dewa, jangan biarkan rasa takutmu menguasaimu. Itu yang mereka inginkan. Pegang kata-kataku: kau manusia, makhluk paling sempurna yang diciptakan Tuhan. Hanya Tuhan yang pantas ditakuti."

Namun, suara-suara mulai bermunculan. Dari luar jendela terdengar bisikan. Lembut, berulang, namun semakin lama semakin keras hingga menyerupai ratapan bercampur tawa.

Saa ... deee ... waaa ....

Retno menutup telinga anaknya dengan kedua tangan, namun suara itu tetap terdengar di dalam kepala.

"Kita harus tahu apa tujuan mereka." Arsel menatap Tama, kemudian menarik napas dalam. "Aku akan lakukan rogo sukmo. Aku akan keluar dari tubuh, menemui mereka, dan bertanya langsung."

Tama segera mengangguk. "Aku akan menjaga tubuhmu di sini. Kalian semua jangan tinggalkan lingkaran ini apa pun yang terjadi."

Arsel duduk bersila di lantai, menutup mata, dan mulai merapal doa lirih. Suara detak jantung semua orang di ruangan itu terasa seirama dengan desah napas Arsel yang kian dalam. Udara semakin berat. Tiba-tiba tubuh Arsel bergetar, lalu perlahan tubuhnya lunglai, kepalanya jatuh ke depan.

"Dia sudah keluar," bisik Tama.

Di luar rumah, suasana menjadi jauh lebih mencekam. Arsel yang dalam wujud rohnya melihat pemandangan yang membuat dadanya sesak. Puluhan, bahkan ratusan makhluk tak kasat mata mengerubungi rumah Sadewa. Wujud mereka beragam, dari bayangan hitam besar dengan mata merah membara, hingga sosok-sosok menyerupai manusia namun dengan wajah terdistorsi, mulut robek lebar, dan tangan panjang mencakar tanah.

Di antara kerumunan itu, berdiri satu makhluk yang paling besar. Tubuhnya setinggi pohon kelapa, hitam pekat, kulitnya seperti arang yang membara di beberapa bagian. Kepalanya menyerupai tengkorak dengan dua tanduk melengkung ke belakang, dan matanya seperti bara neraka. Suara napasnya berat, bergemuruh, setiap hembusan bagai angin kering dari padang kematian.

Arsel menatapnya dengan keberanian yang tersisa. "Kenapa kalian semua datang ke sini? Apa mau kalian dari anak itu?"

Makhluk besar itu maju selangkah. Tanah bergetar di setiap pijakannya. Suaranya dalam, serak, bergema di telinga Arsel.

"Tubuh itu," katanya sambil menunjuk rumah tempat Sadewa berada. "Tubuh itu adalah wadah sempurna. Tidak ada cacat. Tidak ada retakan. Ia memiliki tanda dari dimensi kami."

Arsel mengerutkan kening. "Tanda? Tanda apa maksudmu?"

Makhluk itu tertawa rendah, suara tawanya mengguncang udara. "Tanda yang diberikan oleh pemanggil kami. Dengan tanda itu, tubuh bocah itu adalah pintu. Jika salah satu dari kami berhasil masuk dan mengambil alih ... maka dia akan menjadi penguasa dua dunia. Dunia kalian dan dunia kami."

Arsel merasakan bulu kuduknya berdiri. Tubuhnya merinding meski ia sedang dalam wujud sukma. "Jadi, tujuan kalian hanya satu. Menguasai tubuh Sadewa?"

"Benar." Makhluk itu menunduk, matanya menyala semakin terang. "Anak itu akan menjadi raja kami, tubuhnya untuk kami, jiwanya milik Beliau."

"Beliau? Siapa?" tanya Arsel.

"Tidak boleh disebutkan atau kami akan musnah di tangannya," jawab makhluk itu.

Di dalam kamar, tubuh Arsel masih terkulai dengan mata terpejam, sementara napasnya teratur namun berat. Retno berulang kali menoleh cemas, takut sesuatu yang buruk terjadi pada pria muda itu.

"Apa dia baik-baik saja?" suara Retno bergetar.

Tama mengangguk, meski matanya tak lepas dari tubuh Arsel. "Dia sedang menghadapi mereka di luar. Kita hanya bisa menunggu dan tetap berada di lingkaran."

Sadewa menggigil, kepalanya menunduk di pangkuan ibunya. "Aku takut, Bu. Aku takut mereka masuk."

"Nggak, Nak, nggak," Retno mengusap rambut Sadewa, meski hatinya sendiri terasa ingin pecah. "Kamu aman di sini. Selama Arsel dan Tama ada, nggak akan ada yang bisa menyentuhmu."

Namun keyakinan itu runtuh seiring dengan bunyi dentuman keras dari arah dinding. Seperti sesuatu menghantam dengan tenaga raksasa. Lalu terdengar bunyi goresan panjang, cakar yang menggaruk dinding kayu dari luar.

Goresan itu terus berpindah, dari jendela, ke pintu, lalu ke atap. Suara yang menyerupai dengusan binatang bercampur ratapan bayi menggema bersahutan. Dian berteriak kecil, segera menutup mulut dengan tangan agar tak semakin panik.

Naras memeluk adiknya, berusaha memberi kekuatan meski tubuhnya sendiri gemetar.

"Jangan takut, jangan takut ... itu cuma suara. Ada Abang di sini, Wa," kata Naras, meski dirinya pun tak percaya. Pertama kali melihat hal seperti ini.

Lampu kembali berkedip. Lantai bergetar lebih kuat, hingga gelas air di meja kecil jatuh dan pecah berderai. Dari pecahan itu, Sadewa menatap bayangannya sendiri, namun bayangan itu tersenyum padanya, padahal wajah Dewa tidak.

"Aaa!" Sadewa terlonjak mundur, menjerit.

Retno melihatnya juga. Bayangan itu bergerak terlambat, matanya hitam legam, mulutnya terbuka lebar memperlihatkan gigi runcing. Bayangan itu merangkak di permukaan pecahan kaca, seolah hendak keluar.

Tama segera menancapkan sebilah keris kecil ke lantai di dekat kaca itu sambil merapal doa. Seketika bayangan itu lenyap, hanya menyisakan retakan kaca biasa.

"Semakin lama mereka semakin kuat," gumam Tama. "Pagar gaib ini ditekan dari segala arah."

Di dunia rogo sukmo, Arsel berdiri tegap meski rasa ngeri hampir melumpuhkan. Ia memandang makhluk besar itu dengan sorot penuh perlawanan.

"Kalau begitu, dengar baik-baik. Tubuh anak itu nggak akan kalian sentuh," kata Arsel.

Tawa rendah makhluk itu bergema. "Kau hanya roh fana yang berani menantang kami? Lihatlah!"

Makhluk itu mengangkat tangannya, dan seketika ratusan sosok di sekitarnya meraung bersamaan. Mereka menabrak pagar gaib yang tampak seperti kubah cahaya mengelilingi rumah. Setiap kali mereka menubruk, kubah itu bergetar, retakan kecil muncul seperti kaca yang nyaris pecah.

Arsel bisa merasakan energi yang ia tinggalkan di dalam pagar itu terkuras cepat. Jika terus berlanjut, pagar itu akan runtuh.

"Apa yang sebenarnya kalian inginkan dari dunia kami?" tanya Arsel dengan suara lantang, mencoba mengulur waktu.

Makhluk itu menunduk, wajahnya mendekat hingga napas panasnya menerpa. "Kalian hanyalah ladang kosong. Tubuh-tubuh kalian rapuh, namun jiwa kalian. Oh, jiwa kalian adalah bahan bakar. Tubuh anak itu berbeda, dia telah ditandai. Itu pintu agar salah satu dari kami bisa hidup abadi di dunia kalian. Dan sekali pintu itu terbuka, pasukan kami akan membanjiri dunia ini. Dan Yang Agung akan menguasai bumi dalam kegelapan abadi."

Arsel mengepalkan tangan. "Kau ingin menjadikan Sadewa jembatan."

"Bukan sekadar jembatan," sahut makhluk itu dengan senyum mengerikan. " Dia adalah takhta. Tubuhnya wadah sempurna. Kau tidak bisa melindunginya selamanya."

Di dalam kamar, Sadewa tiba-tiba tercekik. Ia memegangi lehernya, matanya terbelalak.

Retno menjerit panik."Dewa! Ada apa denganmu?!

Sadewa terbatuk keras, wajahnya memerah, seolah ada tangan tak terlihat yang mencekik. Dian mencoba menolong, namun tangannya terhempas oleh energi tak kasat mata.

"Pegang dia!" teriak Tama. Ia segera menempelkan telapak tangannya ke dada Sadewa sambil berdoa, mendorong energi pelindung. Perlahan Sadewa bisa bernapas lagi, meski tubuhnya lemas.

"Aku ... aku dengar mereka," Sadewa terisak, matanya berair. "Mereka bilang mereka ingin tubuhku. Mereka bilang aku milik mereka!"

Suasana ruangan kian kacau. Dinding bergemuruh, jendela bergetar seperti akan pecah, dan cahaya lampu berubah menjadi merah padam-hidup, bagai aliran darah yang dipompa.

Retno memeluk anaknya erat, air matanya jatuh tanpa bisa ditahan. "Tidak, kamu bukan milik siapa-siapa, Nak. Dewa anak ibu. Kamu milik Yang Kuasa."

Naras menatap Retno dan adiknya dengan rasa tak berdaya. Ia ingin menolong, namun hanya bisa berdiri di dalam lingkaran perlindungan, menyaksikan rumah mereka dihantam gelombang kegelapan yang tak terlihat.

Tama menggertakkan gigi, lalu menoleh ke tubuh Arsel yang masih terpejam. "Cepatlah kembali, Arsel. Kami butuh kamu sekarang!"

Sementara itu, di luar, Arsel mencoba mengumpulkan kekuatan. Ia menatap makhluk besar itu dengan tekad yang semakin mengeras.

"Kalau kau ingin tubuh Sadewa, kau harus melewati aku terlebih dahulu."

Makhluk itu menyeringai, lalu membuka mulutnya lebar-lebar. Dari mulutnya keluar suara raungan panjang, disertai semburan asap hitam pekat yang berputar bagai pusaran. Asap itu bergerak menuju Arsel, dingin seperti kematian, tajam seperti ribuan jarum menusuk sukma.

Arsel menutup mata sejenak, lalu merapal doa dalam hatinya. Cahaya keemasan meledak dari tubuh rohnya, menangkis pusaran asap itu. Makhluk-makhluk di sekitarnya meraung kesakitan, beberapa jatuh ke tanah, tubuh mereka terurai menjadi kabut.

Namun makhluk besar itu hanya tertawa. "Kau kuat, manusia. Tapi ingat, pagar gaibmu rapuh. Kami tidak perlu mengalahkanmu. Kami hanya perlu menunggu hingga rasa takut anak itu membuka pintunya sendiri."

Ucapan itu menancap di benak Arsel. Ia tahu, ancaman terbesar bukanlah serangan mereka, melainkan Sadewa sendiri, ketakutannya adalah kunci.

Arsel menatap rumah yang bergetar hebat, lalu menoleh lagi pada makhluk itu. "Selama aku berdiri di sini, kalian tak akan masuk. Aku bersumpah."

Makhluk itu menyipitkan mata, lalu tertawa lirih. "Kami bisa menunggu. Kami punya waktu ... kau tidak. Dimensi ini bukan duniamu. Kau terbatas di sini."

Sial! umpat Arsel kesal karena apa yang dikatakan makhluk itu benar. Dimensi astral sama halnya lautan, bukan dunianya manusia. Ada batasan dan juga kematian jika menyelam terlalu jauh.

Arsel semakin panik saat pagar tak kasat mata milik Tama mulai retak dan ada beberapa yang telah masuk ke rumah. Bersamaan dengan itu terdengar teriakan dari milik Retno.

1
Deyuni12
Arsel 🥺
Deyuni12
lanjuuuuuut
Deyuni12
semakin menegangkan
Miss Typo
semangat kalian bertiga, semoga bisa 💪
Miss Typo: baru 2 bab 😁✌️
total 1 replies
Deyuni12
lagi akh 😅😅
Miss Typo
kok aku jadi terhura nangis lagi nangis mulu 😭
Deyuni12
lagiiiiiii
Deyuni12
ada kabut apa sebenarnya d keluarga dewa sebelumnya,masih teka teki n masih samar,belum jelas apa yg terjadi sebetulnya.
ikutan emosi,kalut,takut n apa y,gtu lah pokoknya mah
Deyuni12: kasih tau aku y kalo udah ketahuan 😄
total 2 replies
Deyuni12
orang yg tidak d harapkan malah pulang, hadeeeh
Archiemorarty: Ndak kok /Slight/
total 3 replies
Miss Typo
belum tau siapa orang yg bikin Dewa jadi tumbal, dari awal aku pikir ayahnya tapi dia gak percaya hal begituan, atau kakek neneknya dulu atau siapa ya??? 😁
Miss Typo: masih mikir 😁
total 2 replies
Miss Typo
saat kayak gitu malah ayahnya mlh pulang ke rumah, bikin geram aja tuh orang 😤
Miss Typo: geram sm ayahnya Dewa 😤
total 2 replies
Deyuni12
bacanya menguji adrenalin
Deyuni12
semangat dewa
Deyuni12
huaaa
ternyata bener kn jadi tumbal
Deyuni12: hayoo sama siapa hayooo
total 2 replies
Deyuni12
masa iya dewa d jadikan tumbal sama leluhurnya..hm
Deyuni12
what!!!
kenapa si dewa ini
Deyuni12: hayooo othor,kamu apain itu dewaaaa
total 2 replies
Miss Typo
tiap baca tegang tapi juga penasaran,,, semangat Dewa Arsen dan Tama
Miss Typo
semoga kamu kuat kamu bisa Dewa bersama Arsen dan Tama
Miss Typo
kuat Sadewa kuat, kamu pasti bisa
Miss Typo
dari awal dah menduga jadi tumbal tapi okeh siapa?
apa ayahnya Dewa???
Miss Typo: kalau othor mh jelas nulis banyak, sedangkan diriku komen dikit aja typo mulu, makanya nama disini Miss Typo hehe
total 7 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!