Aliza terpaksa harus menikah dengan seorang Tuan Muda yang terkenal kejam dan dingin demi melunasi hutang-hutang ibunya. Dapatkah Aliza bertahan dan merebut hati Tuan Muda, atau sebaliknya Aliza akan hidup menderita di bawah kurungan Tuan Muda belum lagi dengan ibu mertua dan ipar yang toxic. Saksikan ceritanya hanya di Novelton
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RaHida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26 # Bertemu di Butik
Setelah berbincang dengan Kayla, Aliza turun ke bawah untuk melihat pakaian yang tersisa di ruang pajang. Aroma lembut parfum ruangan bercampur dengan wangi kain baru menyambut langkahnya. Beberapa pakaian tampak sudah terjual, meninggalkan hanya beberapa potong yang masih tergantung rapi di gantungan.
Ia berjalan perlahan, menyusuri deretan gaun yang tersisa. Jari-jarinya menyentuh lembut bahan sifon biru muda yang menjadi favorit pelanggan minggu lalu.
Tak lama kemudian, seorang pegawai butik menghampiri dengan wajah sumringah.
“Bu Aliza, ada pelanggan tadi yang mencari gaun pesta warna krem. Katanya akan kembali sore nanti,” ucapnya.
Aliza mengangguk lembut. “Baik, siapkan beberapa pilihan dari koleksi baru. Pastikan ukurannya lengkap, ya. Aku ingin pelanggan itu merasa puas.”
Pegawai itu segera berlalu, meninggalkan Aliza yang kini menatap etalase kaca di depan butik.
Aliza menatap pajangan butik yang mulai tampak sepi. Dari sekian banyak pakaian yang pernah ia rancang, hanya tersisa beberapa potong yang belum terjual. Hatinya terasa campur aduk antara lega dan khawatir.
“Sepertinya aku harus menambah koleksi terbaru,” ucapnya pelan sambil menghela napas. “Dan… aku juga harus segera meluncurkan produk perhiasan yang sudah lama ingin aku buat.”
Ia membayangkan desain-desain perhiasan yang selama ini hanya tersimpan di dalam buku sketsanya — anting dengan detail kelopak bunga, kalung dengan sentuhan batu alam yang elegan. Semuanya tampak indah dalam pikirannya, namun ia tahu, untuk mewujudkannya butuh dana yang tidak sedikit.
“Tapi… aku harus mencari klien yang mau menanamkan saham,” lanjutnya dalam hati. “Modal untuk produksi perhiasan tidak kecil, aku butuh seseorang yang bisa dipercaya.”
Aliza kemudian duduk di kursi dekat meja kasir, menatap layar laptopnya yang masih terbuka. Di sana, tercatat data penjualan butik yang terus naik sejak tiga bulan terakhir. Itu cukup menjadi alasan baginya untuk melangkah lebih jauh.
Matanya menatap ke luar jendela, menembus cahaya sore yang mulai redup. “Aku akan wujudkan ini,” bisiknya yakin. “Butik ini akan punya lini perhiasan sendiri… dan nama Aliza akan semakin dikenal.”
Saat Aliza sibuk menatap layar laptop, memeriksa data penjualan dan mencatat ide-ide baru untuk lini perhiasannya, suara derap langkah sepatu berhak tinggi terdengar dari arah pintu. Dua wanita masuk dengan gaya angkuh dan wajah yang dipenuhi rasa percaya diri berlebihan.
Salah satu dari mereka mengenakan gaun mahal berwarna merah marun dengan tas bermerek menggantung di lengannya — dialah Clara. Di sampingnya berdiri Nyonya Claudia, wanita paruh baya yang selalu menatap siapa pun seolah berada di bawah derajatnya.
Seorang pelayan butik segera menghampiri mereka dengan senyum ramah, meski terlihat gugup.
“Selamat siang, Nyonya. Ada yang bisa saya bantu?” tanyanya sopan.
"Saya ingin mencari baju keluaran terbaru di butik ini,” ucap Nyonya Claudia dengan nada tinggi, matanya menelusuri setiap sudut butik seolah menilai kualitasnya.
“Mari, saya antar Nyonya ke ruang koleksi baru,” sahut pelayan butik dengan sopan sambil sedikit membungkuk. Ia berbalik hendak memimpin jalan, namun langkahnya terhenti ketika mendengar suara Clara.
“Saya ingin dilayani oleh dia,” ujar Clara sambil menunjuk ke arah meja kasir, tempat Aliza duduk. Suaranya lembut namun mengandung nada penuh tantangan.
Pelayan itu terdiam sejenak, menatap Clara dengan ragu. Ia menelan ludah sebelum akhirnya berkata dengan sopan,
“Maaf, Nona… dia adalah owner butik ini.”
Clara dan Nyonya Claudia saling berpandangan, lalu tertawa keras, tanpa sedikit pun berusaha menahan diri.
“Owner?” ulang Clara dengan nada mengejek. “Kau bercanda, kan?”
Nyonya Claudia ikut menimpali, menatap Aliza dari ujung kepala hingga kaki dengan tatapan merendahkan.
“Bagaimana mungkin wanita kampungan dan miskin seperti dia bisa memiliki butik semewah ini?” katanya dengan tawa mengejek yang menusuk hati.
Beberapa pegawai butik tampak saling berpandangan, tak berani bicara. Hanya Aliza yang berdiri tegak, menatap dua wanita itu dengan mata tenang namun penuh wibawa.
Aliza menghampiri mereka dengan langkah tenang, menahan setiap emosi yang bergolak di dadanya. Senyum profesional tetap ia pertahankan di wajahnya, meski hatinya terasa perih oleh ejekan yang baru saja terdengar.
“Vika,” ucap Aliza lembut namun tegas, menatap pelayannya yang masih berdiri kaku di antara mereka, “kamu bisa kembali bekerja. Biar saya yang melayani Nyonya dan Nona ini.”
“Tapi, Bu…” sahut Vika dengan suara pelan, matanya menunjukkan kekhawatiran.
Aliza menatapnya sejenak — tatapan yang cukup untuk memberi isyarat agar Vika tidak melawan. Dengan memainkan matanya sedikit, Aliza memberi tanda halus. Vika segera mengangguk dan berlalu, meski jelas terlihat ia enggan meninggalkan majikannya sendirian menghadapi dua wanita itu.
Setelah Vika pergi, Aliza kembali memfokuskan pandangannya pada tamunya.
“Mari, Nona. Nyonya,” ucapnya sopan dengan senyum profesional yang tak goyah sedikit pun. “Saya akan antarkan Anda untuk melihat koleksi terbaru dari butik kami.”
Aliza membawa Clara dan Nyonya Claudia menuju area koleksi terbaru. Ruangan itu ditata dengan sangat rapi dan mewah — pencahayaan lembut, aroma bunga segar, serta deretan gaun elegan yang menggantung di gantungan kristal. Setiap potongan busana tampak memancarkan kemewahan tersendiri, hasil dari ketelitian dan rasa seni Aliza dalam merancangnya.
Clara melangkah dengan wajah antusias, matanya berbinar saat melihat setiap gaun yang dipajang. Ia menyentuh satu demi satu bahan pakaian yang halus dan berkilau, lalu menoleh ke arah label harga yang tertera.
“Harganya… fantastis juga,” gumam Clara sambil tersenyum miring. “Mama, sepertinya aku tidak jadi membeli baju di sini. Semuanya terlalu mahal.”
Nyonya Claudia menatapnya sekilas, lalu tersenyum penuh kebanggaan. “Ambillah sesukamu, Clara. Mama yang akan membayar,” ucapnya sambil menatap Aliza dengan pandangan menantang. Ia menambahkan dengan nada yang disengaja keras, “Lagipula, untuk calon menantu mama, harga bukanlah masalah.”
Namun, ia tidak menunjukkan keterkejutannya sedikit pun. Dengan tenang ia melangkah lebih dekat, tangannya mengambil salah satu gaun dari rak.
“Gaun ini termasuk koleksi limited edition,” ucap Aliza profesional. “Dibuat dengan bahan sutra impor dan bordiran tangan. Desainnya hanya ada tiga di seluruh Indonesia dan ini tinggal satu lagi.”
Clara menatap gaun itu dengan ekspresi ragu, lalu tersenyum kecil. “Hm, indah… tapi entahlah, mungkin terlalu elegan untukku,” ucapnya sambil tertawa pelan.
Aliza tersenyum tipis. “Justru karena terlalu eleganlah, Nona Clara, tidak semua orang bisa pantas mengenakannya.”
Ucapan itu membuat suasana di antara mereka mendadak hening. Senyum di wajah Clara perlahan memudar, sementara Nyonya Claudia hanya menatap tajam, tak menyangka Aliza mampu membalas dengan kata-kata yang halus namun tajam seperti belati.
Apakah kamu suka, Clara?” tanya Nyonya Claudia sambil menatap gaun yang masih digenggam Aliza.
Clara hanya mengangguk pelan, bibirnya menampilkan senyum manis yang samar.
“Kalau begitu, ambillah untukmu,” ucap Nyonya Claudia ringan, seolah membeli gaun semahal itu bukanlah hal besar baginya.
Clara berpura-pura ragu. “Tapi, Ma… aku tidak enak dengan Aliza,” katanya dengan nada lembut namun sarat sindiran. Matanya melirik ke arah Aliza yang masih berdiri di depan mereka dengan tenang. “Seharusnya Mama membelinya untuk Aliza, bukan aku.”
Sekilas, Aliza mengangkat pandangannya, sedikit terkejut mendengar nada lembut itu — namun sebelum ia sempat berkata apa pun, Clara melanjutkan dengan senyum licik di sudut bibirnya.
“Lagipula… dia tidak pantas memakai baju semewah ini. Ia lebih cocok memakai baju yang dibeli di pasar. ujar Nyonya Claudia ”
Pelayan butik yang berdiri di sudut ruangan tampak menahan napas, menatap Aliza dengan cemas. Namun Aliza tetap berdiri tegak, menatap Clara dengan mata tenang yang kini berkilat tajam.
“Terima kasih atas perhatiannya, Nona Clara,” ucap Aliza dengan suara lembut tapi berwibawa. “Tapi saya tidak perlu siapa pun membelikan pakaian untuk saya. Semua yang ada di butik ini… adalah hasil kerja tangan saya sendiri.”
Clara sempat terdiam sejenak, tidak menyangka Aliza akan menjawab dengan setenang itu. Senyumnya perlahan pudar, berganti dengan tatapan yang menyiratkan amarah dan gengsi yang tersentuh.
"Hasil kerja tanganmu?” ulang Nyonya Claudia dengan nada mencibir, matanya menyipit menatap Aliza dari ujung kepala hingga kaki. “Kamu jangan bermimpi, Aliza. Kamu hanya wanita kampungan. Tidak mungkin kamu memiliki keahlian seperti ini.”
Ia tertawa kecil, suaranya terdengar tajam menusuk telinga. “Kamu pikir siapa yang mau percaya kalau butik semewah ini hasil dari kerja tanganmu? Sudahlah, jangan mengada-ada. Aku tahu betul siapa kamu… hanya seorang kasir.”
Aliza menatap Nyonya Claudia dengan tenang, lalu menarik napas pelan sebelum berbicara.
“Saya tidak perlu pengakuan Anda, Nyonya,” ucapnya dengan suara lembut namun tegas. “Dan saya juga tidak peduli Anda menganggap saya hanya seorang kasir.”
Tatapannya tidak goyah sedikit pun. Ia berbicara dengan tenang, tanpa nada tinggi, tapi setiap katanya terasa berat dan berisi.
“Saya hanya ingin satu hal,” lanjutnya. “Semua yang ada di sini bisa terjual. Karena bagi saya, hasil kerja keras bukan untuk dibanggakan di depan orang yang meremehkan, tapi untuk dibuktikan lewat keberhasilan.”
Clara terdiam, senyum sinis di wajahnya perlahan memudar. Nyonya Claudia menatap Aliza dengan pandangan tajam, namun tidak menemukan celah untuk membalas. Aura percaya diri dan ketegasan Aliza membuatnya tampak lebih berkelas dari siapa pun di ruangan itu.
Aliza lalu menunduk sedikit, menunjukkan sopan santun yang tetap ia jaga meski sedang direndahkan.
“Jika Nyonya dan Nona ingin melihat koleksi lain, saya akan dengan senang hati menunjukkan. Tapi jika hanya datang untuk menilai siapa yang pantas atau tidak… butik ini bukan tempat untuk itu.”
“Kamu menyepelekan saya, Aliza,” ucap Nyonya Claudia dengan nada tinggi, wajahnya mulai memerah karena gengsi yang tersentuh. “Kalau begitu, saya akan membeli semua barang yang ada di butik ini!”
Beberapa pegawai butik terbelalak kaget, sementara Clara menatap Nyonya Claudia dengan sedikit heran. Suasana butik seketika berubah hening — semua mata kini tertuju pada mereka.
Aliza, yang berdiri di hadapan mereka, hanya tersenyum tenang. Tidak ada kepanikan, tidak pula kesombongan.
“Baik, Nyonya,” ucapnya lembut namun penuh wibawa. “Jika itu keputusan Anda, saya akan segera membungkus semua pakaian yang ada di butik ini untuk Anda.”
Ia menoleh ke arah para pegawai yang masih berdiri terpaku. “Kalian dengar,” katanya dengan nada datar namun tegas. “Siapkan semua koleksi di ruang pajang. Bungkus dengan rapi dan pastikan setiap item terdata.”
“Ba—baik, Bu,” jawab para pegawai hampir serempak, segera bergegas menuju deretan pakaian. Suara gantungan dan lipatan kain mulai terdengar memenuhi ruangan.
Aliza lalu berbalik kembali kepada Nyonya Claudia. “Silakan menunggu di sofa, Nyonya,” katanya sopan. “Kami akan segera menyiapkan semuanya. Untuk transaksi sebesar ini, kami akan memastikan setiap barang Anda dapatkan dalam kondisi terbaik.”
Nada suaranya terdengar halus, tapi di balik ketenangan itu tersirat keyakinan dan kecerdasan. Ia tahu — pembelian impulsif seperti itu hanya lahir dari amarah dan gengsi, bukan kebutuhan.
Clara menatap ibunya cemas. “Mama… apa Mama yakin mau membeli semuanya?” bisiknya pelan.
Namun Nyonya Claudia menjawab dengan suara keras agar semua orang mendengar.
“Tentu saja! Aku ingin butik murahan ini tahu siapa yang berkuasa!”
Aliza menatapnya sekilas, senyum kecil masih tersisa di sudut bibirnya. “Tentu, Nyonya,” ujarnya tenang. “Kami selalu menghargai pelanggan besar seperti Anda. Tapi satu hal—setelah barang dibungkus, kami tidak menerima pembatalan atau pengembalian dalam bentuk apa pun.”
Kalimat itu membuat beberapa pegawai nyaris menahan senyum. Sementara Nyonya Claudia terdiam sesaat, menyadari bahwa gengsinya baru saja menjerat dirinya sendiri.
Setelah semua pakaian di butik selesai dibungkus, suasana ruangan dipenuhi aroma kain baru dan suara lembut pegawai yang menata puluhan kotak belanjaan di meja kasir. Aliza berdiri tegak di balik meja, wajahnya tetap tenang meski di dalam hatinya ia tahu, ini bukan sekadar transaksi — ini pertarungan harga diri.
“Semua sudah selesai, Bu,” ucap salah satu pegawai dengan nada gugup.
Aliza mengangguk pelan, lalu menatap Nyonya Claudia dengan sopan. “Total keseluruhan pembelian Anda adalah sepuluh miliar rupiah, Nyonya.”
Seketika suasana butik hening. Beberapa pegawai menatap satu sama lain, kaget mendengar jumlah sebesar itu. Namun Aliza menyampaikannya dengan nada datar, seolah angka itu bukan sesuatu yang luar biasa.
Nyonya Claudia tersenyum angkuh. “Sepuluh miliar? Jumlah kecil untuk saya,” ucapnya dengan nada meremehkan. Ia membuka tas mewahnya, mengeluarkan black card berlogo elegan — kartu yang sama dengan yang pernah diberikan sekretaris Mark kepada Aliza tempo dulu.
Dengan gerakan anggun namun sombong, Nyonya Claudia menyerahkan kartu itu. “Gesek saja,” katanya.
Aliza menerimanya tanpa ekspresi, lalu menyerahkannya kepada kasir. Hanya satu kali gesekan — beep! — dan transaksi pun berhasil.
“Transaksi berhasil, Nyonya,” ucap kasir dengan suara pelan namun tegas.
Aliza menatap layar mesin kasir yang menampilkan jumlah akhir, lalu tersenyum tipis. Ia menunduk sedikit sebagai bentuk sopan santun profesional.
“Terima kasih, Nyonya, sudah membeli semua produk kami,” ucapnya. “Kami sangat menghargai kepercayaan Anda terhadap butik ini.”
Nyonya Claudia hanya membuang muka dengan angkuh, menatap ke arah deretan kotak belanjaan yang kini memenuhi meja. “Semua barang ini untukmu, Clara,” katanya datar.
Clara menatap tumpukan belanjaan itu, lalu tersenyum — senyum sinis yang jelas ditujukan pada Aliza.
“Terima kasih, Mama,” ujarnya lembut, lalu menatap Aliza dengan tatapan tajam penuh kesombongan. “Setidaknya sekarang, butik ini punya pelanggan yang benar-benar berkelas.”
Aliza hanya tersenyum kecil. Tatapannya tak menunjukkan marah, tapi ada kilatan tajam di matanya yang membuat Clara seolah kehilangan rasa menangnya.
“Selamat, Nona Clara,” ucap Aliza tenang. “Semoga Anda mengenakan semua pakaian ini dengan percaya diri yang sama… seperti saat membelinya.”
Senyum di wajah Clara perlahan memudar. Sekali lagi, Aliza berhasil membalas tanpa perlu meninggikan suara — hanya dengan ketenangan dan kecerdasannya.
Clara dan Nyonya Claudia berjalan keluar butik dengan langkah angkuh, diikuti dua pegawai yang mengangkat tumpukan kotak belanjaan mereka. Aroma parfum mahal dan suara hak sepatu tinggi keduanya perlahan menghilang dari ruangan, meninggalkan kesunyian dan sisa ketegangan di udara.
Aliza menatap punggung mereka tanpa ekspresi. Tangannya perlahan terlipat di depan dada, dan senyum tipis muncul di sudut bibirnya.
“Setelah dari sini,” gumamnya pelan dalam hati, “palingan Nyonya Claudia akan mempertanggungjawabkan pengeluaran hari ini.”
Ia tahu betul, sepuluh miliar bukan jumlah kecil — bahkan untuk keluarga sekaya Claudia. Dan Aliza yakin, cepat atau lambat, transaksi barusan akan menimbulkan pertanyaan… terutama jika seseorang yang memiliki kartu itu mengetahui penggunaannya.
Aliza menghela napas pelan, lalu melangkah menuju ruang kerjanya. “Vika, tolong pastikan semua data penjualan hari ini tercatat dengan lengkap,” ucapnya datar.
“Iya, Bu Aliza,” jawab Vika, masih terlihat tegang setelah menyaksikan pertikaian tadi.