NovelToon NovelToon
THE SMILING KILLER : Faces Of Mercy

THE SMILING KILLER : Faces Of Mercy

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Action
Popularitas:463
Nilai: 5
Nama Author: Firmanshxx969

Di tengah gemerlap kota, kegelapan purba bangkit.

​Satu per satu, para elite yang telah "bertobat" ditemukan tewas dalam ritual penyiksaan yang mengerikan. Mantan preman, pengusaha licik, semua yang kini dermawan, tubuhnya dipajang sebagai altar dosa masa lalu mereka.

​Sang pembunuh tidak meninggalkan sidik jari. Hanya sebuah teka-teki teologis: ayat-ayat Alkitab tentang murka dan penghakiman yang ditulis dengan darah.

​Media menjulukinya: "Sang Hakim".

​Ajun Komisaris Polisi (AKP) Daniel Tirtayasa, detektif veteran yang hidupnya ditopang oleh iman, ditugaskan memburu bayangan ini.

​Namun, perburuan kali ini berbeda. Sang Hakim tidak hanya membunuh; ia berkhotbah dengan pisau bedah, memutarbalikkan setiap ayat suci yang Daniel pegang teguh. Setiap TKP adalah kapel penghujatan yang menantang eksistensi pengampunan.

​Kini, perburuan ini menjadi personal.

​Mampukah Daniel menangkap Sang Hakim sebelum imannya sendiri hancur berkeping-keping?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Firmanshxx969, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 2

Pukul 04.17 dini hari. Jakarta adalah binatang yang tidur dengan satu mata terbuka. Di jalan utama, deru truk sayur sesekali membelah hening. Tapi di gang-gang sempit, kota ini menahan napas. Udara dingin dan lembap. Baunya khas: anyir got, debu basah sisa gerimis, dan samar-samar wangi roti dari toko yang mulai memanaskan oven.

Di dalam mobil patroli yang melaju pelan di Tanah Abang, Ipda Adit menahan kuap untuk ketiga kalinya. Kantuk menekan kelopak matanya. Di sebelahnya, Bripka Roni, seniornya yang berperut buncit dan berwajah lelah, sedang mengunyah kacang rebus.

Sudah dua belas tahun Roni berpatroli di sini. Dia hafal setiap tikungan, setiap warung 24 jam, setiap preman yang sudah insaf, atau yang masih aktif.

“Jam-jam segini yang paling rawan, Dit,” gumam Roni di sela kunyahannya. “Otak orang lagi capek, lengah. Maling sama setan paling suka jam segini.”

Adit hanya mengangguk. Enam bulan lulus akademi, ia masih menyerap semua. Akademi mengajarkan hukum dan prosedur, pikir Adit. Jalanan mengajarkan naluri. Dan naluri Roni setajam silet. Seniornya itu bisa mencium gelagat buruk dari jarak lima puluh meter.

Tiba-tiba, radio di dasbor berderak. Suara operator dari pusat terdengar panik, terdistorsi sinyal.

“Panggilan darurat, patroli Sektor Tanah Abang! Segera meluncur ke Yayasan Cahaya Jalan Kembali di Gang Mawar. Ada laporan anak kecil penemuan mayat. Ulangi, penemuan mayat! Mohon segera respons!”

Kelebatan kantuk Adit langsung lenyap. Jantungnya serasa melompat ke tenggorokan. Penemuan mayat. Selama ini kasusnya paling banter tawuran remaja atau copet pasar. Ini yang pertama.

Roni melempar kantong kacangnya ke luar jendela. Wajahnya mengeras. “Pegang erat-erat, Dit.”

Roni membanting setir, memutar balik mobil dengan decitan ban yang memekakkan telinga. Ia menyalakan sirene dan rotator biru, menyapu ruko-ruko gelap dengan cahaya gelisah.

Gang Mawar terlalu sempit untuk mobil. Mereka memarkirnya di mulut gang dan berlari masuk. Udara di dalam gang terasa lebih pengap. Di ujung sana, di depan bangunan biru muda, seorang anak laki-laki kurus terduduk di tanah, memeluk lutut. Ia menangis tersedu-sedu. Seorang satpam ruko mencoba menenangkannya, tapi anak itu terus gemetar hebat.

“Dia yang melapor, Pak,” kata satpam itu. “Namanya Bagas. Katanya mau ambil selimut di kapel, pintunya sudah terbuka. Pas masuk, dia lihat… dia lihat Pak Lukas.”

Adit berlutut di depan Bagas. Bocah itu mungkin baru sepuluh tahun. Wajahnya kotor oleh air mata dan ingus. “Bagas, tenang ya. Kami polisi. Bisa ceritakan apa yang kamu lihat?”

Anak itu mendongak, matanya bengkak penuh teror. “Pak… Pak Lukas…” isaknya tertahan. “Di… di dalam. Dia… dia diam saja. Didoain… tapi… tapi badannya…” Ia tak sanggup melanjutkan, tangisnya pecah lagi.

Roni menepuk pundak Adit. “Sudah, jangan paksa dia. Kita periksa ke dalam. Kamu di belakangku.”

Adit mengangguk, tenggorokannya kering. Ia menarik senter, tangannya sedikit gemetar saat menyalakannya. Mereka melangkah melewati halaman bermain yang sunyi, menuju pintu kayu di ujung bangunan yang sedikit terbuka. Kapel.

Roni mendorong pintu itu pelan.

Hawa dingin aneh langsung menyambut mereka. Bau lilin padam, kayu tua, dan... sesuatu yang lain.

Sesuatu yang amis. Metalik.

Bulu kuduk Adit meremang.

Senter Roni menyapu bagian depan ruangan, lalu berhenti. “Astaga…” desisnya pelan.

Adit mengarahkan senternya ke titik yang sama. Dunianya seolah berhenti berputar.

Di sana, di tengah ruangan, di depan altar kayu sederhana, sesosok pria berlutut. Punggungnya lurus. Posisinya khusyuk, seolah tenggelam dalam doa. Kedua tangan tergenggam di depan dada, kepala menunduk ke arah salib.

Dari belakang, tampak begitu damai. Sakral.

“Pak Lukas?” panggil Adit ragu, suaranya seperti bisikan.

Tidak ada jawaban.

Dengan jantung yang berdentam di rusuknya, Adit melangkah lebih jauh, menyinari sosok itu dari samping.

Saat itulah pemandangan damai itu hancur berkeping-keping.

Ya Tuhan.

Tubuh Lukas Santoso memang dalam posisi berdoa. Tapi kemeja putihnya, dari leher sampai pinggang, basah oleh merah gelap. Ditembus ratusan luka kecil.

Luka-luka itu bukan hasil amukan. Masing-masing tampak kecil, rapi, presisi, seukuran ujung pena. Tersebar di sekujur tubuh dengan pola mengerikan. Seolah seorang ahli bedah gila telah menandainya.

Tidak ada darah menggenang. Lantai semen di bawahnya bersih secara supernatural.

Napas Adit tercekat. Asam lambung panas naik ke kerongkongannya. Mundur. Mundur. Ia mundur selangkah, punggungnya menabrak dinding dingin. Prosedur. Otaknya berteriak mencari prosedur TKP, tapi yang muncul hanya bayangan ratusan luka itu. Hilang. Semua yang ia pelajari di akademi hilang, menguap di hadapan... ini. Ini bukan TKP. Ini bukan amarah atau perampokan.

Ini sebuah altar penistaan.

“Jangan sentuh apa pun, Dit!” perintah Roni, suaranya tajam, menarik Adit dari ambang panik. “Keluar. Amankan area. Pasang garis polisi. Panggil tim identifikasi dan Kasat Reskrim. Cepat!”

Adit mengangguk kaku, kakinya seperti jeli saat berbalik dan setengah berlari keluar. Di luar, ia menarik napas dalam-dalam, mencoba mengusir bau kematian dari hidungnya.

Sementara Roni berbicara di radio dengan suara mendesak, Adit memaksa diri melihat ke dalam lagi. Mencoba memprosesnya sebagai polisi, bukan manusia yang ketakutan.

Matanya menangkap detail lain. Di sebelah kanan altar, ada bak baptis tua. Di atasnya, tergantung cermin persegi panjang.

Permukaan cermin itu telah menjadi kanvas.

Dengan goresan darah yang pekat dan hampir menghitam, sebuah kalimat tertulis dengan kaligrafi yang mengerikan begitu rapi dan terkendali.

"SEBAB UPAH DOSA IALAH MAUT..."

Di bawah kutipan Kitab Roma itu, sebuah simbol: lengkungan tipis. Jejak senyuman yang digoreskan dengan ujung jari.

Adit menelan ludah. Ini bukan pembunuhan. Ini ritual. Pelakunya bukan hanya membunuh Lukas, ia menghakiminya. Suasananya begitu dingin, metodis. Tak ada kursi terbalik, tak ada jejak perlawanan. Seolah Lukas berlutut di sana, menerima setiap tusukan tanpa suara. Seolah menjalani penebusan dosa.

Siapa pun pelakunya, ia bukan pembunuh biasa. Ia seorang profesional. Seorang hantu.

Tiga puluh menit kemudian, gang sempit itu ramai. Garis polisi kuning terbentang. Tim INAFIS dengan rompi mereka mulai berdatangan. Beberapa wartawan kriminal juga muncul.

Adit berdiri di dekat garis polisi, memberikan keterangan singkat kepada kepala unitnya. Ia sudah menceritakan apa yang ia lihat tiga kali, tapi rasa mual itu kembali setiap ia mengulanginya.

Pukul 05.03 pagi, sebuah Toyota Fortuner hitam legam berhenti di mulut gang. Tanpa sirene.

Pintu pengemudi terbuka, seorang pria paruh baya melangkah keluar.

Ajun Komisaris Polisi Daniel Tirtayasa.

Kasat Reskrim.

Adit langsung menegakkan tubuh. Pria itu tidak tinggi, tapi posturnya tegap. Kehadirannya langsung terasa. Wajahnya bergaris tegas, tatapan matanya tajam dan tenang, seolah mampu melihat menembus kekacauan di sekelilingnya. Ia mengenakan kemeja lengan panjang biru tua yang rapi dan celana bahan hitam. Tak ada setitik debu di sepatunya.

Semua petugas langsung memberi hormat. Daniel tidak berlari. Langkahnya terukur saat ia mendekati garis polisi. Pertanyaan pertamanya ditujukan pada Adit.

“Kamu yang pertama masuk?” tanya Daniel, suaranya tenang namun berwibawa.

“Siap, Ndan! Saya dan Bripka Roni,” jawab Adit.

Daniel mengangguk, matanya memindai Adit dari atas ke bawah. “Lihat apa kamu?”

Adit tertegun. Lihat apa? Bukan 'ceritakan', tapi 'lihat'. “Saya… saya lihat korban, Ndan. Dalam posisi berdoa. Dan... lukanya. Rapi sekali.”

“Bukan,” kata Daniel, suaranya tetap tenang namun memotong. “Lihat apa yang tidak ada di sana.”

Adit langsung berpikir keras, memutar ulang ingatan singkatnya. "...Darah, Ndan. Tidak ada darah di lantai. Bersih sekali. Dan tidak ada jejak perlawanan."

"Bagus," kata Daniel. "Itu titik awalnya. Jangan terfokus pada apa yang ada. Mulai sekarang, cari apa yang seharusnya ada tapi tidak ada. Sekarang, ceritakan semuanya dari awal. Detail."

Saat Adit mulai menceritakan kembali penemuannya, Daniel mendengarkan dengan saksama, matanya tak pernah lepas dari wajah Adit. Setelah Adit selesai, Daniel menatap ke arah kapel, yang kini dipenuhi cahaya blitz kamera forensik.

Ia menarik napas dalam-dalam. Fajar mulai mewarnai langit. Kemudian, ia mengenakan sarung tangan lateksnya, dan dengan satu anggukan singkat kepada Adit, ia melangkah melewati garis polisi.

Fajar telah tiba. Tetapi bagi Daniel Tirtayasa, pagi itu adalah awal dari perjalanan menuju inti kegelapan yang paling pekat.

1
Haruhi Fujioka
Wow, endingnya bikin terharu.
Si Hibernasi: mampir kak, judulnya Iblis penyerap darah, mungkin saja suka🙏
total 1 replies
Gohan
Ceritanya bikin merinding. 👻
naotaku12
Dapet pelajaran berharga. 🧐📝
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!