"Briana Anderson, seorang miliarder berusia 30 tahun, bagaikan menggenggam dunia di tangannya. Dingin, penuh perhitungan, dan pemilik perusahaan multijutaan dolar, ia dikenal sebagai wanita yang selalu mendapatkan segala yang diinginkannya... hingga ia bertemu Molly Welstton.
Molly, yang baru berusia 18 tahun, adalah kebalikan sempurna dari Briana. Polos, pemalu, dan penuh dengan impian, ia berfokus pada studinya di jurusan manajemen bisnis. Namun, hidupnya berubah seratus delapan puluh derajat ketika jalan hidupnya bersilangan dengan CEO paling berkuasa dan posesif di New York.
Apa yang awalnya adalah ketertarikan sederhana, berubah menjadi sebuah obsesi yang membara. Briana bertekad untuk memiliki Molly dalam hidupnya dan akan melakukan segalanya untuk melindungi gadis itu dari ancaman apa pun — nyata atau hanya dalam bayangannya.
Akankah cinta Briana yang posesif dan menguasai cukup kuat untuk meluluhkan kepolosan Molly? Atau justru gairah cemburu si miliarder akan membuat Molly terasa terkurung? Sebuah kisah tentang kekuasaan, kontrol, dan cinta yang menantang semua aturan."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Raylla Mary, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 7
Pertemuan Kembali
Briana tidak pernah merasa begitu tidak pada tempatnya seperti dalam perjalanan itu. Dikelilingi oleh eksekutif tingkat tinggi, klien penting, dan investor yang memandangnya seolah-olah dia adalah campuran dewi dan predator, tidak ada yang cukup untuk menenangkan gejolak di dalam dirinya. Karena, untuk pertama kalinya dalam beberapa tahun, dia tidak ingin berada di sana.
Dia ingin berada di rumah. Dia ingin bersama Molly.
Dia tidak mengakuinya dengan lantang, tetapi hari-hari jauh itu menghancurkannya secara diam-diam. Kamar hotel mewah itu terasa dingin. Anggur mahal terasa pahit. Dan setiap pertemuan berakhir dengan Briana meraih ponselnya dan menatap layar kosong, menunggu pesan dari gadis yang berhasil mencuri darinya apa yang tidak pernah berani dilakukan siapa pun: kedamaiannya.
Molly, di sisi lain, mencoba mengatasi ketidakhadiran Briana dengan satu-satunya cara yang dia tahu: menyibukkan diri. Dia bangun pagi, pergi ke kampus, kembali ke rumah, dan menghabiskan waktu berjam-jam mencoba belajar, tetapi hatinya tidak fokus. Seolah-olah segala sesuatu di sekitarnya telah kehilangan warna. Bahkan percakapan dengan teman-temannya terasa membosankan, seolah-olah hidup berhenti pada saat Briana naik pesawat.
Di malam hari, berbaring di tempat tidur, Molly memegang ponsel di tangannya, membaca ulang pesan terakhir dari Briana.
"Aku akan segera kembali, malaikatku. Jaga dirimu untukku."
"Rindukan aku, karena aku sudah merindukanmu."
Dia membaca kata-kata itu berkali-kali, merasakan jantungnya berdebar kencang seolah-olah itu adalah bacaan pertama. Senyum bodoh muncul di bibirnya, tetapi segera menghilang, digantikan oleh rasa sakit karena rindu.
Aneh bagaimana seseorang yang masuk ke dalam hidupnya belum lama ini sudah mampu menimbulkan badai besar di dalam dirinya. Molly belum pernah merasakan hal seperti ini sebelumnya. Sebelum Briana, hari-harinya sederhana, dapat diprediksi, hampir biasa saja. Sekarang, setiap saat terasa sarat dengan keinginan, harapan, dan ketergantungan yang aneh.
Pada malam ketiga ketidakhadiran, Molly tidak tahan lagi. Dia mengambil ponselnya dan mengetik:
"Selamat malam... apakah kamu baik-baik saja?"
Jantungnya berdebar kencang di dadanya saat dia menunggu jawaban. Ketika layar akhirnya menyala dengan notifikasi, Molly merasakan gelombang panas menjalar ke seluruh tubuhnya.
"Sekarang aku baik-baik saja, karena aku membaca pesanmu," jawab Briana.
Molly tersenyum, menggigit bibirnya, dan menjawab dengan malu-malu:
"Aku merindukanmu..."
Di seberang lautan, Briana memejamkan mata dan merasakan dadanya sesak. Pengakuan sederhana gadis itu sudah cukup untuk membuatnya ingin meninggalkan segalanya dan naik pesawat pertama kembali.
"Aku juga, malaikat. Kamu tidak tahu seberapa besar."
Hari-hari berlalu hingga akhirnya perjalanan itu berakhir. Briana hampir tidak menunggu pertemuan terakhir selesai; dia sudah memesan penerbangan paling awal yang dia temukan. Di pesawat, dia bahkan tidak bisa tidur. Setiap jam yang berlalu, kecemasannya meningkat. Bayangan Molly di benaknya begitu jelas sehingga tampak hampir nyata — mata polosnya, bibir pemalunya, cara manisnya yang kontras dengan keinginan yang Briana tahu tumbuh di antara mereka.
Setibanya di kota, Briana langsung menuju penthouse-nya. Dia mandi cepat, berganti pakaian, dan, alih-alih beristirahat, dia mengambil kunci mobilnya. Tubuhnya lelah, tetapi jiwanya terbakar dalam kebutuhan.
Sudah lewat pukul sepuluh malam ketika dia parkir di depan rumah Molly. Dia tidak memberi tahu bahwa dia akan datang; dia tidak ingin membuat janji, dia tidak ingin menunggu. Dia hanya ingin melihatnya.
Molly sedang berbaring di kamar, mencoba tertidur dengan memeluk bantal, ketika dia mendengar suara mobil parkir di depan. Karena penasaran, dia pergi ke jendela — dan, ketika dia mengenali mobil hitam mewah itu, jantungnya hampir keluar dari mulutnya.
"Briana..." bisiknya pada dirinya sendiri, merasakan kakinya melemah.
Dia berlari menuruni tangga, jantungnya berdebar kencang tidak seperti sebelumnya, dan ketika dia membuka pintu, di sana berdiri Briana: berdiri, sempurna dalam gaun sederhana namun elegan, matanya tertuju padanya dengan intensitas.
"Hai, malaikatku..." gumam Briana, dan sebelum Molly bisa menjawab, dia ditarik ke dalam pelukan.
Dunia berhenti pada saat itu. Aroma Briana menyelimutinya, kehangatan tubuhnya, ketegasan lengannya. Molly memejamkan mata dan menarik napas dalam-dalam, seolah-olah dia akhirnya bisa memenuhi paru-parunya dengan udara setelah berhari-hari tercekik.
"Aku tidak tahan lagi berjauhan darimu," aku Briana, dengan suara serak, bibirnya menyentuh dekat telinga gadis itu. "Aku sangat merindukanmu sampai-sampai aku merasa gila."
Molly sedikit menjauh untuk menatapnya, dan matanya berkaca-kaca.
"Aku juga, Briana... setiap hari, setiap malam... sepertinya ada bagian dari diriku yang hilang."
Briana mengusap wajahnya, dengan lembut menyingkirkan sehelai rambut.
"Aku tidak ingin terlalu lama berjauhan darimu lagi. Tidak akan pernah."
Ada urgensi yang berbeda malam itu. Briana tidak hanya ingin melihatnya; dia ingin memilikinya, menandai kehadirannya, menjelaskan bahwa Molly adalah miliknya, dan bukan milik siapa pun. Tetapi ada juga rasa hormat, perhatian. Tatapannya menyusuri gadis itu dengan keinginan, tetapi tanpa tergesa-gesa.
"Bolehkah aku masuk?" tanyanya, dengan senyum penuh rayuan.
Molly hanya mengangguk, membiarkannya masuk. Jantung gadis itu berdetak begitu cepat sehingga dia hampir tidak bisa berpikir.
Di dalam rumah, Briana melepas jaketnya dan meletakkannya di sofa, tanpa mengalihkan pandangannya dari Molly. Ketegangan di antara mereka terasa, hampir elektrik.
"Kamu tidak tahu betapa seringnya aku memimpikan momen ini selama perjalanan," kata Briana, mendekat perlahan. "Aku menghidupkan kembali senyummu dalam pikiranku, cara kamu menatapku, bahkan rasa malumu..."
Molly, tersipu, mengalihkan pandangannya, tetapi Briana dengan lembut memegang dagunya dan memaksanya untuk menatap mata birunya.
"Jangan berpaling dariku, malaikat. Aku ingin melihat setiap reaksimu."
Keheningan hanya dipecah oleh suara napas mereka. Briana membungkuk, tetapi tidak menciumnya segera; hanya membiarkan bibirnya berbahaya, memprovokasi.
"Katakan bahwa kamu merindukanku..." bisiknya, suaranya pelan, hampir seperti perintah.
"Aku merindukanmu..." jawab Molly, hampir kehabisan napas.
"Seberapa banyak?" Briana bersikeras, dengan senyum nakal.
Molly memejamkan mata dan membiarkan dirinya lepas:
"Lebih dari yang bisa aku jelaskan..."
Dan itulah semua yang perlu didengar Briana. Bibirnya akhirnya menangkap bibir Molly dalam ciuman yang intens, membara, penuh kerinduan. Molly, meskipun malu-malu, membalas dengan urgensi yang sama, merasakan seluruh tubuhnya bergetar.
Briana menariknya lebih dekat, memeluknya erat-erat, seolah-olah dia ingin menempelkan setiap bagian dari mereka. Ciuman itu semakin dalam, dan Molly merasa tersesat, menyerah, seolah-olah tidak ada apa pun di dunia ini selain momen itu.
Ketika mereka menjauh, keduanya terengah-engah. Briana menyandarkan dahinya di dahinya dan bergumam:
"Aku tidak ingin melewati jarak ini lagi. Kamu milikku, Molly. Hanya milikku."
Dan, pada saat itu, Molly menyadari bahwa tidak peduli seberapa muda atau tidak berpengalamannya dia, hatinya sudah sepenuhnya berada di tangan Briana Anderson.