Gunawan, penjual rujak bumbu yang pendiam, dan Dewi, pemilik seblak pedas yang independen, terjebak dalam perjodohan paksa setelah gerobak mereka bertabrakan, menciptakan kekacauan di lapak. Warga, di bawah arahan Pak RT, menghukum mereka dengan pernikahan untuk menjaga reputasi lapak. Awalnya, mereka sepakat untuk menjalani 'kontrak pacaran palsu', penuh kecanggungan dan konflik komedi. Namun, seiring waktu, serangkaian tantangan publik—mulai dari "Love Brigade" yang selalu mengawasi, drama keluarga, hingga sabotase pesaing—memaksa mereka bekerja sama. Tanpa disadari, sandiwara tersebut mulai menumbuhkan perasaan nyata, hingga akhirnya mereka harus memutuskan apakah akan tetap berpegang pada janji palsu atau jujur pada hati mereka, yang berarti menghadapi konsekuensi dari komunitas yang pernah memaksa mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Laila ANT, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kencan di Launching Panci
"Ini kencan, Gunawan?" Dewi berbisik, nadanya sinis.
"Lebih mirip kunjungan pabrik."
Gunawan hanya bisa menggaruk kepalanya.
"Mau gimana lagi, Wi. Ini perintah Love Brigade."
Di sudut ruangan, Love Brigade sudah duduk manis di deretan kursi VIP, lengkap dengan Bu Ida yang memegang ponselnya, siap merekam setiap interaksi mereka. Gunawan dan Dewi merasa seperti aktor di panggung sandiwara yang sangat buruk.
"Ayo, Gunawan! Dewi! Dekati stand panci! Tunjukkan ketertarikan!" Bu Ida berteriak dari kejauhan, suaranya menggelegar.
Mereka berdua pun berjalan canggung menuju display panci. Gunawan mengambil sebuah wajan penggorengan, pura-pura memeriksa kualitas anti lengketnya.
"Wah, Wi, lihat ini! Keren sekali! Kita bisa menggoreng ikan asin tanpa lengket!"
Dewi memaksakan senyum.
"Iya, Gunawan. Pasti enak kalau buat masak seblak. Kuahnya jadi tidak tumpah." Ia memegang sebuah panci presto, dengan ekspresi yang jelas menunjukkan ia lebih tertarik pada cara kerja mesin daripada wajan itu sendiri.
"Bagaimana kalau kita pakai ini untuk masak menu kolaborasi kita nanti?" Gunawan mencoba berimprovisasi, mengacu pada ide "ekosistem bisnis" yang pernah ia lontarkan.
"Menu kolaborasi? Kau ini. Jangan terlalu jauh mikirnya," Dewi membalas, tapi senyumnya sedikit melunak.
Bu Ida mengacungkan jempol.
"Bagus! Bagus! Sekarang, cicipi makanan promosi! Dan saling suapi!"
Gunawan dan Dewi mendekati meja makanan promosi. Ada semacam sosis bakar berwarna merah muda mencurigakan dan puding rasa pandan yang terlihat pucat. Gunawan mengambil sepotong sosis. Baunya hambar, rasanya sudah pasti tidak jauh berbeda.
"Sini, Wi. Aku suapi," kata Gunawan, berusaha terdengar romantis.
Dewi menatap sosis itu dengan tatapan curiga. "Ini apa, Gunawan? Baunya aneh."
"Ini... sosis cinta, Wi. Dari hati yang tulus," Gunawan berbohong, lalu menyuapkannya.
Dewi mengunyah dengan ekspresi datar, lalu menelan dengan susah payah.
"Rasanya seperti karet bekas pakai. Tapi... terima kasih."
Giliran Dewi menyuapi Gunawan puding.
"Sekarang kau. Puding ini... manisnya seperti janji-janji manismu."
Gunawan memakan puding itu. Manisnya memang ada, tapi terasa artifisial, seperti pemanis buatan.
"Terima kasih, Wi. Sangat... istimewa."
Tiba-tiba, sebuah suara melengking memecah keheningan di sekitar mereka.
"Wah, wah, wah! Lihat siapa ini! Pasangan lapak yang lagi naik daun, ya?"
Gunawan dan Dewi menoleh.
Berdiri di sana, dengan senyum sinis dan riasan tebal, adalah Lia. Mantan rival bisnis Dewi dari lapak seberang, yang dulu sering mencoba mencuri pelanggan dengan meniru resep seblak Dewi, tapi selalu gagal. Lia juga lah yang pernah menyebarkan gosip buruk tentang kebersihan lapak Dewi.
"Lia?" Dewi berbisik, wajahnya langsung mengeras.
"Sedang apa kau di sini?"
"Tentu saja mencari inspirasi, Dewi. Inspirasi untuk bisnis yang lebih maju," Lia menyeringai. Matanya menyapu Gunawan dari atas ke bawah, lalu kembali ke Dewi dengan tatapan merendahkan.
"Kalian ini, ya. Dulu katanya anti-komitmen, sekarang malah sibuk kencan di launching panci. Mau menikah, ya? Jangan-jangan cuma cari sensasi biar lapaknya laku."
Kata-kata Lia menusuk tepat ke titik lemah Dewi. Gunawan melihat ekspresi Dewi yang mulai goyah, amarah bercampur luka lama terpancar di matanya. Ia tahu Dewi tidak suka dituduh berpura-pura, apalagi oleh orang seperti Lia.
"Bukan urusanmu, Lia," Dewi menjawab dingin.
"Kami di sini karena kami memang mau."
"Oh, ya? Mau beli panci untuk rumah tangga impian kalian, begitu?" Lia tertawa mengejek, tawa yang terdengar seperti gesekan kaleng kosong.
"Jangan-jangan nanti pancinya cuma buat pajangan, atau kalian jual lagi buat modal biar lapak kalian tidak bangkrut."
Gunawan merasakan darahnya mendidih. Ia melihat kepedihan di mata Dewi. Ini bukan lagi soal sandiwara. Ini soal melindungi harga diri Dewi. Sesuatu dalam dirinya bergejolak, insting protektifnya bangkit.
"Jaga bicaramu, Lia," Gunawan berkata, suaranya tegas, lebih dalam dari biasanya.
Ia melangkah maju sedikit, berdiri di antara Dewi dan Lia, seolah menjadi perisai.
"Kami di sini bukan untuk cari sensasi. Kami di sini untuk masa depan kami."
Lia terkejut melihat reaksi Gunawan. Ia tidak menyangka pria pendiam itu akan membela Dewi sebegini rupa.
"Masa depan? Masa depan apa? Jangan bilang kalian mau menikah beneran? Dulu kan Dewi bilang anti-komitmen. Atau jangan-jangan, dia cuma mau manfaatkan kamu biar lapaknya tetap eksis?"
Dewi mengepalkan tangannya, siap melontarkan balasan pedas. Tapi Gunawan menahan tangannya, memberinya isyarat untuk diam.
Gunawan menatap Lia dengan tatapan tajam yang belum pernah ia tunjukkan sebelumnya.
"Dengar, Lia. Kami memang akan menikah. Sebentar lagi." Ia menekankan setiap kata.
"Dan kami datang ke sini bukan untuk membeli panci bekas, tapi untuk memilih peralatan terbaik untuk rumah tangga kami. Rumah tangga yang akan kami bangun dengan serius, bukan cuma untuk sensasi, tapi karena kami memang... saling mencintai."
Kata "saling mencintai" itu terasa aneh di lidah Gunawan, tapi ia mengucapkannya dengan keyakinan penuh. Ia melirik Dewi, yang kini menatapnya dengan mata terbelalak, terkejut sekaligus... sedikit terharu.
"Kami sedang merencanakan pernikahan. Bahkan, kami sudah bicara tentang konsep lapak gabungan, yang akan jadi pusat kuliner online terbesar di kota ini," Gunawan melanjutkan, tanpa sadar ia kembali menggunakan konsep "ekosistem bisnis mikro terintegrasi" miliknya, tapi kali ini dengan bumbu romansa.
"Jadi, tidak ada alasan untuk bangkrut. Justru kami akan semakin besar. Dan lapak kami, akan tetap bersih, dan rasanya akan selalu lebih enak dari siapa pun yang mencoba meniru."
Lia terdiam, terkejut dengan keberanian dan kata-kata Gunawan. Ia tidak menyangka Gunawan akan membela Dewi dengan cara seperti itu, apalagi dengan pengumuman pernikahan yang terkesan mendadak dan rencana bisnis yang ambisius. Wajahnya yang tadi penuh cibiran, kini sedikit memudar, digantikan oleh ekspresi tidak percaya.
Bu Ida dan Love Brigade, yang tadinya terdiam mengamati drama itu, kini bersorak gembira.
"Wah, Gunawan! Romantis sekali! Itu dia yang kami tunggu! Pengakuan cinta sejati!"
"Lihat itu, Lia! Gunawan membela Dewi sampai mati-matian!" Bu Marni menimpali.
Lia mendengus, merasa kalah.
"Terserah kalian sajalah. Nanti kalau sudah menikah beneran, undang saya, ya. Tapi jangan harap saya datang." Ia membalikkan badan, berjalan pergi dengan langkah terburu-buru, kekalahan terpancar jelas di punggungnya.
Gunawan menghela napas lega.
Ia kembali menatap Dewi, yang masih terpaku, menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada gurat kebingungan, tapi juga semacam... kekaguman?
"Kau... kau tidak apa-apa, Wi?" Gunawan bertanya, suaranya kembali ke nada canggung seperti semula.
Dewi menggeleng pelan.
"Aku... aku tidak apa-apa." Ia terdiam sejenak, lalu berbisik,
"Terima kasih, Gunawan. Kau... kau sudah membela aku."
Gunawan tersenyum tipis. Perasaan hangat menyebar di dadanya. Perasaan yang jauh lebih memuaskan daripada pujian dari Love Brigade.
"Ini... ini hanya bagian dari kontrak, Wi. Biar sandiwara kita terlihat meyakinkan."
Ia mencoba menarik tangannya yang tadi ia gunakan untuk menahan Dewi, tapi entah mengapa, ia menggenggam tangan Dewi sedikit lebih lama dari yang seharusnya. Jemarinya merasakan kehangatan dan kelembutan kulit Dewi, sebuah sentuhan yang terasa begitu nyata, begitu... tidak seperti sandiwara. Gunawan menatap mata Dewi, mencari tahu apakah Dewi merasakan hal yang sama.