Kisah perjuangan seorang anak ningrat yang dibuang bersama ibunya, tumbuh miskin, dihina, dan bangkit menjadi legenda dunia bisnis—menaklukkan pasar saham, membangun kerajaan korporasi, dan akhirnya mengguncang fondasi keluarga bangsawan yang dulu mengusirnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Junot Slengean Scd, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PRESTASI
Langit di atas Desa Gumalar selalu berubah setiap pagi. Kadang biru terang seperti janji, kadang kelabu seperti kenangan yang enggan pergi. Hari itu, langit tampak jernih sekali, seolah ikut tersenyum melihat langkah kecil seorang anak laki-laki yang baru saja memulai babak baru hidupnya.
Lanang Damar Panuluh menapaki jalan tanah menuju sekolah menengah barunya. Seragam putih biru yang sedikit kebesaran menempel rapi di tubuhnya, sementara tas cokelat tuanya tergantung di bahu kanan. Sepeda tuanya berderit pelan tiap kali ia kayuh melewati jalan becek yang belum sempat dikeringkan matahari. Tapi semangat di matanya lebih terang dari sinar pagi.
Di tangannya, surat dari Yayasan Kinasi masih terselip rapi dalam plastik bening. Sari berpesan agar surat itu disimpan baik-baik, karena itu bukan sekadar surat, melainkan gerbang menuju masa depan yang berbeda.
“Lanang, semangat ya,” pesan ibunya tadi pagi sebelum ia berangkat, dengan senyum yang sedikit gemetar, seolah ada sesuatu yang disembunyikan di baliknya.
“Iya, Bu. Aku pasti bisa.”
Sepeda itu terus melaju, menembus jalan desa, melewati sawah yang baru ditanami padi, di mana air memantulkan wajahnya yang masih polos tapi penuh tekad.
SMP Negeri 1 Pemalang terlihat megah di matanya—gedung bertingkat, taman rapi, dan gerbang biru dengan tulisan besar. Anak-anak dari berbagai daerah berkerumun di depan kelas. Ada yang datang dengan mobil, ada pula dengan motor diantar orang tua. Lanang menuntun sepedanya pelan, mencoba menyatu di antara hiruk pikuk itu.
“Eh, anak desa ya?” bisik seorang anak lelaki di dekatnya sambil menatap sepedanya.
Lanang hanya tersenyum kecil, tak menanggapi. Ia sudah terbiasa dengan tatapan seperti itu sejak SD.
“Namamu siapa?” tanya seorang siswi berkuncir dua, suaranya ceria.
“Lanang,” jawabnya singkat.
“Lucu ya, kayak nama orang zaman dulu.”
Lanang hanya tertawa kecil. “Mungkin karena aku lahir di desa.”
Tapi yang paling membuatnya terkesan adalah ruang perpustakaan. Deretan buku tebal dengan sampul mengilap membuat matanya berbinar. Ia belum pernah melihat sebanyak itu di satu ruangan.
Sejak hari itu, perpustakaan menjadi rumah keduanya. Saat teman-temannya bermain bola, ia duduk di pojok ruangan, membaca tentang sistem ekonomi Indonesia, sejarah perusahaan besar, dan tokoh-tokoh bisnis dunia. Ia mencatat semua dengan rapi di buku kecil, menulis ide-ide kecil tentang perubahan sosial dan ekonomi.
Namun, setiap kali ia pulang dan melihat ibunya menunggu di teras rumah dengan wajah tenang, semua teori besar itu terasa kecil. Ia sadar, perjuangan sesungguhnya adalah menjaga kebahagiaan sederhana seperti itu.
Sementara di tempat lain, kehidupan Sari berjalan dengan ritme yang lebih damai. Setelah Lanang masuk SMP, ia lebih banyak menghabiskan waktu di sekolah dasar, menyiapkan kegiatan baru untuk murid-muridnya. Ia menjadi sosok penting di desa—bukan hanya guru, tapi juga pembimbing warga yang buta huruf, tempat bertanya ibu-ibu muda tentang pendidikan anak.
Namun, malam selalu membawa sesuatu yang tidak bisa ia kendalikan.
Mimpi.
Dalam tidurnya, ia melihat bayangan pesta besar. Musik lembut, lampu kristal, tawa para tamu dengan jas dan kebaya mahal. Ia sendiri berdiri di tengah ruangan, memakai kebaya putih. Di hadapannya, seorang pria menatap dengan mata teduh, memegang tangannya erat. Lalu cahaya silau, suara rem mendadak, teriakan, dan gelap.
Ia terbangun dengan napas terengah, keringat dingin membasahi tengkuknya.
“Siapa kamu…” bisiknya di kegelapan. “Kenapa wajahmu terasa begitu dekat?”
Sari bangun, menatap cermin di meja rias. Wajah itu asing tapi akrab. Dalam hati kecilnya, ia tahu sesuatu di masa lalu berusaha kembali. Tapi setiap kali mencoba mengingat, kepalanya terasa berat—seperti ada dinding yang memisahkan dirinya dengan dunia lamanya.
Malam itu, di Jakarta, Arif Dirgantara masih di kantornya, meski jam dinding menunjukkan pukul sebelas malam. Hujan turun deras di luar jendela. Ia menatap layar laptop—data program beasiswa Yayasan Kinasi terbuka di depannya.
Ada satu nama yang terus menarik perhatiannya: Lanang Damar Panuluh.
Ia tak tahu kenapa. Hanya saja, nama itu seperti gema dari masa lalu. Ia membuka berkas lebih dalam: asal sekolah, desa, dan wali—“Sari Retnowati”.
Arif terdiam.
Retnowati.
Tangannya berhenti di atas mouse. Ia membuka file foto—sekilas terlihat wajah perempuan itu, sederhana tapi lembut, rambut sebahu, senyum tipis.
Deg.
Matanya melebar.
Wajah itu… bukan cuma mirip. Ia yakin pernah mengenalnya. Tapi bagaimana mungkin? Retno sudah—
Ia menggeleng pelan. “Tidak. Itu mustahil.”
Namun otaknya mulai bekerja cepat. Ia memanggil sekretaris pribadinya, Andra.
“Cek data penerima beasiswa dari Yayasan Kinasi. Khusus yang atas nama lanang damar panuluh, Pemalang.”
“Baik, Pak. Ada masalah?”
“Tidak. Saya hanya ingin tahu lebih detail.”
Arif bersandar di kursinya. Dari balik kaca, lampu kota Jakarta berkelap-kelip seperti bintang buatan. Tapi di matanya, semua itu tak lebih dari bayangan. Di hatinya masih tersisa ruang kosong yang tak pernah terisi sejak kecelakaan itu.
Dan entah kenapa, malam itu ia merasa—ruang kosong itu baru saja bergetar.
Hari-hari Lanang di SMP berjalan dengan cepat. Nilainya selalu di atas rata-rata, dan namanya mulai sering disebut guru-guru. Ia juga bergabung di OSIS—organisasi kecil untuk siswa berprestasi. Di sanalah ia belajar bicara di depan umum, belajar memimpin, dan mulai dikenal sebagai anak yang tidak hanya cerdas, tapi juga bijak.
Teman-temannya mulai menghargainya. Bahkan yang dulu mengejeknya sebagai “anak desa” kini sering meminta bantuan belajar.
“Lan, bantuin PR matematika dong,” pinta Rafi, anak dari keluarga kaya di kelasnya.
Lanang tersenyum. “Oke, tapi kamu bantu aku bersihin taman sekolah nanti.”
Rafi tertawa. “Deal.”
Guru-guru mempercayainya untuk mewakili sekolah di lomba akademik kabupaten. Sari selalu menemaninya setiap kali lomba, membawa bekal nasi bungkus dari rumah. Setiap kali nama Lanang disebut sebagai juara, matanya tak pernah gagal basah.
“Bu, jangan nangis,” kata Lanang sambil tersenyum.
“Ibu bukan nangis, cuma… bangga.”
Tapi di balik kebahagiaan itu, satu hal kecil mulai berubah.
Sari semakin sering kehilangan fokus. Kadang ia berhenti bicara di tengah kalimat, menatap jauh seolah sedang mendengar sesuatu. Kadang ia memanggil nama yang tak pernah ia kenal.
“Arif…” bisiknya tanpa sadar suatu malam, saat Lanang menidurkannya karena sakit kepala.
Lanang terdiam lama, menatap ibunya yang terlelap. Ia tak tahu siapa Arif itu, tapi nama itu membuat dadanya terasa aneh. Seperti ada sesuatu yang terhubung, tapi tak bisa dijelaskan.
Di Jakarta, penyelidikan kecil yang dilakukan Arif mulai menunjukkan hasil.
“Pak,” lapor Andra suatu pagi, “kami sudah dapat data lengkap. Sari Retnowati, tinggal di Desa Gumalar, Pemalang. Guru SD, berstatus janda. Anak satu, laki-laki, nama Lanang Damar Panuluh. Tidak ada catatan resmi tentang suami.”
Arif menatap layar komputer. “Foto keluarganya?”
Andra menampilkan foto sederhana—Sari dan Lanang berdiri di depan sekolah desa, tersenyum.
Arif tertegun. Tangannya perlahan naik menyentuh layar. Air matanya menetes tanpa izin.
“Itu… Retno,” bisiknya.
Andra menatap bingung. “Maaf, Pak?”
Arif menarik napas dalam. “Tidak apa-apa. Kamu jangan ceritakan ini pada siapa pun dulu.”
Begitu Andra keluar, Arif menutup laptop dan berdiri di depan jendela. Di luar sana, langit Jakarta tampak kelabu. Tapi di dalam dadanya, badai baru saja dimulai. Ia tahu satu hal: kalau benar perempuan itu Retno, berarti selama ini… ia masih hidup.
Dan jika benar anak itu Lanang—
Arif menutup wajahnya. “Ya Tuhan…”
Waktu terus berjalan. Tiga tahun berlalu. Lanang menuntaskan SMP-nya dengan nilai sempurna, bahkan menjadi lulusan terbaik kabupaten. Namanya terpampang di papan kehormatan sekolah, dan Yayasan Kinasi kembali mengirimkan surat.
Kepada: Lanang Damar Panuluh
Kami dengan bangga menawarkan kelanjutan beasiswa penuh untuk tingkat SMA.
Atas prestasi luar biasa dan nilai tertinggi di angkatan Anda, Yayasan Kinasi memberikan dukungan penuh hingga universitas.
Sari menangis membaca surat itu. Ia memeluk anaknya erat, seperti takut kehilangan.
“Bu, jangan nangis terus,” kata Lanang sambil tersenyum kecil.
“Ibu cuma bahagia, Nak. Kamu benar-benar luar biasa.”
Namun, di hati kecilnya, ada rasa takut yang tak bisa dijelaskan. Setiap langkah maju Lanang seolah semakin mendekatkan mereka pada sesuatu yang tak bisa ia hindari—masa lalu yang terus memanggil dari kejauhan.
Dan di waktu yang sama, jauh di Jakarta, Arif menatap kalender di dinding ruang kerjanya.
Sudah tiga tahun ia menyelidiki diam-diam. Ia tahu alamatnya, tahu rutinitasnya, bahkan tahu tanggal ulang tahun Lanang. Tapi ia belum berani datang.
Bukan karena takut ditolak—tapi karena ia belum siap menghadapi kebenaran.
Malam itu ia berdiri di balkon kantornya, menatap langit Jakarta yang berkilau.
“Lanang…” gumamnya, “andai kau tahu siapa dirimu.”
Langit malam tampak biru tua. Di ujung barat, samar-samar terlihat bintang paling terang—seolah menjembatani dua dunia yang terpisah jarak dan rahasia.
Satu di Gumalar, satu di Jakarta.
Dan di antaranya, takdir mulai menulis bab baru yang belum sempat dibaca siapa pun.
menarik