"Aku hanya minta satu tahun, Jingga. Setelah melahirkan anak Langit, kau bebas pergi. Tapi jangan pernah berharap cinta darinya, karena hatinya hanya milikku.” – Nesya.
_______
Di balik senyumnya yang manis, tersimpan rahasia dan ambisi yang tak pernah ku duga. Suamiku terikat janji, dan aku hanyalah madu pilihan istrinya—bukan untuk dicinta, tapi untuk memenuhi kehendak dan keturunan.
Setiap hari adalah permainan hati, setiap kata adalah ujian kesetiaan. Aku belajar bahwa cinta tidak selalu adil, dan kebahagiaan bisa datang dari pilihan yang salah.
Apakah aku akan tetap menanggung belenggu ini… atau memberontak demi kebebasan hati?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nuna Nellys, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
25. Beratnya menjalani poligami
...0o0__0o0...
...“Jadi Kak Nesya menyesal ? Penyesalan memang selalu datang terlambat,” tukas Jingga tenang, tanpa mengubah ekspresi wajahnya....
...“Jangan banyak bicara, Jingga. Sekarang berikan surat kontrak itu dan segera pergi dari rumah ini! Aba dan Ummi tidak akan pernah setuju jika suami kita menceraikan kamu. Maka dari itu, lebih baik kamu yang pergi,” sergah Nesya, nadanya penuh emosi....
...Jingga hanya tersenyum tipis. “Bisa saja aku pergi sekarang, Kak. Aku akan lakukan dengan senang hati. Karena sejak awal, pernikahan ini hanya menimbulkan luka untuk kita semua. Tapi jangan lupa, yang di pertaruhkan di sini bukan hanya perasaan… melainkan juga masa depan ku.”...
...Jingga menatap Nesya lurus. “Dan satu hal lagi… bukankah Kak Nesya paham betul soal agama ? Aku masih sah menjadi hak suami kita. Jadi tidak mungkin aku pergi begitu saja tanpa izin Kak Langit.”...
...Nesya terdiam, wajahnya menegang....
...“Aku ingin terbebas dari drama ini. Tapi aku juga tidak mau berdosa hanya karena menuruti ego kita. Izinkan aku bicara langsung dengan suami kita. Kalau Kak Langit sendiri yang mengizinkan, maka aku akan angkat kaki dari rumah ini… dengan tenang,” lanjut Jingga, suaranya tetap lembut tapi mantap....
...Hening..!...
...Nesya menggenggam jemarinya erat, mencoba menahan gejolak di dadanya. Ia tahu, suaminya pasti tidak akan mudah melepaskan Jingga. Namun tekadnya sudah bulat. Ia langsung berbalik, keluar dari kamar dengan langkah cepat....
...0o0__0o0...
...Di ruang tamu, Ummi Ais lagi duduk tenang menunggu kedua menantunya untuk berangkat ke mushola....
...“Ummi… di mana suami ku ?” tanya Nesya setibanya di ruang tengah....
...“Sudah ke masjid, Nak. Kamu kenapa belum siap-siap ? Ayo kita ke mushola sama-sama,” jawab Ummi Ais sambil tersenyum lembut....
...Nesya menunduk, menarik napas panjang. “Maaf, Ummi. Sepertinya aku sholat ashar di rumah saja. Ummi berangkat duluan.”...
...“Baiklah,” jawab Ummi singkat. “Kalau begitu, Ummi ke mushola sama Jingga saja.”...
...Nesya menatap kepergian mereka, dadanya terasa sesak. Ada rasa iri yang begitu kuat melihat Jingga berjalan tenang di samping Ummi, sementara dirinya larut dalam kegelisahan....
...Begitu pintu rumah menutup, meninggalkan dirinya seorang diri, Nesya langsung terduduk di kursi ruang tamu. Nafasnya terengah, dada naik turun seperti menahan sesuatu yang begitu berat....
...Sunyi. Hanya detak jam dinding yang terdengar menusuk telinganya....
...Nesya menunduk, menatap jemarinya yang bergetar. “Kenapa aku merasa seperti ini…?” bisiknya lirih. Air mata mulai membasahi pipinya....
...Ia menggenggam kain gamisnya erat-erat, seolah mencari pegangan. “Aku istri pertama… aku yang menemani Abi Langit sejak awal. Tapi kenapa hatiku terus di selimuti rasa takut kehilangan ? Kenapa aku tidak bisa merasa cukup ?”...
...Bayangan wajah Jingga muncul di pikirannya—tenang, lembut, dan selalu mampu meraih hati orang-orang di sekitarnya, termasuk Ummi. Semakin ia ingat, semakin hatinya perih....
...“Tidak… aku tidak boleh kalah. Aku tidak boleh biarkan rumah tanggaku di ambil perlahan-lahan,” gumamnya sambil mengusap kasar air mata....
...Namun sekuat apapun ia menepis, suara hati kecilnya justru berbisik, "Bagaimana jika Abi Langit memilih untuk mempertahankan Jingga ? Bagaimana jika aku yang akhirnya tersisih ?"...
...Rasa takut itu membuat tubuhnya gemetar. Ia bangkit, berjalan mondar-mandir di ruang tamu, menahan sesak di dadanya....
...“Ya Allah… tunjukkan jalan ku. Aku tidak ingin hidup dalam iri, tapi aku juga tidak ingin kalah. Aku mencintainya… aku tidak sanggup kalau harus kehilangan suamiku.”...
...Ia berhenti tepat di depan jendela. Dari kejauhan, terlihat Ummi dan Jingga berjalan menuju mushola, berdampingan dengan damai. Pandangan itu menusuk hatinya seperti ribuan duri....
...Air mata kembali jatuh, kali ini tanpa bisa ia bendung....
...0o0__0o0...
...Di mushola kecil pesantren, lantunan ayat suci terdengar lembut memenuhi ruangan. Udara sore terasa tenang, menyapu wajah para jamaah yang mulai berdatangan untuk sholat ashar berjamaah....
...Ummi Ais masuk dengan langkah anggun, sementara Jingga berjalan di sampingnya. Wajah Jingga tampak berseri, sikapnya penuh sopan santun, membuat banyak pasang mata sejenak menoleh....
...“Assalamu’alaikum, Ummi…” sapa seorang ustazah sepuh sambil tersenyum hangat. Pandangan-nya lalu jatuh pada sosok di samping Ummi. “Masya Allah… ini putri siapa, Ummi ? Cantik sekali, auranya menenangkan.”...
...Ummi tersenyum sambil menepuk lembut tangan Jingga. “Ini menantu Ummi. Namanya Jingga, istri dari Gus Langit.”...
...Sekejap, bisik-bisik terdengar dari beberapa jamaah wanita dan ustazah muda yang hadir. Mereka saling pandang, lalu senyum mengembang....
...“Jadi ini istri Gus Langit ?” suara seorang ustazah muda terdengar kagum. “Masya Allah, pantas saja… dari wajahnya saja sudah terlihat teduh.”...
...Jingga merunduk malu, kedua tangannya meremas ujung kerudung. “Assalamu’alaikum… mohon bimbingannya, Bu Nyai, Ustazah,” ucapnya pelan, penuh hormat....
...Sikapnya yang rendah hati membuat beberapa ustazah semakin terkesan....
...“Wa’alaikumussalam, Nak. Sungguh beruntung pesantren ini memiliki menantu seperti mu. Sopan santun mu luar biasa,” kata seorang ustazah paruh baya sambil menepuk lembut bahu Jingga....
...“Betul. Kalau bukan diberi dasar agama yang baik, tidak mungkin bisa setenang ini,” timpal yang lain sambil tersenyum....
...Ummi Ais hanya mengangguk, matanya berbinar penuh kebanggaan. “Jingga memang masih muda, tapi hatinya lembut. Tolong bimbing dia, doakan dia, supaya bisa menjadi pendamping yang kuat untuk Langit.”...
...Jingga menunduk semakin dalam, wajahnya merona malu. Tapi sorot matanya memancarkan ketulusan....
...Suasana mushola sore itu terasa hangat. Beberapa ustazah bahkan dengan sukarela merapikan sajadah dan memberi tempat khusus di barisan shaf depan untuk Ummi Ais dan Jingga. ...
...Kehadiran Jingga seolah membawa ketenangan tersendiri, dan perlahan semua yang ada di mushola menghormatinya bukan hanya karena statusnya sebagai istri Gus Langit, tapi juga karena adab dan kelembutan-nya....
...0o0__0o0...
...Masjid pesantren itu masih dipenuhi jamaah yang sedang berzikir selepas sholat ashar. Cahaya sore menembus jendela-jendela kayu, menciptakan bayangan lembut di lantai marmer....
...Langit duduk bersila di saf depan, mencoba menenangkan diri setelah sholat. Namun gelisah di dadanya tak juga hilang. Ia menunduk, mengusap wajah dengan kedua tangannya....
...Dari arah samping, Abah-nya, perlahan menghampiri. Wajahnya teduh, namun sorot matanya dalam. Ia duduk di samping Langit, menepuk bahu putranya pelan....
...“Langit, anakku…” suara Abah rendah tapi penuh wibawa. “Abah tahu, hatimu sedang di guncang. Tapi dengarkan baik-baik apa yang Abah katakan.”...
...Langit menoleh, menatap ayahnya dengan mata yang menyimpan beban. “Abah… aku merasa rumah tanggaku di ujung jurang. Nesya tidak tahan hidup bersama Jingga. Ia meminta aku memilih. Aku bingung harus bagaimana.”...
...Abah terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang. “Nak… pernikahan bukan sekadar ikatan dua hati. Ia adalah amanah dari Allah. Dan poligami, yang kamu jalani, bukan perkara main-main. Itu syariat, bukan permainan perasaan.”...
...Langit menunduk makin dalam. “Tapi, Bah… Nesya benar-benar terluka. Aku takut kehilangan dia.”...
...Abah menatap lurus ke depan, suaranya tegas....
...“Dengarkan Abah baik-baik, Langit. Perceraian adalah perkara halal yang paling di benci Allah. Jangan engkau ringankan ucapan talak hanya karena tekanan emosi. Istrimu—baik Nesya maupun Jingga—keduanya adalah amanah. Jika engkau menceraikan salah satunya tanpa alasan syar’i, itu bukan hanya menyakiti manusia, tapi juga melukai hukum Allah.”...
...Langit terdiam, hatinya bergetar mendengar kalimat itu....
...“Poligami itu ujian, bukan kemewahan. Ujian kesabaran, keadilan, dan tanggung jawab. Kalau engkau tidak sanggup berlaku adil, maka itu akan menjadi fitnah untukmu. Tapi jika engkau lalui dengan sabar dan bijak, maka Allah akan angkat derajat mu.”...
...Abah menatap dalam ke mata putranya. “Anakku, dengarkan pesan Abah: jangan ada perceraian. Rangkul keduanya. Bimbing mereka dengan ilmu dan kasih sayang. Tugasmu bukan memilih, tapi menegakkan keadilan.”...
...Langit menelan ludah, dadanya sesak. Kata-kata sang Abah terasa berat, tapi penuh kebenaran....
...“Abah… kalau Nesya tetap bersikeras ingin aku dan Jingga berpisah ?” suaranya lirih....
...Abah menepuk bahunya lebih keras kali ini, seolah meneguhkan....
...“Maka tugasmu adalah menahan-nya dengan kelembutan, bukan mendorong-nya keluar. Jangan pernah mudah mengucap talak. Ingat, Langit… engkau bukan hanya suami bagi mereka, tapi juga teladan bagi santri, ustaz, dan umat yang memandang mu.”...
...Langit menutup wajah dengan kedua tangannya, bahunya bergetar. “Ya Allah… berat sekali ujian ini.”...
...Abahnya hanya tersenyum tipis, lalu berbisik, “Berat, tapi insya Allah engkau mampu, nak. Karena Allah tidak memberi ujian di luar batas hamba-Nya.”...
...Masjid sore itu kian lengang. Hanya tersisa beberapa santri yang masih duduk berzikir di pojok saf. Suasana hening membuat suara Abah terdengar semakin dalam, menggema di hati Langit....
...Abah menatap putranya lekat-lekat....
...“Langit, dengarkan Abah baik-baik. Dalam pernikahan, ada dua amanah besar yang wajib engkau jaga: nafkah lahir dan nafkah batin. Keduanya tidak boleh timpang, karena keduanya adalah hak seorang istri yang Allah wajibkan atas mu.”...
...Langit menunduk, kedua tangannya terkepal di atas lutut....
...“Lahir, artinya engkau mencukupi kebutuhan mereka—pakaian, makanan, tempat tinggal, keamanan. Sedangkan batin, artinya engkau memberi hak-hak seorang istri dalam rumah tangga: kasih sayang, perhatian, dan juga hubungan suami-istri yang halal. Itu bukan sekadar hawa nafsu, Nak… tapi ibadah yang akan di pertanggung jawabkan.”...
...Langit menelan ludah, hatinya makin gelisah. Ia mengangkat wajahnya, bersuara lirih....
...“Abah… bagaimana jika aku belum bisa menunaikan salah satunya ? Bukan karena enggan, tapi karena aku berjanji.”...
...Abah menatapnya tajam. “Apa maksud mu, Langit ?”...
...Langit menghela napas panjang, lalu berkata jujur dengan suara bergetar....
...“Sudah dua bulan aku menikah dengan Jingga… tapi aku belum pernah menyentuhnya. Bukan karena aku menolak, tapi karena aku berjanji tidak akan menyentuh-nya sebelum ada cinta yang tumbuh di antara kami. Aku tidak mau hubungan kami di mulai dari paksaan, Ba.”...
...Aba terdiam cukup lama. Sorot matanya berubah, ada rasa haru bercampur kecewa. Ia menepuk pundak Langit lagi, kali ini lebih lembut....
...“Anakku, Abah paham maksud mu. Engkau ingin menjaga perasaan, ingin membangun rumah tangga dengan cinta, bukan keterpaksaan. Itu niat yang baik. Tapi ingat, pernikahan itu bukan hanya tentang cinta, tapi juga tanggung jawab syar’i. Janji yang engkau buat jangan sampai membuat mu menzalimi istrimu, meski dengan niat yang mulia.”...
...Langit tercekat, menunduk semakin dalam....
...“Jika Jingga menuntut haknya sebagai seorang istri, engkau wajib menunaikan-nya. Kalau tidak, engkau berdosa. Dan jangan lupa, Nesya pun berhak mendapat perhatian yang sama. Maka, berlaku adillah. Jangan sampai sikap mu yang ingin menjaga malah menjadi sebab fitnah di kemudian hari.”...
...Air mata menitik dari sudut mata Langit. Ia berbisik lirih, “Berat sekali, Bah. Aku takut salah langkah.”...
...Abah mengusap punggung putranya penuh kasih....
...“Tidak ada rumah tangga yang tanpa luka, Nak. Tapi ingat… seorang lelaki di uji di titik terberatnya: adil pada istrinya, sabar dalam perasaan, dan istiqamah menunaikan hak-hak mereka. Nafkah lahir dan batin itu kewajiban mu, bukan pilihan. Cinta akan tumbuh seiring ridha Allah, selama engkau menjalaninya dengan ikhlas.”...
...Langit menutup wajahnya, air matanya semakin deras. “Ya Allah… tuntun aku, jangan biarkan aku menzalimi mereka.”...
...0o0__0o0...
Buat para readers...jangan lupa kasih dukungan dan buat yang tidak suka boleh skip tanpa julid.
Xixi buat kalian semua. 🥰