Menjadi istri kedua hanya untuk melahirkan seorang penerus tidak pernah ada dalam daftar hidup Sheana, tapi karena utang budi orang tuanya, ia terpaksa menerima kontrak pernikahan itu.
Hidup di balik layar, dengan kebebasan yang terbatas. Hingga sosok baru hadir dalam ruang sunyinya. Menciptakan skandal demi menuai kepuasan diri.
Bagaimana kehidupan Sheana berjalan setelah ini? Akankah ia bahagia dengan kubangan terlarang yang ia ciptakan? Atau justru semakin merana, karena seperti apa kata pepatah, sebaik apapun menyimpan bangkai, maka akan tercium juga.
"Tidak ada keraguan yang membuatku ingin terus jatuh padamu, sebab jiwa dan ragaku terpenjara di tempat ini. Jika bukan kamu, lantas siapa yang bisa mengisi sunyi dan senyapnya duniaku? Di sisimu, bersama hangat dan harumnya aroma tubuh, kita jatuh bersama dalam jurang yang tak tahu seberapa jauh kedalamannya." —Sheana Ludwiq
Jangan lupa follow akun ngothor yak ...
Ig @nitamelia05
FB @Nita Amelia
Tiktok @Ratu Anu👑
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ntaamelia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21. Mencari Alasan
Selesai makan malam, Felicia segera menghubungi suaminya. Dia ingin meminta penjelasan Ruben yang tak begitu detail dalam memberikan info kepadanya.
"Iya, Sayang," jawab Ruben di seberang sana, setelah panggilan itu berhasil terhubung.
"Kamu di mana?" tanya Felicia dengan cepat.
"Aku di jalan arah pulang, hujannya sudah reda nih, kenapa? Kamu sudah rindu padaku ya?" jawab Ruben sambil menggoda Felicia, padahal saat ini dia sedang makan malam di kamar dengan Sheana.
Saat itu Sheana hanya menyimak saja, tanpa menimbulkan suara sedikit pun.
"Kalau begitu alihkan panggilan ini ke video," ucap Felicia yang tak ingin dibodohi oleh Ruben.
Deg!
Sheana langsung terbelalak. Sementara Ruben masih menyikapi istrinya dengan tenang. Dia melirik Sheana dan menyunggingkan senyum tipis saat melihat wajah pias itu.
"Sabar ya, jalanan licin, Fel, aku tidak bisa memegang handphone. Aku takut terjadi sesuatu yang tidak diinginkan," balas Ruben dengan penuh kelembutan. Berbanding 180 derajat ketika dia bicara dengan Sheana.
"Aku mau sekarang, Ruben! Tepikan mobilmu!" seru Felicia yang tidak sabaran.
Tok ... Tok ... Tok ...
Tiba-tiba kamar Felicia diketuk, wanita itu langsung mengalihkan perhatiannya pada benda persegi panjang itu. Detik selanjutnya wajah Sandra menyembul, beruntung Felicia masih duduk di kursi rodanya.
Terpaksa Felicia menurunkan ponselnya terlebih dahulu. Sebuah kesempatan untuk Ruben pergi dari rumah Sheana. Pria itu langsung tergesa-gesa.
Di situ Sheana benar-benar merasakan bagaimana rasanya menjadi istri kedua yang tidak lebih penting perannya.
"Ada apa, Ma?" tanya Felicia dengan kening mengernyit. Tidak biasanya Sandra menemuinya tanpa Ruben. Apakah wanita paruh baya ini ingin mengajaknya berdebat lagi?
Sandra menyerahkan sebuah paper bag mini kepada Felicia. "Ini ramuan dari teman Mama, katanya bagus untuk menyuburkan rahim. Cobalah ... siapa tahu dengan mengonsumsi itu, kalian cepat punya bayi." Jelas Sandra sambil mengulum senyum.
Felicia mengeluarkan isi paper bag tersebut. Benar, ada satu pack rempah-rempah yang entah campurannya apa saja. Dan bisa dikatakan mirip dengan jamu tradisional.
"Kenapa Mama tiba-tiba ingat padaku?"
"Ya, karena Ruben anakku, kasihan kan kalau dia tidak punya keturunan. Nanti siapa yang mewarisi ketampanan, kepintaran, dan kekayaannya?" papar Sandra sambil tersenyum menunjukkan giginya. Menyombongkan segala apa yang dimiliki putranya.
Felicia benci mendengarnya. Sampai dia berdecih di dalam hati.
"Baiklah, nanti aku minum," ujar Felicia dengan singkat. Karena tak mau berlama-lama berinteraksi dengan ibu mertuanya.
"Kita buktikan keampuhan ramuan itu," jawab Sandra seakan mengajak taruhan. Wanita itu hanya mengangguk dengan tampang yang sudah bosan, untuk itu Sandra langsung meninggalkan kamar Felicia.
Dan Felicia kembali ke panggilan Ruben, dia melemparkan paper bag tadi ke sofa. Baginya semua itu tidak penting, toh dia hanya akan pura-pura hamil.
"Halo!"
"Iya, Sayang, tadi ada apa? Kok aku mendengar suara Mama?"
"Cepat alihkan panggilan ini ke video!" seru Felicia, tak menggubris pertanyaan suaminya. Ruben yang sudah ada di jalan raya lantas menepikan kendaraannya. Dia menurut dengan mengalihkan panggilan ke video dan menyoroti jalanan yang diisi kendaraan berlalu lalang dan lampu-lampu yang menyala.
"Aku benar-benar sudah di jalan, Sayang, bagaimana kamu sudah puas?" tanya Ruben. "Tadi aku hanya mampir ke rumah Sheana untuk meneduh sekalian makan malam. Setelah hujan reda, aku langsung tancap gas lagi." Lanjutnya, pintar sekali mencari alasan supaya dia tetap mendapatkan kepercayaan Felicia.
Felicia menghela nafas kasar. Padahal dia sudah berusaha mengontrol emosinya sesuai nasehat Tasya, karena dia juga takut, jika dia selalu marah-marah pada Ruben, Ruben malah akan terpincut pada Sheana.
"Ya sudah kamu hati-hati, aku tunggu di rumah ya," balas Felicia mengakhiri rasa penasarannya.
Ruben tersenyum manis. "Iya, Sayang. Mau aku bawakan sesuatu?"
"Tidak, tidak perlu!"
"Oke, i love you."
"I love you, Ben."
Setelah itu panggilan pun langsung diputus oleh Felicia. Ruben tersenyum tipis, lalu kembali menjalankan mesin mobilnya untuk melanjutkan perjalanan.
Sedangkan Sheana tampak berdiri di depan jendela. Melihat hujan yang masih setia turun ke bumi sambil memegangi perutnya. Akan seperti apalagi takdir ke depannya? Benarkah akan ada sisa kebahagiaan untuknya?
*
*
*
Sheana telah membuat sebuah ruangan khusus untuk membaca, dan tentunya atas seizin Ruben. Setiap hari dia menghabiskan waktu di sana, bahkan terkadang sampai ketiduran.
Tok ... Tok ... Tok ...
Tanpa mengalihkan perhatiannya, Sheana langsung berseru. "Masuk!" Karena dia pikir pelayan yang datang. Namun, ternyata dugaannya salah, Luan membuka benda persegi panjang itu dengan hati-hati dan menutupnya dengan gerakan yang sama.
"Nyonya!" panggil Luan.
Deg!
Sheana terhenyak saat mendapati pemuda yang biasanya berjaga di depan kini sudah ada di hadapannya. Dia menoleh ke arah pintu, dan ternyata benar-benar hanya Luan yang datang.
"Untuk apa kamu datang kemari, Lu?" tanya Sheana, dengan wajah yang tergambar cemas.
Bukannya menjawab, Luan justru memperhatikan wajah Sheana dan seluruh tubuh wanita itu. Tidak ada maksud lain, dia hanya khawatir semalam Ruben berbuat buruk pada Sheana sampai membuat wanita itu tak keluar dari kamar.
"Apakah Tuan Ruben menyakiti, Anda?" tanya Luan dengan tatapan teduhnya.
Sheana menelan salivanya dengan kasar. Dibilang menyakiti, Ruben sama sekali tak memberikan kekerasan apapun padanya. Justru dia hanya merasakan kelembutan, ya meski hanya di atas ranjang.
"Tidak," jawab Sheana seraya menggeleng.
"Anda tidak bohong kan, Nyonya?" Luan menyelami tatapan Sheana.
"Tidak, Lu, dia tidak melakukan apapun padaku."
"Syukurlah ... dari semalam saya sudah cemas, takut jika Nyonya diperlakukan tidak baik oleh Tuan. Ternyata pikiran saya salah," balas Luan menunjukkan sebuah perhatian yang memang sudah Sheana rasakan sejak lama.
"Kamu tidak perlu berpikir berlebihan. Tuan Ruben sudah mulai berubah sedikit demi sedikit, aku yakin sebentar lagi dia tidak akan mudah marah," ujar Sheana, dia sama sekali tidak risih dengan keberadaan Luan. Hanya saja terkadang dia takut pertemuan mereka dilihat orang lain.
"Saya lega mendengarnya, Nyonya. Kalau begitu saya pamit keluar ya ... oh iya, di taman belakang ada bunga yang baru saya beli, Nyonya pasti menyukainya, karena bunga itu sangat cantik," balas Luan, tatapan matanya seperti tengah mendeskripsikan bahwa bunga itu adalah Sheana.
Sheana langsung mengangguk. Dia senang karena Luan selalu tahu apa yang membuat dirinya tersenyum lebar.
"Terima kasih banyak, Lu, ini sudah kesekian kalinya kamu memberiku hadiah. Lain waktu aku akan membalasnya."
"Sama-sama, Nyonya, saya senang Anda berkenan menerimanya." Setelah itu Luan langsung pamit untuk keluar dari ruangan itu. Sementara Sheana masih betah duduk dan menyelesaikan desain yang telah dia buat sambil tersenyum-senyum.
*
*
*
jadi ketagihan sma yg baru kan .... wah ternyata