NovelToon NovelToon
Kau Dan Aku Selamanya

Kau Dan Aku Selamanya

Status: sedang berlangsung
Genre:Selingkuh / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Crazy Rich/Konglomerat / Pelakor / Cinta Seiring Waktu / Suami Tak Berguna
Popularitas:5.9k
Nilai: 5
Nama Author: Seraphine E

Hidup Audy runtuh ketika pengkhianatan dalam rumah tangganya terbongkar. Di tengah luka yang menganga, kariernya justru menuntutnya berdiri tegak memimpin proyek terbesar perusahaan. Saat semua terasa mustahil, hadir Dion—direktur dingin yang perlahan menaruh hati padanya, menjadi sandaran di balik badai. Dari reruntuhan hati dan tekanan ambisi, Audy menemukan dirinya kembali—bukan sekadar perempuan yang dikhianati, melainkan sosok yang tahu bagaimana melawan, dan berhak dicintai lagi.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seraphine E, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 3

Langkah Audy terdengar berat ketika dia keluar dari taksi, menyeret koper yang kini terasa lebih mirip beban masa lalu ketimbang sekadar wadah pakaian. Malam sudah turun sepenuhnya, udara lembap Jakarta menempel di kulitnya. Ada kelelahan yang menekan bahunya, namun di sela rasa letih itu, terselip juga sebuah kelegaan tipis. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, dia terbebas dari intrik kotor di kantornya—dari permainan licik yang tidak pernah memberi jalan bagi kerja kerasnya untuk benar-benar dihargai.

Rumah yang selama ini menjadi pelariannya tampak lengang. Lampu teras belum dinyalakan, membuat bayangan pepohonan di halaman memanjang seperti tangan hitam yang menggapai. Audy mengernyit. Chandra seharusnya sudah pulang… kenapa rumah segelap ini?

Namun saat dia mendekat, samar-samar terdengar percakapan dari dalam. Tawa. Nada akrab, nyaris intim. Dahinya berlipat. Ada sesuatu yang tidak beres.

Dengan hati yang mulai digelayuti curiga, Audy membuka pintu. Matanya langsung menangkap pemandangan yang menohok: Jenny, adik tirinya, duduk di ruang tamu bersama Chandra. Mereka bercanda, tawa mereka menyatu seolah rumah itu hanya milik berdua.

“Jen? Kapan kamu datang?” suara Audy pecah, setengah heran, setengah terkejut.

Jenny tersentak, tubuhnya kaku bagai pencuri yang tertangkap basah. “Loh, Kak? Kok Kakak ada di sini? Bukannya Kakak di Singapura?” suaranya gugup, lidahnya tergagap.

Audy memandangnya tajam sebelum akhirnya menjawab dengan tenang, meski ada getir terselip di ujung kalimatnya. “Perjalanan Kakak dibatalkan. Dan… Kakak juga sudah mengundurkan diri dari kantor.”

Jawaban itu seketika membuat Chandra bangkit dari sofa, wajahnya tegang. “Apa?? Kamu berhenti kerja?!” suaranya meninggi, lebih seperti tuduhan daripada pertanyaan.

Audy berdiri tegak, meski hatinya lelah. “Iya, Mas. Ngapain aku bertahan di tempat yang nggak pernah hargain aku?”

Tapi bukannya menenangkan, Chandra justru meradang. “Kalau kamu berhenti kerja, terus biaya hidup kita gimana? Kamu tahu sendiri penghasilan aku jauh dari cukup!”

Sebuah ironi pahit menusuk Audy. Dia baru saja melepaskan belenggu kantor demi menjaga harga dirinya, tapi kini rumahnya sendiri memperlakukannya seolah ia tak lebih dari mesin pencetak uang.

“Tenang aja, Mas. Kita nggak akan sampai kelaparan. Aku bisa cari kerjaan lain.”

Namun Chandra menolak berhenti. “Iya, tapi di mana lagi kamu bisa dapat gaji sebesar di kantor kamu sekarang? Pokoknya kamu harus balik kerja di sana! Terserah deh caranya, tapi kamu nggak boleh resign!”

Kata-kata itu, penuh tekanan, menghantam Audy lebih keras daripada bentakan siapa pun di kantornya. Dadanya bergemuruh.

“Mas!!! Kamu sadar nggak sama yang barusan kamu omongin?” teriaknya, matanya basah oleh amarah yang ditahan terlalu lama. “Kamu lebih suka aku diinjak-injak di kantor lama aku? Iya?! Lebih suka aku diperlakukan nggak adil, asal uangnya jalan?”

Chandra tercekat, kehilangan kata-kata. “B-bukan begitu. Aku cuma… sayang sama jenjang karier kamu. Mungkin kamu bisa pikirin dulu baik-baik,” katanya, kini suaranya melunak, hampir seperti merayu.

Audy menepis tangannya kasar. Ada dinding yang tiba-tiba tumbuh di antara mereka. “Udahlah, Mas. Aku capek. Mau istirahat. Dan kamu, Jen… sebaiknya kamu juga pulang.”

Dia tidak menunggu jawaban. Dengan langkah tegas meski hatinya bergetar, Audy menaiki tangga menuju lantai dua, meninggalkan mereka berdua dalam ruang tamu yang mendadak terasa pengap.

Dari atas, dia bisa merasakan tatapan yang dilemparkan kepadanya—tatapan kesal, penuh ganjalan, seolah kehadirannya baru saja menggagalkan sesuatu yang mereka rencanakan.

Audy menghela napas panjang. Dia merasa akan ada badai lain yang menghantam.

Tapi malam itu, dia memilih menutup pintu kamarnya, membiarkan dunia di luar sana berkecamuk tanpa dirinya.

***

Pagi itu, cahaya matahari merambat pelan melalui celah gorden kamar Audy, mengusir sisa gelap yang masih bergelayut. Namun bukan cahaya itu yang membangunkannya, melainkan suara dering ponselnya yang meraung tanpa ampun. Audy mengerjap, meraih ponsel dengan mata masih berat, dan hampir saja terlonjak ketika melihat layar—185 panggilan tidak terjawab.

Nama-nama yang terpampang di sana bukan sekadar nomor asing, melainkan deretan rekan kerja, bahkan beberapa direktur yang biasanya terlalu sibuk untuk sekadar menghubunginya. Jantung Audy berdegup kencang. Ada sesuatu yang jelas-jelas tidak beres.

Dengan jari gemetar, dia menekan salah satu kontak: Yunita, sahabat sekaligus kolega yang paling dia percayai di kantor. Panggilan baru sempat berdering sekali ketika suara Yunita terdengar, tergesa dan nyaris panik.

“Audy! Akhirnya aku bisa hubungin kamu juga.... Dy, Kamu harus ke kantor sekarang juga!”

Audy mengernyit, duduk tegak di ranjang, rasa kantuk lenyap seketika. “Ngapain? Kan aku sudah resign?”

Di seberang, terdengar helaan napas panjang, nyaris putus asa. “Itu dia masalahnya. Pengunduran diri kamu… ditolak. Dewan komisaris sudah turun tangan. Mereka minta kamu datang untuk menyelesaikan proyek itu.”

Kata-kata Yunita menggema di kepala Audy, membuat dadanya terasa sesak. Dia terdiam, mencoba mencerna apa yang baru saja didengarnya. Ditolak? Apa lagi yang mereka inginkan?

“Yun, aku nggak ngerti. Aku sudah serahin surat resign. Aku sudah pamit dari Teddy. Kenapa sekarang mereka…?” suaranya tercekat, di antara bingung dan marah.

Yunita menurunkan nada suaranya, nyaris seperti bisikan. “Presentasi Laura di Singapura berantakan, klien besar marah, dan sekarang semua orang panik. Mereka butuh kamu. Mereka nggak punya pilihan lain.”

Audy terdiam lagi. Ada semacam rasa puas yang dingin merayap di hatinya, bercampur dengan getir yang menusuk. Baru kali ini, semua mata di kantor itu menoleh padanya—bukan untuk meremehkan, bukan untuk menginjak, melainkan untuk memohon. Ironisnya, itu terjadi justru ketika dia sudah memilih pergi.

Dia menatap ponsel di tangannya, deretan panggilan tak terjawab masih terpampang seperti jejak kepanikan yang nyata. Satu sisi hatinya berteriak ingin membiarkan mereka semua menanggung akibat dari ketidakadilan yang selama ini mereka pelihara. Tapi sisi lain… ada bisikan lembut, entah dari mana, yang membuat dadanya bergetar: kesempatan balas dendam kini benar-benar ada di genggamannya.

Audy memejamkan mata, membiarkan napasnya tertahan sejenak. Untuk pertama kalinya, dia yang memegang kendali.

"Oke Nit, aku ke kantor hari ini" jawab Audy pada akhirnya.

***

Audy berdiri terpaku di depan gedung tinggi yang menjulang angkuh, seakan menantangnya dengan ribuan jendela kaca yang berkilau di bawah cahaya matahari. Gedung itu adalah saksi bisu perjalanan kariernya—tempat ia pernah bermimpi, terluka, dan akhirnya memilih pergi.

Begitu melangkah masuk ke lobi, hawa tegang segera menyergap. Udara seakan dipenuhi bisik-bisik resah, tatapan orang-orang yang terhenti pada dirinya. Beberapa karyawan menunduk, sebagian lain saling berbisik lirih, seakan kedatangannya adalah sebuah kabar besar yang tak pernah mereka duga.

Dari arah lift, Yunita muncul terburu-buru, wajahnya letih, mata sembab seperti kurang tidur berhari-hari. Begitu melihat Audy, dia berlari kecil dan meraih tangannya, seolah menemukan secercah cahaya di tengah kekacauan.

“Audy… akhirnya kamu datang juga, semua udah nungguin dari tadi” suara Yunita bergetar, penuh kelegaan.

Audy menatap sahabatnya itu, alisnya mengerut. “Kamu keliatan kacau banget, Nit.” Katanya pelan, matanya menelusuri wajah Yunita yang tampak jauh lebih tua dari terakhir kali mereka bertemu.

“Ini bukan kacau lagi, Dy. Ini tuh bencana.” Yunita menelan ludah, suaranya hampir pecah. “Pak Teddy sudah dipecat. Dan sekarang, dewan direksi lagi mati-matian melobi investor asing agar mereka nggak batalin kontrak kerja sama. Semua orang panik.”

Audy tertegun, langkahnya berhenti di tengah lobi yang mendadak terasa membeku. “Pak Teddy… dipecat?” suaranya pelan, nyaris tak percaya. Sosok Teddy—yang dulu begitu pongah, begitu merasa berkuasa—dilengserkan begitu saja?

“Iya. Dan itu baru awalnya doang,” jawab Yunita cepat, menatap sekeliling dengan gelisah seolah setiap dinding punya telinga. Dia menggenggam tangan Audy lebih erat. “Kita nggak bisa lama-lama di sini. Dewan direksi sudah nungguin kamu di ruang meeting. Yuk buruan.”

***

Mereka sampai di depan pintu besar ruang meeting. Dua daun pintu kayu berlapis pernis mengilat berdiri kokoh, dijaga oleh keheningan yang pekat. Yunita menelan ludah, lalu mendorong pintu itu perlahan.

Begitu pintu terbuka, seketika semua percakapan terhenti. Puluhan pasang mata berbalik serentak, menatap ke arah Audy. Beberapa wajah penuh kelelahan, sebagian lain menyiratkan keputusasaan, dan sisanya—dingin, namun menyimpan harapan yang nyaris putus. Namun ada satu sosok yang asing dimata Audy, tampak memperhatikannya secara intens. Menepis rasa penasarannya, Audy berdiri di ambang pintu, tubuhnya tegak, tatapannya tajam menelusuri ruangan. Sejenak, keheningan itu terasa seperti kilat sebelum badai.

Di ujung meja panjang berlapis kaca, para direktur menunduk seolah enggan menantang matanya. Seorang komisaris senior bahkan menghela napas panjang, lalu bersuara, “Silahkan duduk Bu Audy, bisa kita mulai meeting hari ini?"

"Baik pak" jawab Audy sambil mengangguk dan mengambil tempat duduk yang telah disediakan untuknya.

***

1
Widya Herida
lanjutkan thor ceritannya bagus
Widya Herida
lanjutkan thor
Sumarni Ukkas
bagus ceritanya
Endang Supriati
mantap
Endang Supriati
engga bisa rumah atas nama mamanya audi.
Endang Supriati
masa org penting tdk dpt mobil bodoh banget audy,hrsnya waktu dipanggil lagi nego mau byr berapa gajinya. nah buka deh hrg. kebanyakan profesional ya begitu perusahaan butuh banget. td nya di gaji 15 juta minta 50 juta,bonus tshunanan 3 x gaji,mobil dst. ini goblog amat. naik taxi kwkwkwkwkkk
Endang Supriati
audy termasuk staff ahli,dikantor saya bisa bergaji 50 juta dpt inventaris mobil,bbm,tol,supir,by perbaikan mobil di tanggung perusahaan.bisa ngeclaim entertaiment,
Endang Supriati
nah itu perempuan cerdas,sy pun begitu proyek2 sy yg kerjakan laporan 60 % sy laporkan sisanya disimpan utk finslnya.jd kpu ada yg ngaku2 kerjja dia,msmpus lah.
Syiffa Fadhilah
good job audy
Syiffa Fadhilah
sukur emang enak,, menghasilkan uang kaga foya2 iya selingkuh lagi dasar kadal
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!