Alea, seorang wanita muda dan cantik, terpaksa menikahi Rian melalui perjodohan. Namun, kebahagiaan yang diharapkan pupus ketika Rian mengkhianatinya dengan berselingkuh dengan Gina. Patah hati, Alea memutuskan untuk bercerai dan meninggalkan Rian. Takdir berkata lain, bis yang ditumpangi Alea mengalami kecelakaan tragis. Di tengah kekacauan, Alea diselamatkan oleh Ben, seorang pria berkarisma dan berstatus sebagai bos besar yang dikenal dingin dan misterius. Setelah sadar, Alea mendapati dirinya berada di rumah mewah Ben. Ia memutuskan untuk berpura-pura hilang ingatan, sebuah kesempatan untuk memulai hidup baru. Ben, yang ternyata diam-diam mencintai Alea sejak lama, memanfaatkan situasi ini. Ia memanipulasi keadaan, meyakinkan Alea bahwa ia adalah kekasihnya. Alea, yang berpura-pura hilang ingatan tentang masa lalunya, mengikuti alur permainan Ben. Ia berusaha menjadi wanita yang diinginkan Ben, tanpa menyadari bahwa ia sedang terperangkap dalam jaring-jaring cinta dan kebohongan. Lalu, apa yang akan terjadi ketika ingatan Alea kembali? Apakah ia akan menerima cinta Ben, atau justru membenci pria yang telah memanipulasinya? Dan bagaimana dengan Rian, apakah ia akan menyesali perbuatannya dan berusaha merebut Alea kembali?
RIAN MELAMAR GINA
Setelah napasnya mulai teratur dan tenaganya sedikit pulih, Rian perlahan bangkit dari atas tubuh Gina. Ia tersenyum lembut padanya, lalu berjalan menuju celananya yang tergeletak di lantai. Dengan gerakan hati-hati, ia merogoh saku celananya dan mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna biru tua.
Rian kembali mendekati Gina, berlutut di samping ranjang. Ia mengulurkan kotak biru itu padanya, matanya berbinar penuh harap.
"Untukmu," ucap Rian dengan suara yang sedikit bergetar.
Gina menatap kotak itu dengan bingung, lalu beralih menatap Rian. Ia bisa melihat ketegangan dan harapan di mata pria yang dicintainya itu. Dengan ragu, ia menerima kotak itu dari tangan Rian.
"Apa ini?" tanya Gina dengan suara berbisik.
Rian tersenyum semakin lebar. "Buka saja," jawabnya.
Dengan jantung berdebar kencang, Gina membuka kotak biru itu. Di dalamnya, terbaring sebuah cincin berlian yang berkilauan indah. Mata Gina terbelalak, mulutnya terbuka tanpa bisa mengeluarkan sepatah kata pun. Ia menatap cincin itu, lalu kembali menatap Rian dengan tatapan tak percaya.
"Gina," ucap Rian, meraih tangan Gina dan menggenggamnya erat. "Maukah kau menikah denganku?"
Mata Gina berkaca-kaca menatap cincin berlian di tangannya. Hatinya bergejolak antara bahagia dan ragu. Ia memang mendambakan Rian menjadi miliknya seutuhnya, namun ada ganjalan yang membuatnya tak bisa sepenuhnya bahagia.
"Rian," ucap Gina dengan suara bergetar, "aku... aku tidak bisa."
Rian mengerutkan keningnya, bingung. "Tidak bisa? Kenapa?"
Gina menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. "Aku tidak bisa menerima ini kalau kamu masih terikat dengan Alea. Aku ingin kamu menjadi milikku seutuhnya, tanpa ada bayang-bayang masa lalu."
Rian terdiam sejenak, mencerna kata-kata Gina. Ia mengerti apa yang diinginkan wanita itu, namun ada hal yang membuatnya ragu.
"Aku akan menceraikan Alea," jawab Rian dengan suara pelan. "Tapi tidak sekarang. Ada waktu yang tepat untuk melakukan itu. Sekarang, yang kuinginkan hanyalah kamu."
Gina menatap Rian dengan tatapan menyelidik. Ia mencoba mencari kejujuran di mata pria itu. "Kapan? Kapan waktu yang tepat itu akan tiba? Aku tidak mau terus menunggu dalam ketidakpastian."
Rian menggenggam tangan Gina semakin erat. "Percayalah padaku. Aku akan melakukannya. Tapi untuk saat ini, bisakah kamu menerimaku apa adanya? Bisakah kamu percaya bahwa aku hanya menginginkanmu, meskipun aku belum sepenuhnya bebas?"
Senyum misterius mengembang di bibir Gina, membuat Rian semakin bingung. Ia tidak mengerti apa yang ada di pikiran wanita itu.
"Aku mengerti," ucap Gina dengan nada yang sulit ditebak. "Kamu lakukan bagianmu, dan aku akan melakukan bagianku."
Rian mengerutkan keningnya. "Maksudmu?"
Gina meraih tangan Rian dan menggenggamnya erat. "Apapun yang aku lakukan dengan 'bagianku', kamu tidak boleh melarangnya."
Rian terkejut mendengar perkataan Gina. Ia merasa ada sesuatu yang aneh, sesuatu yang tidak beres. "Apa yang akan kamu lakukan?" tanyanya dengan nada khawatir.
Gina hanya tersenyum tanpa menjawab. Ia mendekatkan wajahnya ke wajah Rian, lalu mencium bibirnya dengan lembut.
"Percayalah padaku," bisik Gina di sela ciumannya. "Semua akan baik-baik saja."
Rian terdiam sejenak, menatap mata Gina yang penuh misteri. Ia merasa ada sesuatu yang disembunyikan wanita itu, namun ia tak bisa menahannya. Hasratnya terlalu besar, cintanya terlalu dalam.
"Baiklah," jawab Rian dengan suara serak. "Aku setuju."
Senyum kemenangan terukir di bibir Gina. Ia menarik Rian ke dalam pelukannya, lalu melumat bibirnya dengan penuh nafsu. Rian membalas ciuman itu dengan liar, melupakan segala keraguan dan kekhawatiran yang menghantuinya.
Ciuman mereka semakin dalam dan panas, membawa mereka kembali ke dalam pusaran gairah yang tak terkendali. Rian merasakan tubuh Gina bergetar hebat, tanda bahwa wanita itu sudah siap untuk menyerahkan diri sepenuhnya.
Tanpa menunggu lebih lama lagi, Rian mengangkat tubuh Gina dan membawanya kembali ke atas ranjang. Ia menindih tubuhnya, menciumi setiap inci kulitnya dengan penuh nafsu. Gina hanya bisa mendesah pasrah, menikmati setiap sentuhan yang diberikan Rian.
Rian terus memacu dirinya, merasakan setiap denyutan di tubuhnya yang semakin menggila. Gina menggeliat di bawahnya, napasnya tersengal-sengal, dan tubuhnya basah oleh keringat. Ia tak tahu sudah berapa kali wanita itu mencapai puncak kenikmatannya, yang ia tahu hanyalah ia ingin terus memberikan yang terbaik untuknya.
Gina mencengkeram punggung Rian dengan erat, mencoba menyeimbangkan diri di tengah badai yang menerjangnya. Setiap sentuhan Rian terasa semakin dalam dan membakar, membuatnya merasa seperti terbakar hidup-hidup.
"Rian..." desah Gina, suaranya nyaris tak terdengar di antara erangan yang saling bersahutan.
Rian tidak menjawab. Ia hanya terus memacu dirinya, mengikuti instingnya yang paling primal. Ia ingin membawa Gina ke puncak tertinggi, merasakan ledakan kenikmatan yang akan mereka ingat selamanya.
Gina kembali menjerit keras, tubuhnya menegang lalu melemas seketika. Ia mencapai puncaknya lagi, merasakan kebahagiaan yang luar biasa. Rian terus memacu dirinya hingga akhirnya ia pun ikut mencapai klimaksnya.
Mereka berdua terkapar lemas di atas ranjang, napas mereka terengah-engah, tubuh mereka basah oleh keringat. Mereka saling berpelukan erat, menikmati kebersamaan mereka setelah badai gairah yang baru saja berlalu.
Setelah napasnya mulai teratur, Rian mengeratkan pelukannya pada Gina. Ia mencium rambutnya yang basah, lalu berbisik lembut di telinganya, "Aku sangat mencintaimu, sayang."
Gina mendongak, menatap Rian dengan tatapan penuh cinta. Senyum kecil menghiasi bibirnya. "Kamu memang hebat di ranjang, sayang," godanya.
Namun, senyum itu perlahan memudar, digantikan oleh keraguan. "Apa kamu seperti ini juga kepada Alea?" tanyanya dengan nada cemburu.
Rian terdiam sejenak, lalu menggelengkan kepalanya dengan tegas. "Tidak," jawabnya. "Selama satu tahun menikah, aku tidak pernah sekalipun menyentuh Alea. Satu-satunya wanita bagiku hanyalah kamu, Gina."
Mata Gina berbinar mendengar pengakuan Rian. Ia merasa lega dan bahagia. Ia tahu, Rian benar-benar mencintainya.
"Benarkah?" tanya Gina, memastikan.
Rian mengangguk, lalu mencium bibir Gina dengan lembut. "Sungguh. Kamu adalah satu-satunya wanita yang ada di hatiku."
Gina membalas ciuman Rian dengan penuh gairah. Ia merasa seperti wanita paling beruntung di dunia. Ia memiliki Rian, pria yang sangat ia cintai, dan pria itu hanya mencintainya seorang.