"Pasar tidak mengenal itu, hutang tetaplah hutang"
"Kalau anda manusia, beri kami sedikit waktu"
"Kau terlalu berani Signorina Ricci"
"Aku bukan mainan mu"
"Aku yang punya kendali atas dirimu"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Saskya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ketemu Psikiater
Suara gemerisik pakaian pelayan dan denting perak dari ruang makan jauh di bawah terasa seperti dunia lain. Di dalam kamar suite Kairos, waktu terasa mengeras, padat oleh penderitaan.
Kairos tidak lagi terduduk. Tubuhnya melingkari sendiri di sudut ruangan, wajahnya terkubur dalam lutut, seluruh tubuhnya diguncang gemetar yang tak terkendali.
Napasnya bukan lagi tersengal, melainkan rintikan pendek dan dangkal yang nyaris hiperventilasi, disela oleh suara teriakan kecil yang tercekik setiap kali ia menarik napas, seolah dadanya dililit kawat berduri.
"Tidak... jangan... cukup..." kata-kata itu keluar dari mulutnya dalam desisan yang patah-patah, tidak koheren, berbicara pada hantu-hantu di kepalanya.
Dr. Artha tidak lagi berlutut.
Dia duduk bersila di lantai di hadapannya, menjaga jarak yang cukup untuk tidak membuatnya merasa terjebak, tetapi cukup dekat untuk menjadi penjangkarnya.
"Kairos," suara Dr. Artha sangat tenang, memotong pusaran paniknya seperti pisau bedah yang tajam.
"Aku di sini. Kamu sedang mengalami serangan panik. Kamu aman. Kamu tidak sendirian."
Tidak ada respon selain gemetaran yang semakin menjadi.
"Kairos, aku perlu kau merasakan lantai di bawahmu. Tekankan telapak tanganmu ke lantai. Rasakan dinginnya marmer itu. Katakan padaku apa yang kau rasakan."
Perintahnya jelas dan tegas, dirancang untuk menariknya keluar dari kepalanya dan masuk ke tubuhnya.
Sebuah erangan keluar dari Kairos.
Tangannya, yang mencengkram lengannya sendiri begitu kencang hingga knuckles-nya memutih, perlahan melepas cengkeraman dan menekan ke lantai. "D...dingin," dia terisak, setiap kata adalah sebuah perjuangan.
"Bagus. Sekarang, sebutkan satu hal yang kau cium."
"B...bau whiskeyku yang tumpah."
"Baik. Sekarang, buka matamu, Kairos. Lihat sekelilingmu. Sebutkan satu warna yang kau lihat."
Kepalanya bergoyang pelan, seolah terlalu berat.
"H...hitam," bisiknya, mengacu pada celana panjangnya.
"Warna lain."
"E...emas." Dari bingkai lukisan.
Proses itu terasa lambat dan menyiksa. Dr. Artha dengan sabar terus membimbingnya, memaksanya untuk tetap terhubung dengan ruangan, dengan suaranya, dengan sensasi fisik apapun untuk merobeknya dari cengkeraman memori traumatis yang sedang menyantapnya hidup-hidup.
“Kamu memukulnya, ya? Nona Ricci. Dia membawa semuanya kembali,” ujar Dr. Artha. Suaranya netral, tenang, tanpa menghakimi.
Tiba-tiba, tangisan parau pecah dari Kairos. Tubuhnya gemetar, suara yang keluar terdengar seperti seruan orang yang terperangkap di dalam mimpi buruk.
“Aurora… wajahnya! Luka-luka itu… matanya penuh ketakutan!” jeritnya, napas terputus-putus. “Dia babak belur dan aku nggak bisa hentikan itu! Aku telat! Sama seperti dulu… aku nggak bisa apa-apa!”
Tangan Kairos menghantam dahinya sendiri dengan tumit telapak, sekali, dua kali.
Setiap pukulan adalah cambuk bagi dirinya, dihantui rasa bersalah yang menyesakkan karena Aurora tersiksa dan trauma lama yang pernah merenggut orang-orang yang ia cintai kembali menelan kewarasannya.
Dr. Artha bergerak cepat, dengan lembut namun mantap menahan lengannya sebelum ia melukai diri lebih jauh.
“Tidak, Kairos. Lihat aku.” Suaranya rendah, kokoh, namun mengandung kehangatan yang menyalakan secercah kendali.
“Kamu tidak di sana. Kamu tidak lagi bocah tak berdaya itu. Kamu di sini, bersamaku. Aurora masih hidup. Kamu sudah melakukan sesuatu, kamu menghentikan Gabriel. Kamu melindunginya.”
Nafas Kairos terhuyung, matanya berair, masih dipenuhi ketakutan yang melekat.
“Kamu adalah Kairos Valente,” lanjut Dr. Artha, tegas namun menenangkan.
“Seorang pria dewasa. Kamu selamat. Aurora selamat. Dan sekarang… kamu bisa bernapas. Tarik napas… lepaskan… dengarkan suaraku.”
Pertarungan itu kejam.
Kairos berjuang antara dunia hantu di pikirannya dan realitas dingin lantai marmer.
Air mata mengalir deras tanpa henti, membasahi bajunya, mengucur dari hidungnya.
Ia bukan lagi pengusaha perkasa yang dingin. Ia adalah seorang anak laki-laki yang terluka, seorang pria yang hancur, yang akhirnya menghadapi badai yang selama ini ia pendam di balik tembok besinya.
_________________________________________
Kamar Aurel didominasi warna pink lembut, namun kehangatan itu terasa rapuh di tengah malam yang basah.
Tidak ada suara hujan yang bisa masuk, karena dinding tebal mansion mewah itu menahan hampir segalanya.
Hanya dentuman air yang terus menghantam kaca jendela, menciptakan irama kacau seperti gema dari hatinya sendiri.
Aurel duduk di lantai, bersandar pada tepi ranjang berukuran king size. Laptop terbuka di pangkuannya, layar menyala redup, menampilkan sesuatu yang membuat dadanya terasa sesak.
Di sisi lain, ponselnya tergeletak, memancarkan cahaya samar. Di sana, berjejer foto-foto yang diambilnya diam-diam malam itu, bukti bisu dari kejadian yang tak seharusnya dilihat.
Foto-foto itu adalah halaman demi halaman dari sebuah buku catatan kulit hitam tebal, buku milik Kairos yang dia temukan secara tidak sengaja di apartemennya.
Jarinya mengetuk trackpad, memperbesar salah satu foto. Tulisan Kairos yang tajam dan agresif memenuhi halaman, tetapi kontennya justru membuat jantung Aurel berdebar kencang. Ini bukan buku rencana bisnis atau catatan marah terhadap Leandro.
Ini adalah semacam jurnal obsesi yang terfokus pada satu nama.
Aurora.
Dia menghela napas, matanya menyusuri setiap kata yang tertangkap kamera.
Halaman 1.
"Hari ini. Clara. Aku menemukan mereka di suite-ku. Aroma parfumnya dan bau alkoholnya masih menyengat. Aku merasa seperti sampah. Dunia ini penuh dengan kebohongan."
Aurel mengerutkan kening. Clara. Mantan kekasih Kairos yang menghilang dari peredaran. Selama ini keluarga Valente memang tidak menyukai Clara entah karena masalah apa.
Aurel tidak mengerti, hingga suatu larut malam, Matteo menelpon dirinya dan memberitahu kalau Kairos mabuk berat disuatu club malam. Disana, Kairos yang hilang setengan kesadaran menceritakan semuanya.
Halaman 2.
"Aku duduk di taman. Dingin. Tapi tidak semembeku hatiku. Seorang gadis... dia mendekat. Tidak berkata apa-apa. Hanya meletakkan sebotol air putih dingin. Lalu pergi. Senyumnya... seperti cahaya di kegelapan yang paling pekat. Siapa dia?"
Terdapat coretan kecil sketsa wajah seorang gadis dengan senyuman lembut di pinggir halaman.
Aurel bisa merasakan keterpukaan yang tertuang dalam goresan pena itu. Kairos yang selalu keras, ternyata bisa begitu rapuh oleh sebuah kebaikan sederhana.
Halaman 3.
"Sebuah universitas Swasta milik keluarga Matteo. Aku datang sebagai donator disana, Namun takdir membawaku padanya lagi. Dia... di atas panggung. Memegang mic. Suaranya seperti bel, jelas dan menenangkan. Namanya... Aurora. Dia adalah MC-nya."
"Dia mengenakan blazer sebua badan eksekutig mahasiswa berwarna biru tua. Rambutnya diikat rapi, tapi beberapa helai terlepas, melambai-lambai di dekat pipinya. Dia tersenyum pada audiens, dan untuk sesaat, aku merasa senyuman itu ditujukan padaku. Bodoh."
Aurel bisa membayangkannya. Kairos yang duduk di barisan depan, menyaksikan Aurora yang bersinar. Pria yang sinis dan tertutup itu, terpana oleh seorang mahasiswa yang bahkan tidak mengetahui keberadaannya.
Halaman 4.
"Aku harus tahu segalanya tentangnya. Siapa dia. Apa yang dia suka. Mimpi-mimpinya. Aku tidak bisa membiarkan cahaya ini pergi. Tidak setelah Clara. Tidak setelah semua kebohongan dalam hidupku."
Inilah bagian yang membuat ngeri sekaligus iba pada Aurel. Obsesi itu lahir dari luka yang dalam.
Buku ini adalah manifestasi dari jiwa Kairos yang terluka, mencoba mencengkeram satu-satunya hal murni yang pernah ditemuinya.
Dia mematikan laptopnya, menatap hujan di luar jendela. Pikirannya kalut.
"Jadi... itu awal mulanya, Kai?" gumamnya lirih pada bayangannya sendiri di kaca jendela. "Kamu bukan mengincarnya karena sakit. Tapi karena dia adalah penyelamatmu."
Aurel memandangi ponselnya. Foto-foto ini adalah bom waktu. Jika sampai ketahuan orang lain, terutama Aurora atau Leandro, ini mungkin bisa menjadi masalah.
Tapi dia juga tidak bisa tinggal diam. Dia harus melakukan sesuatu. Pertanyaannya, apa?
Membicarakan ini dengan Kairos? Atau... diam-diam melindungi Aurora dari obsesi sepupunya sendiri?
TBC🐼