NovelToon NovelToon
Jodoh Jalur Orang Dalam

Jodoh Jalur Orang Dalam

Status: sedang berlangsung
Genre:Hamil di luar nikah / Konflik etika / Selingkuh / Cinta Terlarang / Keluarga / Menikah Karena Anak
Popularitas:330
Nilai: 5
Nama Author: yesstory

Setelah lama merantau, Nira pulang ke kampung halaman dengan membawa kabar mengejutkan. Kehamilannya yang sudah menginjak enam bulan.
Nira harus menerima kemarahan orang tuanya. Kekecewaan orang tua yang telah gagal mendidik Nira setelah gagal juga mendidik adiknya-Tomi, yang juga menghamili seorang gadis bahkan saat Tomi masih duduk di bangku SMA.
Pernikahan dadakan pun harus segera dilaksanakan sebelum perut Nira semakin membesar. Ini salah. Tapi, tak ingin lebih malu, pernikahan itu tetap terjadi.
Masalah demi masalah pun datang setelah pernikahan. Pernikahan yang sebenarnya tidak dilandasi ketulusan karena terlanjur ‘berbuat’ dan demi menutupi rasa malu atas aib yang sudah terlanjur terbuka.
Bisakah pernikahan yang dipaksakan karena sudah telanjur ada ‘orang dalam’ perut seperti itu bertahan di tengah ujian yang mendera?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yesstory, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Rasa Kopi yang Sama

Nira memijit keningnya yang mendadak pusing setelah Riki mengirim rincian biaya transportasi yang akan digunakan Riki beserta keluarganya untuk datang ke kampung halaman Nira.

Ini belum apa-apa. Sinta juga meminta pesta resepsi mewah, menyewa gedung, dekorasi, katering, dan lain-lain untuk pernikahannya nanti.

Walaupun untuk yang satu itu, menggunakan uang orang tuanya, tapi tetap saja, gaun, serta MUA yang akan meriasnya harus memakai uangnya sendiri. Nira sudah punya pilihan MUA-nya sendiri. Jauh-jauh hari sebelum ia hamil.

[Riki: Maaf, Sayang. Kalau bonusku udah turun, aku pasti akan ganti. Sementara ini, tabunganku aku pakai untuk beli seserahan buat kamu. Kamu nggak marah ‘kan?]

Nira membaca pesan itu. Mau menolak pun, tak bisa. Riki harus datang bersama keluarga besarnya. Ia tak ingin mengulur waktu dengan berdebat masalah uang transport. Maka Nira menjawab pesan, mengiyakan. Ia setuju membiayai transportasi Riki dan keluarganya.

“Nira, dimana Ibumu?”

Nira menoleh, melihat Mardi lalu menunduk. “Ke rumah Budhe Umi, Pak,” jawabnya pelan.

Mardi duduk di seberang putrinya. Memandangi sang putri yang menundukkan kepalanya sambil memegang ponselnya.

“Sudah berapa lama kalian berhubungan, Nira?”

“Sa-satu tahun, Pak.”

“Apa dia tampan?”

Nira mengangguk sekali.

“Apa pekerjaannya?”

“Sales obat, Pak.”

Mardi mengangguk. “Jadi, kalian bertemu di rumah sakit tempatmu bekerja?”

“Iya, Pak.”

Mardi menghela napas pelan. Mata tuanya menatap langit-langit ruangan. “Maafkan Bapak sudah menampar pipimu semalam. Saat tangan Bapak terangkat, hati Bapak jauh lebih sakit dibanding apapun, Nira. Sungguh. Tak ada yang melebihi sakitnya saat tangan yang sejak kamu lahir, menggendongmu, memberikan kasih sayang tak terbatas, pada akhirnya melukai pipimu.”

Mardi beralih menatap satu tangan yang ia gunakan menampar pipi putrinya semalam. “Bapak kecewa. Bapak marah. Bapak telah gagal mendidik kalian. Apa selama ini Bapak terlalu memanjakan kalian, sampai kalian meludahi wajah Bapak yang sudah tak punya harga diri lagi di mata kalian, hah?”

Nira menggeleng cepat. Matanya berkaca-kaca.

“Kamu tak ada di sini saat Bapak memukuli adikmu karena telah menghamili anak gadis orang. Kamu tak melihat sebesar apa kemarahan Bapak pada adikmu itu. Yang kamu tahu adalah pada akhirnya Bapak menikahkan mereka setelah adikmu babak belur di tangan Bapak.”

Mardi menghela napas. Matanya kuyu, semalaman tak bisa tidur. Ada rasa sesal setelah melukai hati Nira, anak yang ia banggakan.

“Mungkin kamu berpikir, semarah apapun Bapak, toh pada akhirnya Bapak akan memaafkan dan menerima kesalahan itu sehingga kamu pun berbuat hal yang sama.”

“Bapak pernah muda, Nira. Kehamilanmu ini mungkin tak disengaja, tapi kalian melakukannya jelas sengaja. Kalian sudah dewasa. Sadar penuh bahwa berhubungan intim di luar nikah, hasilnya akan seperti ini. Hamil. Dan ini yang terjadi. Yang Bapak sayangkan, mengapa kamu baru mengatakannya? Mengapa tak memberi tahu kami saa kamu terlambat datang bulan pertama kali? Apa kamu pikir, kamu bisa menutupi kehamilanmu ini pada orang tuamu? Pada kami? Kenapa, Nira? Kenapa?”

Nira terisak pelan. “A-aku takut, Pak.”

“Apa kamu pernah berniat menggugurkan kandunganmu? Kamu pernah mencobanya lalu gagal dan akhirnya terpaksa pulang memberitahukan kami tentang kehamilanmu ini?”

Nira menggeleng. “Nggak, Pak. Demi Tuhan. Aku nggak pernah berniat menggugurkan bayiku. Aku mencintai Riki. Dia juga mencintaiku. Kami memang berencana untuk menikah, Pak.”

“Apa ini caramu agar kami merestui kalian? Lewat orang dalam yang ada di perutmu sekarang?”

Nira terdiam.

“Baiklah. Kamu sudah menentukan jodohmu sendiri. Walau jalan kalian tak bisa dibenarkan, tapi semua sudah terlanjur terjadi. Bayi itu membutuhkan ayahnya. Maka, kamu sudah menentukan jalanmu sendiri. Mau nggak mau, Bapak tetap akan merestui kalian.”

Mardi berdiri. Hendak melangkah ke luar, mencari udara segar untuk menghilangkan sesak di dadanya.

“Aku nggak akan merepotkan Bapak dan Ibu lagi. Aku tahu jalanku salah, Pak. Tapi aku dan Riki akan bertanggung jawab. Setelah menikah, kami akan kembali ke kota. Kami akan hidup di sana. Kami akan mengurus anak kami sendiri.”

Mardi menghentikan langkah. Tanpa menoleh, ia berkata,” Semarah apapun Bapak sama kamu, kamu tetap anak Bapak. Silakan kalau kalian hendak mengurus rumah tangga kalian sendiri tanpa campur tangan kami. Tapi, kamu harus ingat. Bapak dan Ibu akan selalu menerima kamu apapun keadaanmu. Kalau kehidupanmu keras di sana, maka kembalilah. Ini rumahmu.”

Nira menatap punggung Mardi yang melangkah keluar. Hatinya sakit. Ia telah melukai cinta pertama dalam hidupnya itu. Dan rasanya, tak ada hal yang bisa membuat orang tuanya bangga lagi padanya. Ia telah membuat wajah kedua orang tuanya malu. Sekali lagi. Setelah sang adik lebih dulu mencoreng wajah kedua orang tua mereka.

***

Rumah mewah alias mepet sawah itu ramai. Satu buah bus terparkir di sisi jalan, depan rumah. Riki beserta keluarga besarnya telah tiba di kediaman kedua orang tua Nira setelah menempuh perjalanan selama dua belas jam.

Riki berasal dari kota provinsi sebelah yang mana juga tempat rumah sakit Nira bekerja.

Kini, kedua keluarga besar tengah berkumpul, berkenalan, dan langsung membicarakan acara pernikahan yang akan segera di gelar.

Gedung sudah dibayar, catering aman, gaun sudah siap,dan segala persiapan sudah rampung. Tak butuh waktu lama karena kondisi darurat. Ya. Nira harus segera menikah di bulan ini. Tak bisa ditunda sebelum perutnya semakin membesar.

Sinta punya banyak kenalan. Mudah saja baginya meminta urusannya dipercepat. Mardi juga punya banyak kenalan karena ia menjabat sebagai kepala dusun di kampung itu. Sedangkan Sinta, ia seorang guru.

Nasib. Kedua orang yang disegani seluruh kampung, justru memberikan contoh buruk. Ah tidak. Bukan Mardi dan Sinta yang melakukannya. Melainkan kedua anaknya. Dulu, seluruh kampung digemparkan dengan pernikahan dadakan Tomi yang sialnya masih duduk di bangku kelas tiga SMA. Dan sekarang, Mardi dan Sinta juga mengadakan pernikahan dadakan untuk Nira, putri sulung mereka.

Jelas saja, semua orang mulai menduga-duga. Menyebarkan gosip. Tak ada yang bisa dilakukan Mardi dan Sinta selain menebalkan muka, tetap mengangkat wajah, dan menyapa ramah semua orang yang mereka temui. Satu dua menjelaskan, jika tak ada yang dadakan. Pernikahan Nira sudah direncanakan, hanya saja tak disebarkan pada penduduk kampung.

Sedikit kebohongan untuk menyelamatkan harga diri walau tetap tak ada pengaruhnya. Besok lusa, semua orang akan tahu saat Nira melahirkan anak di saat usia pernikahannya baru tiga bulan.

Semua orang akan tahu apa penyebab pernikahan dadakan Nira.

Kembali ke rumah orang tua Nira. Riki membawa rombongan keluarga berjumlah lima belas orang. Mereka akan menginap di rumah orang tua Nira. Rumahnya luas, cukup untuk menampung orang sebanyak itu. Belum lagi ditambah beberapa keluarga dari orang tua Nira.

Pernikahan akan dilaksanakan lusa. Selama itu pula, bapak-bapak, para tetangga, berkumpul di rumah Mardi sekedar mengobrol sambil minum kopi, menikmati hidangan yang disediakan sang pemilik rumah.

“Lama nggak terdengar kabar, tiba-tiba Nira besok menikah. Dapat orang mana, Pak?” tanya salah seorang warga pada Mardi yang duduk tak jauh darinya.

Mardi tersenyum. “Dari kota sebelah.”

“Apa pekerjaannya, Pak?” tanya warga lain yang juga penasaran dengan sosok calon menantu sulung Mardi.

“Dia bekerja di perusahaan obat sebagai sales yang mengantarkan obat-obatan ke rumah sakit.”

“Hanya sales, Pak? Nira menolak pemilik bengkel tapi malah menikah sama sales obat?” Warga lain jelas menyindir.

Mardi tersenyum kecut. “Ya gimana lagi. Nira punya pilihannya sendiri.”

Para warga hanya mengangguk dan melanjutkan obrolan. Mardi menanggapi sesekali. Lebih banyak tersenyum. Menutupi resah juga penyesalan yang tak ada gunanya.

Di luar, bapak-bapak berkumpul, maka di dalam rumah, keluarga besar Riki dan keluarga Nira juga masih asyik mengobrol walau malam telah menjelang larut.

Nira sendiri sudah pamit, masuk ke kamarnya beberapa menit lalu. Ia menyandarkan punggungnya di atas ranjang. Pinggangnya terasa pegal. Selain karena kehamilannya, juga karena kelelahan mengurus segala sesuatunya untuk pernikahannya besok.

Besok adalah acara utamanya. Besok, Nira akan berganti status secara resmi. Seorang istri. Untuk beberapa bulan lagi, statusnya bertambah. Menjadi seorang Ibu.

Nira mengelus pelan perutnya. Sejauh kehamilannya, ia tak merasakan sedikitpun yang namanya mual, muntah, apalagi nyidam.

Entah ia harus bersyukur atau takut karena tak merasakan hal itu. Ia bukannya tak paham agama. Hanya saja, semua sudah terlambat. Ia khilaf. Ia termakan rayuan. Atau memang ia terbawa suasana saat itu.

Waktu semakin berjalan. Nira berusaha memejamkan mata. Ia harus cepat tidur. Mencoba mengenyahkan segala kegelisahan di dalam pikirannya.

***

Gedung serbaguna, tempat acara pernikahan Nira dan Riki itu tak terlalu luas. Letaknya di pinggir jalan utama provinsi. Gedung serbaguna yang menjadi lokasi pernikahan Nira dan Riki. Dekorasi khas adat daerah setempat. Pelaminan persis di tengah ruangan.

Di depan pelaminan, Riki sudah duduk bersebelahan dengan Nira. Kiri kanan sudah ada para saksi. Di depan mereka, duduklah penghulu dan Mardi.

Acara resmi dimulai. Dan saat para saksi mengatakan kata ‘sah’, maka, resmi sudah Nira dan Riki menjadi pasangan suami istri. Senyuman bahagia menghiasi wajah kedua mempelai. Akhirnya, impian mereka terwujud.

Setelah acara ijab qabul selesai, maka acara selanjutnya adalah resepsi. Mengusung tema adat setempat, kedua mempelai melakukan setiap prosesi yang ada.

Mardi duduk terdiam. Sesekali tersenyum, menyapa tamu. Berbeda dengan Sinta. Istrinya itu malah terlihat sangat bahagia menyapa para tamu dengan senyuman lebar.

Nira melihat itu semua. Senyuman terpaksa dari Mardi. Ia tahu—sampai saat ini, Mardi masih belum memaafkannya. Tapi ia yakin, lambat laun, Mardi akan menerima pernikahan ini. Menerima Riki sepenuhnya sebagai menantu.

Acara berlangsung seharian. Namun, raut wajah kedua keluarga besar tampak bahagia. Sama seperti pengantin baru itu. Setelah acara selesai, semuanya pulang ke rumah Mardi untuk esoknya, keluarga besar Riki kembali ke kampung halaman mereka.

Tak ada yang istimewa dalam pernikahan itu. Acara yang seharusnya sakral telah ternoda karena mereka telah menyalahi agama. Seharusnya perempuan yang tengah mengandung tak boleh menikah sebelum anaknya dilahirkan. Tapi, tak ingin menanggung malu lebih besar, mereka menebalkan muka. Melanggar segala aturan agama agar nama baik mereka tetap terjaga.

Ini tak boleh ditiru. Sangat tidak boleh. Melakukan hal di luar batas sebelum menikah sampai hamil lalu menikah karena takut ketahuan jika sedang mengandung.

Namun, dosa ditanggung masing-masing bukan? Jadi, mohon dengan sangat, jauhi segala kegiatan yang kiranya mengarah ke hal yang tidak baik yang bisa merugikan kalian sendiri. Bukan untukku, tapi untuk kalian sendiri.

Kembali ke rumah Mardi. Nira sudah berada di dalam kamarnya bersama Riki. Keduanya duduk bersebalahan di atas ranjang, berbincang santai.

“Aku udah nyari rumah sewa dua lantai. Persis yang kamu inginkan. Kamu lihat aja nanti,” ujar Riki.

Nira memiringkan tubuhnya, menghadap suaminya. “Aku percaya pilihanmu.” Sambil mengelus perutnya, ia tersenyum. “Terkadang, aku masih nggak percaya kalau di dalam sini, buah hati kita sedang bertumbuh.”

Riki menoleh. Tangannya terulur mengusap perut Nira dengan lembut. Bibirnya tersenyum. “Aku pun. Nira, apa kamu pernah merasa menyesal karena kehamilan ini?”

Nira menggenggam tangan Riki, menatap lekat wajah sang suami. “Pernah. Tapi bukan karena hamil ataupun kamu. Melainkan…” Nira menarik napas pelan dan mengembuskannya. “Seharusnya kita menikah lebih dulu. Aku bisa lihat kekecewaan Bapak. Rasanya…. entahlah. Aku merasa ini nggak benar tapi aku juga nggak bisa berbuat apa-apa.”

Riki mendekat, meraih tubuh Nira dan mendekapnya. “Bapak pasti akan menerima kenyataan ini perlahan, Nira. Seiring waktu, Bapak pasti akan memaafkan kita.”

Nira mengangguk, membalas pelukan Riki. Hanya ini yang ia butuhkan. Sebuah pelukan. Ia menyamankan diri dalam dekapan Riki hingga mata menyerah pada kantuknya.

***

“Selamat pagi, Pak.”

Mardi yang sedang menyirami tanaman, menoleh ke arah gerbang rumahnya. Di sana, seorang pria tengah duduk di atas motornya.

“Pagi. Masuklah, Raf.”

Mardi mematikan keran air dan berjalan mendekati tamunya.

“Maaf, Pak. Aku menganggu kegiatan Bapak pagi-pagi begini,” ucap pria itu seraya mendorong motornya masuk ke halaman rumah.

“Ah tidak. Hanya siram-siram tanaman saja. Ayo duduk,” ucap Mardi meminta pria itu duduk di teras.

“Terima kasih, Pak.”

Mardi mengangguk. “Dari mana kamu?”

Pria bernama Raffi itu tersenyum. “Biasalah, Pak. Muter-muter manasin motor.”

Mardi melirik ke arah motor Raffi. “Itu sepertinya bukan motormu.”

“Iya, Pak. Milik pelanggan.”

“Bengkel kamu makin ramai saja ku lihat, Raf.”

“Sedikit banyak disyukuri, Pak.”

Tak lama kemudian, Nira keluar rumah. Saat melihat siapa yang duduk di teras, tubuhnya mematung.

Pria itu.

Raffi tersenyum menatap Nira. “Hai, Nir. Apa kabar?”

Nira terdiam, masih menatap Raffi.

“Nira, tolong buatkan kopi,” ucap Mardi.

Nira menoleh pada Mardi dan mengangguk. Ia lantas balik badan, kembali masuk ke dalam rumah. Saking terkejutnya bertemu kembali dengan Raffi, ia sampai tak menjawab pertanyaan Raffi.

“Tidah usah repot-repot, Pak.” Raffi menggeleng pelan.

“Tidak repot. Cuma ngopi sebentar saja. Temani saya.”

Mau tak mau Raffi mengangguk, menghargai Mardi. Nira keluar membawa nampan berisi dua cangkir kopi. Ia meletakkannya di atas meja.

Raffi menatap Nira sekilas lalu mengalihkan pandang. Setelah itu, Nira ijin masuk ke dalam.

Langkah kaki baru saja mencapai pintu, saat suara Raffi terdengar pelan.

“Kopinya enak, Pak. Rasa yang sama. Tak berubah. Secangkir kopi dengan gula satu sendok teh.”

1
Miu miu
Gak terasa waktu lewat begitu cepat saat baca cerita ini, terima kasih author!
ZodiacKiller
Ga sabar nunggu kelanjutannya thor, terus semangat ya!
yesstory: Terima kasih kak.
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!