Deva, seorang gadis petakilan yang menjadi anggota bodyguard di salah satu perusahaan ternama. Meski tingkahnya sering kali membuat rekannya pusing, namun kinerja Deva tak bisa di ragukan. Pada suatu malam, Deva yang baru selesai bertugas membeli novel best seller yang sudah dia incar sejak lama.
Ketika dia sedang membaca bagian prolog sambil berjalan menuju apartemennya, sebuah peluru melesat tepat mengenai belakang kepalanya dan membuatnya tewas.
Hingga sebuah keajaiban terjadi, Deva membuka mata dan mendapati dirinya menjadi salah satu tokoh antagonis yang akan meninggal di tangan tunangannya sendiri. Akankah kali ini Deva berhasil mengubah takdirnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon eka zeya257, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12
Di sisi lain, Gio dan para sahabatnya sedang berkumpul di sebuah kafe kecil yang sudah jadi tempat langganan mereka sepulang kuliah. Aroma kopi bercampur dengan alunan musik akustik lembut memenuhi ruangan, menciptakan suasana santai yang biasanya jadi latar obrolan mereka.
Awalnya, topik yang mereka bahas hanya soal pelajaran, namun lama-lama percakapan itu merembet pada perubahan sikap Deva yang makin hari makin terasa berbeda.
"Kalian ngerasa nggak, kalo Deva makin berani dan bar-bar banget!" ujar Haikal sambil mengaduk minumannya.
Dito mengangguk, matanya bergantian menatap Gallen dan Gio. "Setuju. Kayak dia punya kepribadian ganda. Sejak kejadian dia pingsan itu, dia nggak pernah lagi nempel sama lo, Gio. Bahkan sama Gallen juga."
"Dan dia kayak sengaja jaga jarak dari kalian berdua. Nggak ada lagi tuh kata-kata lebay bin alay yang dulu sering dia keluarin buat kalian." tambah Haikal, yang langsung disetujui oleh yang lain.
Ucapan itu membuat Gallen teringat pada momen beberapa minggu lalu. Saat itu, Deva hampir setiap hari datang ke kelasnya hanya untuk membawakan makanan, lalu menatapnya penuh kasih sayang. Namun sekarang? Tiap kali tatapan mereka bertemu, mata Deva dipenuhi rasa benci yang begitu jelas, seolah jiwa gadis itu sudah berubah.
Gio pun merasakan hal serupa. Ada jarak tak kasat mata yang semakin hari semakin melebar di antara mereka. Entah kenapa, ia merasa ada bagian dalam dirinya yang kosong, meski ia tak mengerti apa penyebabnya.
Mereka berempat sama-sama menyadari kalau Deva bukan lagi gadis yang sama. Jika dulu ia selalu mencari perhatian, bahkan ketika mereka kelewat batas memperlakukannya, kini Deva justru menegakkan dinding yang tebal untuk memisahkan dirinya dari mereka.
Seolah enggan untuk melakukan percakapan, bahkan pertemuan dengan mereka. Gadis itu seperti ingin menjauh dari bisingnya caci maki yang sering mereka lontarkan padanya.
"Apa mungkin dia udah capek kali, ya? Bayangin aja, udah bertahun-tahun dia ngejar-ngejar kalian. Coba kalian ada di posisi dia, apa nggak bakal bosen juga?" celetuk Haikal tiba-tiba.
Gio mengangguk pelan. "Mungkin… ucapan lo ada benarnya juga."
Hening sesaat menyelimuti meja mereka. Di balik gurauan yang sering mereka lontarkan, ada rasa asing yang bersarang terutama pada kedua kakak kandung Deva, meski gengsi membuat mereka enggan mengakui kesalahan sendiri.
Suara pintu kafe terbuka memecah keheningan. Keempat pemuda itu menoleh, dan Gio langsung melambaikan tangan begitu melihat Elliot masuk.
"Woi, El! Dari mana aja lo? Kok baru nongol?" tanya Haikal antusias.
Elliot menarik kursi dan menjatuhkan tubuhnya di samping Gio. "Gue abis nyari Deva. Tapi kayaknya dia udah pulang duluan, padahal gue belum selesai bicara tadi."
Alis Haikal langsung terangkat. "Lah, bukannya lo udah males sama Deva? Kok sekarang malah nyari-nyari dia?"
Semua mata tertuju pada Elliot. Mereka tahu betul, ia sudah sering mengeluh tentang pertunangannya dengan Deva, bahkan sempat bilang ingin mengakhirinya. Namun, hingga kini belum ada pergerakan apa pun dari Elliot mengenai ucapannya.
"Tadi gue ketemu dia di taman. Mama gue terus maksa buat ngajak Deva ke rumah. Gue udah nggak bisa nolak lagi," jawab Elliot dengan nada lesu.
Gio mengangkat bahu, mencoba menenangkan. "Bro, kadang orang tua emang jadi beban. Tapi lo juga harus berani bilang apa yang lo rasain, biar lo nggak makin tertekan."
Elliot menatap kosong meja di depannya, lalu menghela napas panjang. "Gue tahu… tapi lo semua juga tahu betapa kerasnya mama gue. Harapannya udah terlalu besar buat gue sama Deva. Dan, jujur, gue merasa bersalah kalo harus ngecewain dia."
"El, lo harus ingat," Gallen menyela tegas. "Ini hidup lo. Jangan sampe lo terjebak dalam ekspektasi orang lain. Lo berhak bahagia. Gue dukung kalo lo mau batalin pertunangan itu."
Haikal pun mengangguk setuju. "Iya. Cinta itu bukan soal nurutin harapan orang lain, tapi soal kenyamanan lo sendiri. Jangan paksain kalo lo nggak yakin."
Elliot menelan ludah, wajahnya tampak ragu. "Gue ngerti, tapi… gue yakin Deva bakal nolak kalo gue ngajak bubaran. Dia keras kepala, lo tahu sendiri gimana dia."
Gio menyandarkan tubuhnya ke kursi, nada suaranya lebih kalem. "Terserah lo, bro. Yang jelas, apapun keputusan lo, gue sama yang lain bakal support."
Gallen menambahkan, "Tapi jangan ditunda terus. Semakin lo nunda, makin rumit masalahnya."
Elliot mengangguk pelan, meski hatinya masih berat. "Iya… gue bakal coba ngomong sama dia nanti."
Tiba-tiba, suara tawa riang dari arah pintu menarik perhatian mereka. Seorang gadis berambut panjang dengan gaun musim panas berwarna cerah melangkah masuk. Senyum manisnya membuat hampir semua mata di kafe itu menoleh.
"Eh, itu kan Fia!" seru Haikal, melambai. "Dia baru balik liburan, kayaknya?"
Fia menghampiri meja mereka dengan wajah bersinar. "Hai, guys! Apa kabar? Ngumpul di sini, ya?"
Kehadiran Fia seketika mengubah suasana. Gallen merasakan campur aduk dalam dadanya. Ia belum benar-benar siap bertemu mantan kekasihnya itu, meski senyum ceria Fia seolah tak menyisakan bekas luka masa lalu.
"Baik, Fia. Kita lagi ngobrolin Elliot dan pertunangannya," jawab Gio sambil tersenyum tipis.
Mendengar itu, Fia langsung menoleh pada Elliot dengan ekspresi ingin tahu. "Oh, serius? Ada apa, El? Bukannya lo udah lama tunangan sama adiknya Gallen?"
Elliot menghela napas, lalu menatapnya dengan getir. "Lo juga pasti udah tahu alesannya. Bukannya lo dulu juga putus sama Gallen gara-gara Deva?"
Fia terdiam sejenak sebelum tertawa kecil, seolah menertawakan hal yang sudah lewat. "Kayaknya selama gue pergi, banyak banget yang berubah, ya?"
"Banget, kalo di ceritain kayaknya nggak bakal cukup satu hari." Imbuh Dito.
Fia menarik kursi di sebelah Haikal, lalu duduk di sana. Ia merasakan tatapan dari seberang meja, yang tak lain adalah tatapan dari Gallen. Pemuda itu tampak lebih tinggi, dan postur tubuhnya semakin macho.
Bohong jika ia tak tertarik lagi padanya, tapi mengingat kejadian dulu rasanya Fia belum bisa memaafkan Gallen begitu saja.
"Ngomong-ngomong kenapa kalian ngomongin pertunangannya Elliot?" Tanya Fia membuka kembali pembicaraan.
"Ah, itu katanya Elliot mau resign jadi tunangannya Deva," jawab Haikal santai sambil memainkan ponselnya.
Alis Fia terangkat tinggi, wajahnya memancarkan rasa terkejut sekaligus penasaran.
"Serius? Jadi beneran mau putus?" ia mencondongkan tubuh, suaranya dibuat setengah berbisik seolah ingin memberi efek dramatis. "Hmm… sebenernya gue nggak kaget sih. Soalnya, gue sempet denger gosip yang lumayan… gila."
Meja mendadak hening. Semua mata otomatis menoleh padanya.
"Gosip apa?" tanya Dito dengan nada penasaran.
Fia menyilangkan tangan di dada, lalu menatap mereka satu per satu sebelum akhirnya menekankan kata-katanya.
"Katanya, Deva itu pemakai. Pantes aja belakangan dia berubah aneh banget. Kalo dipikir-pikir… masuk akal, kan?"
Seolah dunia berhenti berputar sesaat. Haikal dan Dito saling pandang, Gallen langsung terdiam membeku, sementara Elliot hanya menelan ludah menahan keterkejutan.
Namun sebelum ada yang sempat bicara, suara Gio pecah lebih cepat dari kilat.
"BOHONG!" serunya lantang, membuat beberapa pengunjung kafe ikut menoleh ke arah mereka. Napasnya terdengar berat, rahangnya mengeras, dan tatapan matanya menusuk ke arah Fia. "Deva nggak mungkin kayak gitu! Lo jangan asal ngomong kalo cuma denger dari gosip murahan!"
Semua orang di meja itu sontak tercengang, bukan hanya karena teriakan Gio, tapi juga karena ekspresi wajahnya yang begitu marah hal yang jarang sekali ia tunjukkan di depan publik.
Fia tersenyum miring, jelas puas melihat reaksi tersebut. "Wih, santai dong, Gi. Kok kayaknya lo baper banget? Atau jangan-jangan… lo ada apa-apa sama Deva, ya?"
Haikal terbatuk pelan, berusaha menahan tawa, sementara Dito memandang Gio dengan mata melebar. Bahkan Gallen yang biasanya tenang pun tampak kaget melihat sikap adiknya itu.
"Serius, bro… lo kenapa bisa segitunya?" celetuk Haikal dengan nada menggoda.
Pipi Gio menegang, ia mengepalkan tangannya di atas meja. "Gue cuma nggak suka orang seenaknya ngejelekin Deva. Kalian tau sendiri, dia udah cukup susah belakangan ini! Kalo sampai kabar ini di dengar daddy gue, semua bisa kacau."
Fia makin terkekeh, nadanya setengah mengejek. "Ih, manis banget pembelaannya. Padahal katanya Deva cuma cewek yang lebay bin alay, tapi kok sekarang lo kayak jadi… ksatrianya?"
Kata-kata itu membuat suasana meja makin panas. Tatapan semua orang kini sepenuhnya tertuju pada Gio antara terkejut, bingung, dan curiga.
Gio menghela napas panjang, "Bukan gitu, gue cuma takut imbasnya kena ke nama baik daddy. Gue nggak jadi ksatrianya, mau dia mati gue juga nggak peduli."
Fia menyunggingkan senyum tipis. "Yakin? kalo misalnya lo yang harus bunuh dia gimana? Lo berani?"