NovelToon NovelToon
Batas Yang Kita Sepakati

Batas Yang Kita Sepakati

Status: sedang berlangsung
Genre:Diam-Diam Cinta
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: Princess Saraah

Apakah persahabatan antara laki-laki dan perempuan memang selalu berujung pada perasaan?

Celia Tisya Athara percaya bahwa jawabannya adalah tidak. Bagi Tisya, persahabatan sejati tak mengenal batasan gender. Tapi pendapatnya itu diuji ketika ia bertemu Maaz Azzam, seorang cowok skeptis yang percaya bahwa sahabat lawan jenis hanyalah mitos sebelum cinta datang merusak semuanya.

Azzam: "Nggak percaya. Semua cewek yang temenan sama gue pasti ujung-ujungnya suka."
Astagfirullah. Percaya diri banget nih orang.
Tisya: "Ya udah, ayo. Kita sahabatan. Biar lo lihat sendiri gue beda."

Ketika tawa mulai terasa hangat dan cemburu mulai muncul diam-diam,apakah mereka masih bisa memegang janji itu? Atau justru batas yang mereka buat akan menghancurkan hubungan yang telah susah payah mereka bangun?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Princess Saraah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Magang

Setelah kemarin aku melewati hari yang sulit, siang digampar, sore dilabrak halus, malam diberi kabar mengejutkan soal Mira dan perubahan hatinya lagi, aku benar-benar berharap hari ini berjalan damai. Tanpa drama. Tanpa kejutan. Tanpa siapa pun yang memaksa aku jadi pusat perhatian.

Tapi ternyata harapan itu lagi-lagi terlalu mewah.

Begitu aku masuk kelas, bisik-bisik langsung terasa di udara. Tatapan-tatapan yang tidak biasa, lirikan setengah ingin tahu dan setengahnya lagi menghakimi. Aku tahu bahwa berita soal pelabrakan adik kelas kemarin pasti sudah tersebar.

Aku menunduk, pura-pura sibuk dengan tas dan kursiku, berharap suasana segera mencair seperti biasanya. Tapi sebelum aku sempat duduk, tangan Khalif menarikku pelan.

"Sya, sini dulu," bisiknya.

Aku menurut, mengikuti langkah Khalif keluar kelas menuju tempat yang agak sepi, di belakang perpustakaan. Di sana sudah ada Raka, Afiq, Tisyam dan bahkan Jevan. Entah kenapa Jevan juga ikut. Mungkin karena satu-satunya hal yang lebih kuat dari drama adalah rasa ingin tahu manusia.

Begitu aku sampai, mereka langsung menyerbu.

"Adek gapapa?" suara Tisyam penuh cemas.

"Lo bohong semalam, Sya?" ucap Raka.

"Iya, ngapain lo bohong sama kita?" tambah Khalif. "Kata lo, lo paling benci orang bohong."

"Jadi lo gampar balik nggak, Sya?" tanya Jevan.

"Ceritain lah kronologinya!" mereka mulai bersahut-sahutan.

Dan seperti sudah direncanakan, arah pembicaraan tiba-tiba berbelok ke Tisyam.

"Ini gara-gara cewe lo, Syam!" kata Khalif.

"Lo nggak bilang jajannya dari siapa, Syam. Parah lo," Raka ikut menimpali.

"Parah sih Syam kalau lo nggak putusin cewek posesif kayak gitu."

"Iya. Untung Tisya gapapa."

Aku berdiri di tengah mereka, diam. Seperti patung.

Aku tidak ingin suasana ini. Aku tidak ingin jadi korban yang dikasihani atau jadi pahlawan yang dibela mati-matian. Aku hanya ingin tenang.

"Oke, cukup," kataku akhirnya, suara sedikit meninggi. "Stop ya."

Mereka terdiam.

"Gue nggak mau cerita. Takut kalian gini, malah nyalahin Tisyam. Padahal dia baik banget udah mau bantuin Nizan. Makasi banget udah pada belain gue ya, but I'm okey. So, case closed."

Seketika suasana menjadi hening. Semua pandangan tertuju ke Tisyam, yang dari tadi diam menunduk.

Dan saat itu juga, Tisyam angkat bicara. Tenang. Tegas.

"Udah abang putusin kok Dek."

"Ha?" aku refleks menoleh. "Abang putusin?"

"Keputusan bijak, Syam," ucap Afiq, mengangguk.

"Kalau dia labrak lagi, bilang aja ya Sya," sahut Khalif.

"Iya, Sya, lo tuh kebiasaan, apa-apa dipendem sendiri," tambah Raka.

Aku hanya tersenyum tipis. Tak sanggup berkata banyak. Karena aku tahu, kalau aku bicara sedikit lebih panjang bisa-bisa ocehan mereka malah makin melebar. Kadang diam lebih aman daripada jadi bintang utama di panggung yang tidak kamu pilih.

...****************...

Minggu-minggu terakhir sekolah kulewati dengan cukup tenang. Tidak ada pelabrakan susulan, tidak ada drama dadakan. Aku pun mulai menjaga jarak dari Raka.

Tapi rupanya menjadi mak comblang itu jauh lebih melelahkan daripada yang pernah kubayangkan. Membantu Mira mendekati Afiq? Misi mustahil. Atau mungkin, sudah waktunya aku pensiun saja dari profesi tak resmi ini.

Minggu pertama magang di Bank Daerah, tempat kami bertiga, aku, Afiq, dan Safira ditempatkan. Kami bertiga memang di kantor yang sama, tapi berbeda divisi. Setiap jam istirahat, kami baru kembali duduk bersama di ruang staf untuk makan siang atau sekadar rehat sebentar.

Hari itu, seperti biasa, aku berdiri bersiap untuk salat zuhur. Afiq memperhatikanku dari seberang meja.

"Sya, lo mau salat zuhur ya?" tanyanya.

"Iya."

"Bareng, ya."

Aku memutar mata pelan. "Bareng gimana? Salat masing-masing aja lah."

"Biar gue jadi imam. Salat berjamaah kan lebih banyak pahalanya."

"Nanti lama, bentar lagi jam istirahat selesai."

"Ngga lama, lo ngoceh yang bikin lama," katanya cepat, sambil tersenyum menyebalkan.

"Hmm... serah lo deh."

Dan ya, salat berjamaah berdua itulah yang tanpa kusadari menjadi awal dari gosip kecil di kantor cabang ini. Kakak pembimbing kami rupanya melihat dari kejauhan dan menarik kesimpulan sendiri.

Yang lebih parah, bukannya Afiq menjelaskan, dia malah seperti menikmati gosip itu. Bukannya memperjelas kalau kami cuma teman, Afiq malah menambah kesan ambigu dengan sikapnya.

Minggu berikutnya malah lebih parah.

"Sya, nih air lo," katanya tiba-tiba, menyodorkan sebotol teh dingin kesukaanku.

"Untuk gue mana?" tanya Safira yang duduk di seberang meja.

"Hah? Lo mau juga? Gue cuma beli buat Tisya sih," katanya enteng, lalu langsung bergegas turun ke lantai satu.

"Pilih kasih banget lo!" teriak Safira kesal dari belakang.

Aku masih bengong, tanganku memegang botol teh tanpa sempat bilang apa-apa. Bahkan ucapan terima kasih pun tak sempat keluar dari mulutku.

Para kakak di ruangan itu langsung menyambar kesempatan.

"Fira, jangan gangguin orang pacaran."

"Sini, Kakak beliin juga, biar Fira nggak iri."

Aku hanya bisa senyum kaku. Teh dingin di tanganku rasanya mendadak jadi panas.

Safira tak berkata apa-apa. Ia hanya tersenyum tipis, lalu menunduk dan lanjut mengerjakan tugasnya. Aku tahu dia paham kami tidak berpacaran. Dan aku pun sadar, mau di sekolah atau di tempat magang, aku tetap jadi topik hangat. Entah karena aku yang memang menarik perhatian atau karena orang-orang terlalu cepat menilai dari apa yang mereka lihat, bukan apa yang sebenarnya terjadi.

Minggu-minggu berikutnya di tempat magang berjalan semakin panas. Entah sejak kapan, gosip soal aku dan Afiq semakin merebak, dan yang paling melelahkan dari semuanya adalah Afiq tak pernah mencoba menjelaskan. Justru seringkali, dia seperti menikmati ambigu yang tercipta.

Hari itu, aku sedang duduk di lantai satu menunggu jam pulang kantor. Aku pikir hari itu akan berlalu biasa saja. Tapi ternyata, semesta belum selesai melemparkan kejutan.

Abang pembimbing Afiq, seorang pria muda yang biasanya santai dan suka bercanda, mendekatiku dengan senyum penuh makna.

"Tisya, kamu pacaran ya sama Afiq?"

Aku menoleh cepat. "Nggak, Bang."

Afiq duduk tak jauh dariku. Diam. Tidak membantah. Tidak juga mengiyakan. Seperti biasa.

"Masa sih?" lanjut abangnya. "Udah berapa kali kalian ketahuan salat berjamaah bareng. Udah cocok lah itu simulasi rumah tangga."

Aku terbatuk, kaget, setengah kesal. "Nggak, Bang. Bukan. Pacarnya Afiq itu yang magang di Bank Daerah Kota kemarin tuh."

"Oh ya? Siapa namanya? Kali aja Abang kenal."

"Namanya Yamira Dwi Aisyah. Magang sesi satu dia, Bang. Cantik anaknya. Iya kan, Fir?"

Untungnya kali ini aku tidak sendirian. Safira yang biasanya pasif ikut membantu.

"Iya Bang, bener. Sahabatnya Tisya itu pacarnya Afiq."

Aku menoleh ke arah Afiq. Ini saatnya dia memperjelas, membenarkan. Tapi Afiq malah tertawa. Ringan. Seolah semua ini cuma hiburan ringan di sela kerja.

Dan dengan santainya, dia berkata, "Fitnah mereka itu, Bang. Mana ada."

Kami semua menoleh padanya. Kaget. Termasuk si abang pembimbing yang mengangkat alis, bingung.

"Lah, jadi yang bener yang mana nih?"

Sebelum aku atau Safira sempat menjelaskan lagi, Afiq malah menambahkan, "Nggak ada pacar Afiq, Bang. Abang dibilangin nggak percaya. Bohong mereka tuh."

Saat itu, aku dan Safira saling pandang. Kami sama-sama shock. Bukan cuma karena dia menyangkal dengan mudah, tapi karena ekspresinya seolah apa yang kami katakan adalah lelucon kelas ringan. Padahal, kami sedang berusaha membantunya dari gosip yang makin melebar.

Dan seperti kebanyakan gosip, ia bukan berhenti di ruangan itu saja. Entah siapa yang memulai, tapi jelas siapa yang membocorkan, pastinya Safira. Tak butuh waktu lama sampai gosip itu sampai ke telinga Mira dan bahkan Nizan.

Aku tahu karena Mira mengirimiku pesan malam harinya.

...Mira...

Sya, lo beneran deket sama Afiq sekarang?

Gue kira lo bantuin gue, bukan nyamber.

Setelah lo ambil Nizan, Azzam, sekarang lo juga mau Afiq.

Dan Nizan? Dia cuma mengirim satu pesan singkat.

...Nizan...

Kamu suka Afiq Sya?

Aku terdiam. Tak ada yang bisa kubalas saat itu. Aku sudah mencoba membantah semuanya. Sudah mencoba menjaga batas. Tapi satu hal yang baru kusadari hari itu bahwa mulut orang tidak bisa dikendalikan. Dan diam seseorang kadang lebih menyakiti daripada umpatan.

1
Asseret Miralrio
Aku setia menunggu, please jangan membuatku menunggu terlalu lama.
Daina :)
Author, kita fans thor loh, jangan bikin kita kecewa, update sekarang 😤
Saraah: Terimakasih dukungannya Daina/Heart/
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!