NovelToon NovelToon
Istri Bar-bar Ustad Tampan

Istri Bar-bar Ustad Tampan

Status: tamat
Genre:Cintapertama / Nikahmuda / Kehidupan di Kantor / Identitas Tersembunyi / Tamat
Popularitas:9k
Nilai: 5
Nama Author: fania Mikaila AzZahrah

Aku ingin kebebasan.

Aku ingin hidup di atas keputusanku sendiri. Tapi semua itu lenyap, hancur… hanya karena satu malam yang tak pernah kusangka.

“Kamu akan menikah, Kia,” kata Kakek, dengan suara berat yang tak bisa dibantah. “Besok pagi. Dengan Ustadz Damar.”

Aku tertawa. Sebodoh itu kah lelucon keluarga ini? Tapi tak ada satu pun wajah yang ikut tertawa. Bahkan Mamiku, wanita modern yang biasanya jadi pembelaku, hanya menunduk pasrah.

“Dia putra Kiyai Hisyam,” lanjut Kakek.
“Lulusan Kairo. Anak muda yang bersih namanya. Cermin yang tepat untuk membasuh aib keluargamu.”

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab. 30

Hari terakhir di Ponpes Al Firdaus menjadi momen yang tak terlupakan.

Pagi itu halaman pondok ramai. Para santri, ustadz, ibu-ibu jamaah, hingga warga sekitar berkumpul di aula terbuka. Spanduk bertuliskan “Terima Kasih, Ustadz Damar dan Bu Kia” terbentang sederhana tapi penuh makna.

Ustadz Damar berdiri di samping istrinya, yang hari itu tampak lebih bersinar dari biasanya. Kia mengenakan gamis putih bersih dengan sentuhan bordir emas, wajahnya bercahaya meski semalam sempat gugup menanti hasil testpack.

“Bapak-Ibu, sebelum kami kembali ke Jakarta siang ini saya ingin berbagi kabar,” Kia mulai dengan suara tenang.

“Alhamdulillah dua garis,” katanya pelan, lalu tersenyum penuh makna.

Terdengar gemuruh tepuk tangan dan takbir dari para hadirin. Bu Musrifah langsung memeluk Kia sambil nyaris menangis, “Masya Allah... semoga anaknya jadi penghafal Qur'an, ya, Nak.”

Ustadz Damar hanya bisa menunduk, wajahnya merah. Ia menatap Kia sekilas, seolah berkata ini amanah besar, dan aku akan jadi suami serta ayah yang lebih baik dari yang pernah kamu bayangkan.

Kia melanjutkan, “Sebagai bentuk rasa syukur, saya sudah meminta tim saya di Jakarta untuk mengirimkan bantuan sembako untuk seluruh santri, jamaah, dan masyarakat sekitar. InsyaAllah akan dikirim sore ini langsung ke gudang pondok. Dan juga,” ia menoleh ke para guru ngaji dan ustadzah, “ada santunan tunai dari MK Corp, semoga bisa membantu kebutuhan pendidikan di sini.”

Suasana semakin haru. Beberapa santri perempuan menangis sambil melambai-lambaikan tangan, memanggil, “Bu Kiaaa, nanti ke sini lagi yaaa jangan lupa sama kitaaa!”

Kia hanya tersenyum sambil menahan air mata. Ia menggenggam erat tangan Ustadz Damar.

Mobil mereka pun berangkat meninggalkan halaman pondok, perlahan-lahan menyusuri jalan kecil berbatu, diiringi lambaian tangan dan doa dari puluhan orang yang telah mereka temui dalam beberapa minggu terakhir.

Dari kaca jendela, Kia menatap ke luar, kemudian menyandarkan kepalanya di bahu suaminya.

“Dua garis itu awal baru ya, Mas?”

Ustadz Damar menjawab dengan suara rendah tapi mantap, “Dan semoga bukan cuma garis di testpack. Tapi dua garis lurus kita menuju surga, bareng-bareng.”

Di dalam mobil yang melaju tenang dari arah Bandung menuju Jakarta, Kia Eveline Kazehaya bersandar lembut di bahu suaminya. Pandangannya menembus jendela, menatap langit sore yang perlahan berubah warna.

“Mas, aku masih kayak mimpi,” ucap Kia lirih sambil memegang perutnya yang masih datar.

Ustad Damar Faiz Alfarez menoleh sebentar, tersenyum, lalu menggenggam jemarinya erat.

“Kalau ini mimpi, aku nggak mau bangun,” katanya pelan.

Kia terkekeh kecil, senyumnya sumringah.

“Bayangin, Mas... baru sebulan lebih kita nikah, eh Allah langsung kasih amanah ini,” imbuh Kia haru.

“Anak pertama ini hadiah paling indah, Sayang. Apalagi kamu udah ikhlas nungguin aku bertahun-tahun. Sekarang gantian aku bahagiain kamu tiap hari,” balas Damar sambil mengecup pelipis istrinya.

Mereka tak henti-hentinya mengucap syukur sejak hasil tes garis dua itu muncul pagi tadi. Kabar kehamilan Kia bagaikan anugerah dadakan, apalagi setelah mereka singgah di cabang Pondok Pesantren Al Firdaus tempat di mana doa-doa mereka terasa paling tulus.

“Mas, nanti kita langsung ke rumah atau ke kantor dulu?” tanya Kia sambil melirik ponsel.

“Langsung ke rumah aja, biar Ibu yang pertama tahu kabar ini,” ucap Damar yakin.

Kia mengangguk mantap, “Aku pengen peluk Mama juga. Dia pasti senang banget.”

Mobil terus melaju menyusuri tol Cipularang. Di dalam kabin, suasana tak hanya dipenuhi cinta, tapi juga harapan baru yang tumbuh hangat di antara mereka.

Mobil hitam itu akhirnya berhenti tepat di halaman rumah utama pondok pesantren Al Firdaus. Bangunan tua tapi megah itu sudah dikelilingi para santri dan keluarga besar pesantren. Mereka seperti sudah menanti sejak kabar kepulangan Damar dan Kia tersebar dari mulut ke mulut.

Begitu pintu mobil terbuka, Kia turun lebih dulu, mengenakan tunik putih susu dan pashmina yang dililit sederhana. Raut wajahnya terlihat jauh lebih tenang dibanding dulu meskipun dalam hati dia tahu, tidak semua orang menyambutnya dengan peluk hangat.

“Assalamu’alaikum,” sapa Kia pelan, matanya mencari sosok yang paling ingin dia peluk.

“Wa’alaikumsalam warahmatullah,” suara lantang penuh wibawa terdengar dari arah teras. Nyai Kalsum berdiri di samping suaminya, Kiai Hisyam, yang tersenyum penuh wibawa.

“Kia, ke mari, Nak,” ucap Nyai Kalsum sambil membuka kedua lengannya. Tanpa ragu, Kia menghampiri dan langsung memeluknya erat. Tangisnya pecah.

“Maaf ya, Nyai… Kia dulu banyak salah,” lirihnya terbata.

“Lha, sudah jadi istri kiai masa masih dibahas yang dulu-dulu,” seru Nyai Kalsum sambil menepuk punggungnya pelan.

Damar mendekat, menyalami ayahnya dengan hormat. “Abi, doakan kami ya. Allah kasih titipan.”

Mata Kiai Hisyam berkaca-kaca. “Alhamdulillah, baru sebentar menikah, Allah sudah percaya,” katanya haru.

Zahrah, adik bungsu Damar, melonjak kecil sambil membawa sekotak kue dari dapur. “Aku jadi tante! Ya Allah, akhirnya aku punya ponakan!”

Sorak-sorai kecil terdengar dari para santri dan staf pondok. Beberapa ibu-ibu dapur ikut keluar, sebagian langsung memeluk Kia. Tapi tidak semua ikut bahagia.

Di pojok barisan, beberapa ibu-ibu muda berbisik pelan. Tatapan mereka menusuk, senyum mereka tipis seperti pisau.

“Itu yang dulu suka keluyuran di mall, kan?” bisik salah satu dari mereka.

“Yang pernah viral pas jambak cewek di kafe? Serius itu istri Ustad Damar sekarang?” sahut yang lain sinis.

“Cantik sih. Tapi ya… pantasnya di runway, bukan di rumah Kiai,” gumam perempuan berkerudung coklat tua.

“Tapi anak pengusaha besar, lho. Campuran Jepang juga. Mungkin modal lebih penting daripada akhlak sekarang,” cetus yang lain setengah nyinyir.

Kia sempat mendengar, tapi tak mengangkat wajah. Ia hanya menunduk, lalu menggenggam tangan Damar lebih erat.

“Dengar, Sayang?” tanya Damar pelan, matanya lurus ke depan.

Kia mengangguk pelan. “Nggak apa-apa. Aku nggak mau balas omongan, aku mau buktiin aja.”

“Bagus,” ujar Damar singkat. “Karena yang tahu kamu yang sekarang, bukan mereka.”

Nyai Kalsum kembali menoleh ke arah mereka, lalu memanggil Kia untuk duduk di tikar panjang bersama ibu-ibu pondok. Zahrah sibuk membawa teh dan kue, sementara para santri mulai berdzikir tanda acara syukuran kecil akan dimulai.

Meski masih banyak suara sumbang, tapi Kia belajar satu hal hari ini: kadang kebahagiaan nggak selalu dirayakan semua orang, tapi dia cukup kalau bisa dipertahankan di dalam hati.

Langit sore mulai jingga saat Kia duduk santai di beranda rumah Nyai Kalsum, menatap halaman ponpes yang ramai dengan santri dan warga sekitar. Meskipun ia sedang hamil muda, semangatnya tetap menyala, senyumnya mengembang seperti biasa. Dalam balutan gamis putih simpel dan scarf tipis yang disampirkan sembarang, aura tomboy-nya masih terpancar, hanya kini lebih kalem.

Ia melirik ponselnya, lalu melirik dua orang kepercayaannya yang duduk tak jauh—Fajar dan Putri.

“Fajar, cepetin ya, kamu langsung aja hubungin katering paling top di Bandung, yang biasa handle event VVIP. Aku mau mereka kirim makanan siap santap buat semua warga pondok. Harus sampai sebelum Maghrib,” pintanya tegas.

“Baik, Bu Kia. Seribu paket, ya?”

“Lebihin aja dikit, takut kurang. Oh ya, Putri…” Kia menoleh, nada bicaranya sedikit diturunkan, “kamu koordinasiin paket sembako, langsung drop ke rumah-rumah warga sekitar pondok. Jangan tunggu seremoni, pokoknya sore ini mereka udah bisa nerima.”

Putri mengangguk cepat. “Disamarkan atas nama siapa, Bu?”

Kia tersenyum kecil. “Jangan pakai namaku, bilang aja ini hadiah syukuran dari pasangan baru pondok Al Firdaus.”

“Siap, Bu.”

Tak lama, Fajar sudah sibuk menelepon, sedangkan Putri membuka laptop mini dari tas jinjingnya. Keduanya bekerja cepat, hafal betul ritme perintah Kia yang satu ini keras di luar, tapi sensitif di hati.

Sementara itu dari balik tirai, Zahrah, adik Ustad Damar, mengintip sejenak lalu terkikik pelan. “Masya Allah, kakak ipar aku ini gayanya bos besar, tapi hatinya lembut banget.”

Kia sempat mendengar, tapi hanya geleng pelan. “Kalau bisa bikin orang lain ikut senyum, kenapa nggak?” ujarnya sambil berdiri, tangan refleks mengusap perutnya.

Ia berjalan pelan ke halaman, menyalami beberapa ibu-ibu, menyapa santri kecil, dan sesekali bercanda, menunjukkan bahwa dia memang tak lagi seperti dulu. Tapi di balik sambutan hangat itu, masih ada sorot mata sinis dari beberapa orang yang berkumpul di sudut.

“Masih susah percaya sih, anak kota kayak dia bisa nyatu sama pondok kayak gini,” bisik seseorang.

“Dulu tomboi, rambut warna-warni, bajunya robek-robek. Sekarang sok-sokan alim,” tambah yang lain.

Tapi Kia pura-pura nggak dengar. Ia memilih melambai ke Nyai Kalsum dan membagikan senyum terbaiknya.

“Kadang orang cuma perlu waktu buat kenal, bukan buat nilai,” bisik Kia dalam hati sambil menatap langit sore yang makin temaram.

1
Siti Nina
Nyess banget ke hati mantap nih author nya 👍👍👍
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: makasih banyak kakak..

bisa mampir baca novel aku yang lain judulnya Pawang Dokter Impoten n Iman Diujung Rindu
total 1 replies
Siti Nina
Keren ceritanya 👍👍👍👍
Eva Karmita
KIA kamu egois kenapa kamu ngk berontak waktu belum jadi istri pak ustadz dan sekarang Baru menyesal setelah semalam mendesah hedeeehh 🤦🏻‍♀️😤
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: hehehe 🤭🤣
total 1 replies
Purnama Pasedu
di sabarin ya kia
Meirah
serunya
Mutia bee🐝
Ceritanya bagus semangat kakak
Purnama Pasedu
betul kia
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: makasih banyak masih setia baca kakak 🙏🏻🥰
total 1 replies
Purnama Pasedu
akan banyak cela kia
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: itulah hidup kak baik semakin dicela lebih-lebih kalau sudah jelek dari awal
total 1 replies
Purnama Pasedu
ustadz bisa ae
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: pintar gombal yah 🤭🤣
total 1 replies
Purnama Pasedu
iya kia
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: hehehe 🤭
total 1 replies
Purnama Pasedu
tapi kadang tempat kerja ngelarang pakai hijab ya
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: iya kakak tergantung dari peraturan perusahaan
total 1 replies
Purnama Pasedu
bisa ae pak ustadz
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: pak ustadz gaul 😂
total 1 replies
Purnama Pasedu
masih galau ya kia
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: hehehe 🤭
total 1 replies
Purnama Pasedu
aamiin
Purnama Pasedu
pasangan yg kocak
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: makasih banyak masih setia baca 🙏🏻🥰
total 1 replies
Purnama Pasedu
kia terlalu keras ya
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: sabar kak ujian sang ustadz tapi nanti dapat hidayah kok 🤣🤭
total 1 replies
Purnama Pasedu
si kakek
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: ulah kakeknya akhirnya gol 🤭🤣
total 1 replies
Purnama Pasedu
kia jadi diri sendiri aj,perlahan aj
Eva Karmita
semangat otor 🔥💪🥰
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: Alhamdulillah makasih banyak kakak
total 1 replies
Eva Karmita
semangat ustadz... yakinlah Allah selalu ada untuk umatnya
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: betul kak
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!