NovelToon NovelToon
Iparku

Iparku

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi / Beda Usia / Keluarga / Romansa / Sugar daddy
Popularitas:4.6k
Nilai: 5
Nama Author: Khozi Khozi

"mbak meli ,besar nanti adek mau sekolah dikota smaa mbak "ucap lita yang masih kelas 1 SMP
" iya dek kuliahnya dikota sama mbak "ucap meli yang sudah menikah dan tinggal dikota bersama suaminya roni.

apakah persetujuan meli dan niat baiknya yang ingin bersama adiknya membawa sebuah akhir kebahagiaan?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Khozi Khozi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

episode 24 mulai membaik

Sore itu, Lita baru saja diantar pulang oleh sahabatnya. Namun, begitu sampai di rumah, sesuatu tampak berbeda darinya. Wajahnya pucat pasi, matanya sembab seolah habis menahan tangis, dan langkahnya terasa berat. Vina, yang menyambutnya, langsung sadar ada sesuatu yang tidak beres. Ia mencoba bertanya, namun Lita tidak menjawab sepatah kata pun. Tanpa menoleh, ia hanya masuk ke dalam kamar dan langsung mengunci pintu rapat-rapat.

Khawatir, Vina segera menghubungi orang yang bertugas mengawasi Lita dari jauh, juga bodyguard pribadi yang selalu mengikutinya. Sang bodyguard pun akhirnya menceritakan kronologi kejadian sejak awal. Mendengar semuanya, darah Vina seolah mendidih. Ia benar-benar geram.

“Bagaimana bisa mereka melakukan hal keji seperti itu pada Nyonya? Mempermalukan di depan banyak orang, tanpa sedikit pun rasa hormat,” gumam Vina dengan penuh amarah.

Tanpa menunda, Vina langsung melaporkan kejadian ini kepada Roni, orang kepercayaan sekaligus tangan kanan yang biasa mengatur banyak hal penting.

“Ada apa?” tanya Roni dengan suara tegas saat menerima laporan itu.

Vina menarik napas dalam, menahan emosinya, lalu berkata, “Tadi siang… Nyonya Lita diganggu oleh manusia-manusia tikus itu, Tuan. Mereka mempermainkan beliau, membuatnya terpuruk, dan—” suaranya tercekat karena marah sekaligus iba.

Roni terdiam sejenak, wajahnya berubah dingin. “Hm… rupanya ada pihak yang ingin bermain-main dengan dirinya,” ucapnya pelan namun penuh arti, seolah sudah menebak arah masalah ini.

Ia lalu menatap tajam ke arah tangan kanannya yang lain. “Kumpulkan semua data tentang anak-anak itu. Jangan ada yang berani menyentuh mereka dulu. Kali ini… kita akan bermain halus.”

“Baik, Tuan,” jawab tangan kanannya dengan mantap.

Roni kemudian beralih pada Vina. Suaranya mengandung nada perintah. “Sekarang, tugasmu adalah membujuk Lita. Jangan biarkan ia melewatkan makan. Ia sedang terpukul, aku yakin dia sedang menangis di kamarnya. Hibur dia, temani dia, lakukan apa saja agar dia tidak merasa sendirian.”

“Iya, baik Tuan,” jawab Vina dengan penuh hormat.

Tanpa menunggu lebih lama, Vina merogoh sakunya dan mengeluarkan kunci cadangan kamar Lita. mengetuk perlahan sambil memanggil, namun tidak ada jawaban. Dengan hati-hati ia memasukkan kunci cadangan itu ke lubang pintu,

“Keluar! Aku tidak ingin diganggu siapa pun…” suara Lita terdengar serak dari balik pintu. Ia masih terisak, menahan tangis yang tak ingin dilihat orang lain.

Namun Vina tak bergeming. Ia mendekat ke arah pintu dan menjawab dengan tegas namun lembut, “Tidak, Nyonya. Saya tidak akan meninggalkan Anda sendirian. Saya akan menemani Anda.”

“Tolong… kali ini saja. Biar aku sendiri dulu,” ucap Lita lagi, suaranya melemah seiring isakan yang semakin pecah. Ia berharap Vina menyerah.

Tapi Vina justru menggeleng, meski Lita tak bisa melihatnya dari dalam. “Saya sudah memesan makanan untuk Nyonya,” katanya sembari menyiapkan bungkusan yang baru saja diantar.

Lita menjerit pelan sambil menutup wajah dengan kedua tangannya. “Bisa nggak sih dia sehari saja nggak ganggu aku terus?” keluhnya. Dengan frustrasi ia meremas selimut erat-erat, seolah ingin menghilangkan rasa sakit dan malu yang masih menghantui pikirannya.

Tak lama, terdengar langkah kaki Vina masuk. Dengan hati-hati ia meletakkan berbagai makanan di meja kecil dekat ranjang. Ada nasi hangat, sup ayam bening, beberapa lauk kesukaan Lita, hingga camilan manis: cokelat batangan, es cokelat kental, dan es krim dengan topping kacang yang biasa membuat Lita tersenyum. Semua tersusun rapi, aroma menggoda langsung memenuhi kamar yang tadinya pengap oleh kesunyian.

“Silakan, Nyonya. Coba makan dulu sedikit,” ucap Vina sambil menyingkap plastik pembungkus dan menuangkan sup ke mangkuk. Suaranya penuh kesabaran, meski matanya ikut berkaca-kaca melihat kondisi Lita.

Awalnya Lita ingin menolak. Bibirnya sudah terbuka untuk berkata “tidak”, namun begitu aroma sup dan cokelat itu tercium, perutnya bergejolak. Ia sadar betul dirinya belum makan apa-apa sejak siang. Rasa lapar itu perlahan mengalahkan egonya. Dengan ragu, ia mengambil sendok, lalu mencicipi sesuap sup. Hangatnya kuah seolah sedikit meluruhkan dingin di dadanya.

Vina yang memperhatikan dari samping hanya bisa tersenyum lega. “Ternyata Nyonya lapar juga…” gumamnya pelan.

Lita melirik sekilas. “Kenapa senyum? Aku makan juga terpaksa, bukan karena aku mau,” ujarnya ketus, berusaha menutupi rasa malunya karena akhirnya menyerah.

Vina menunduk, lalu berkata tulus, “Tidak, Non. Saya hanya senang… akhirnya Non mau bicara lagi dengan saya. Itu sudah cukup.”

Lita terdiam, menunduk sambil terus mengaduk sendok di mangkuk. Hatinya sedikit menghangat, meski ia tak mau mengakuinya. Di dalam kepalanya, ia tahu, tanpa Vina mungkin ia sudah benar-benar tenggelam dalam kesedihan malam itu.

Sekarang Nona bisa istirahat,” ucap Vina sambil merapikan piring dan mengumpulkan sisa makanan di meja.

“Aku mau ke depan sebentar, permisi,” lanjutnya pelan sebelum keluar kamar.

Lita hanya mengangguk lemah. Rasa kantuk mulai menyerang tubuhnya yang masih letih akibat kondisi sebelumnya. Ia pun merebahkan diri di tempat tidur, berusaha memejamkan mata.

Di luar kamar, Vina berjalan membawa sampah makanan. Setelah membersihkannya, ia segera menghubungi Roni melalui telepon untuk melaporkan keadaan.

“Keadaan Nona sudah agak membaik,” lapornya dengan nada lega.

“Baik. Tetap awasi dia. Jangan biarkan dia pergi besok. Pastikan dia tetap di sini,” jawab Roni singkat dan tegas sebelum mematikan panggilan.

Selesai berbicara, Roni bergerak cepat. Ia berganti pakaian dengan mengenakan jaket hitam, masker yang menutupi hampir seluruh wajah, serta kacamata hitam untuk menyamarkan identitas, seolah sedang menyusun rencana yang tidak boleh gagal.

Tak lama kemudian, ia memberi instruksi pada bodyguard yang selalu setia mengawalnya. Dengan isyarat tangan, Roni memerintahkan mereka untuk bersiap. Mobil hitam dengan kaca gelap sudah menunggu di halaman. Malam itu, mereka akan bergerak menuju rumah yang menjadi target Roni, dan setiap langkahnya terasa dipenuhi rahasia besar yang belum diketahui siapa pun.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!