Patah hati membawa Russel menemukan jati dirinya di tubuh militer negri. Alih-alih dapat mengobati luka hati dengan menumpahkan rasa cintanya pada setiap jengkal tanah bumi pertiwi, ia justru diresahkan oleh 'Jenggala', misinya dari atasan.
Jenggala, sosok cantik, kuat namun keras kepala. Sifat yang ia dapatkan dari sang ayah. Siapa sangka dibalik sikap frontalnya, Jenggala menyimpan banyak rahasia layaknya rimba nusantara yang membuat Russel menaruh perhatian khusus untuknya di luar tugas atasan.
~~~~
"Lautan kusebrangi, Jenggala (hutan) kan kujelajahi..."
Gala langsung menyilangkan kedua tangannya di dada, "dasar tentara kurang aj ar!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sinta amalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tiga belas ~ Mission complete
...Panggilan masuk Mamaku...
Sepasang mata kelam Russel melirik penuh tanya dan rasa keingintahuan kala dering ponsel yang tak begitu jelas terdengar itu diiringi oleh getaran di meja mereka.
Yeahh, Gala membiarkan panggilan itu begitu saja, berteriak-teriak tanpa mau meredakannya.
Tatapnya jatuh bolak balik pada ponsel yang menggelepar bergantian ke arah wajah Gala yang ragu.
"Sorry." Russel menyentuh touchscreen nya dan menggeser itu ke atas.
"Kenapa--" semprotan Gala terhenti saat mendengar suara mama menyambut.
"Hallo ma..." alis Gala menukik saat dengan tak sopannya Russel mengangkat panggilan di ponselnya.
"Maaf ma, mendadak ada kerjaan yang sayang ditinggalin. Aku buru-buru kejar penerbangan kemaren." Jelasnya pelan-pelan sambil berpikir.
Ia tak peduli alasannya terlalu klasik, siapa menyangka juga jika panggilan mama akhirnya harus ia angkat sebab sejak tadi ia terlalu ragu menerima panggilan itu, yang sudah pasti mama akan bertanya-tanya, bahkan mungkin menangis seperti sekarang.
Bagi Gala, penyelesaian terbaik adalah diam. Karena selama ini pun hanya dengan diam dan pergi semua baik-baik saja.
Kini terlihat Gala yang memandang makanannya dengan sorot nyalang bukan karena masih tersisa dan belum habis, namun karena mendengar keluhan mama disana, "oh, mama jangan lupa minum obat."
Mama mau Lala kembali...
Terdengar suara bergetar dari sebrang panggilan sana. Entah berapa volume panggilan itu, yang jelas Russel sedikit bisa mendengarnya.
Russel melihat setiap gerak gerik dan air muka Gala, begitu dipenuhi kebimbangan dan beban.
Bahkan ketika Gala berhasil mengatasinya, kini ia menaruh ponselnya kasar di meja,
Pluk !
"Lancang!" marahnya dengan alis menukik sempurna dan tak ada ampun.
"Saya sudah minta maaf sebelumnya. Lagipula itu ibu kan? Kenapa harus berpikir, jangan sampai nanti kamu menyesal..." ia sangat tidak setuju dengan sikap Gala barusan, membiarkan hati seorang ibu khawatir di sebrang sana.
"Jika nyatanya itu adalah kabar terakhir, kamu cuma bisa menyesal nantinya."
Ia bersidekap dada, tak ingin melanjutkan lagi acara makannya pada sisa makanan yang tersisa, "tapi harusnya kamu ngga lancang gitu sama barang orang. Itu namanya kamu ngga sopan! Ngga pernah diajarin ya, buat ngga pegang-pegang apapun yang bukan milik kamu?!" semprotnya lagi.
"Oke...saya minta maaf sudah lancang mengangkat panggilan yang bikin kamu ragu dan mikir seribu kali itu, am i wrong? Saya juga minta maaf sudah pegang-pegang bahkan peluk kamu tadi." Russel mengangkat kedua tangannya di udara, wajah sengit itu dihiasi warna merah saat permintaan maaf Russel yang kedua.
Kenapa juga harus disebutin! Gerutu Gala dalam hati, ia refleks menggerakkan bahunya merasa...geli.
"Tapi pantaskah begitu?" kembali Russel mencecarnya. Gala hanya bisa diam dengan raut wajah yang belum mereda, ia jengkel sebab apa yang dikatakan Russel benar.
"Saya tidak tau apa masalah kamu dengan yang di makko, tapi apakah pantas kamu melampiaskannya pada ibu? Atau justru ibu yang membuat kamu begini?"
Dan Gala masih memandang Russel tanpa bicara, "bicara. Bukan diam. Buat mereka tau apa maumu, buat mereka paham isi hatimu. Tidak semua masalah, diam jawabannya."
Russel menggeser piring bekas Gala yang masih tersisa makanan, lalu tanpa merasa jijik ia menghabiskan itu, "dan menyimpan lukamu sendirian. Cuma akan menjadi busuk yang menjalar."
"Ijin habiskan, biar kita cepat kembali ke makko. Urusan saya masih banyak." Pungkasnya.
Ada helaan yang berulang kali Gala keluarkan, ia melepas ikat rambut yang sejak tadi menggenggam kepala, beralih mengikat seluruh helaian rambut jadi satu kuciran di belakang.
"Bukan lari tapi hadapi. Biar kamu ngga jadi penge cut seperti yang kamu bilang, apa bedanya kamu dengan komandan jika kamu hanya berlari menghindar, atau mau saya temani? Yuk!" ajak Russel meraih pergelangan tangan Gala dan mengangkatnya sementara si empunya masih duduk.
Gala selalu tampak memasang wajah sengitnya, ia menepis genggaman Russel namun hasilnya nihil, karena cengkraman itu seolah menempel oleh lem.
"Oke, begini saja. Saya temani kamu untuk pamit pada om dan tantemu..."
Gala mengernyit, "kamu ngikutin saya sampai rumah? Sejak kapan?!"
Russel tak tertarik untuk menjawab, ia justru memilih mengangguk mengakui, "saya temani pamit ke rumah, lalu kita terbang ke ibukota, ke makko tepatnya. Saya temani kamu bicara lalu selesai. Kamu bisa membuat mereka mengerti apa yang kamu mau. Dan apa kesalahan yang harus diperbaiki."
"Atau mungkin, endingnya...kita----"
"Apanya?!" sembur Gala segera membuat Russel langsung mengatupkan bibirnya.
"Tidak ada kata kita, saya atau kamu !!" galaknya.
Dan disini Gala berakhir, diekori Russel pulang ke rumah tanta dan om untuk ijin ke ibukota.
"Inamu kirim ajudan juga akhirnya. Dia menyerah dengan sikap nona manis pembangkang ini." Tawa tanta Yubi melihat Russel yang tengah mengobrol dari balik gawang pintu kamar, entah apa yang dilakukan Gala sejak tadi bolak balik memasukan kaos-kaosnya, seperti hanya sedang mengulur waktu saja.
Gala tak pernah lagi tersenyum sejak kehadiran Russel yang mengacaukan harinya ini, ia duduk di tepian ranjang setelah berhasil menutup resleting tas.
"La, bicara saja dengan amamu. Jangan kamu menanggung sendirian masalahmu, sudah berapa tahun kamu mendekap luka sendirian. Agar dia paham, agar dia bisa mengerti keadaanmu, disini...semua orang menganggap kamu yang memiliki masalah tanpa penyelesaian."
Gala menoleh, ia bahkan menaruh kepalanya di pundak tanta Yubi, "lalu mama terluka? Lalu hubungan pernikahan mereka hancur? Harusnya aku tidak nekat untuk pulang waktu itu. Harusnya aku tidak mendengar perdebatan papa dan tanta Rara."
"Tanta tau ini berat, apalagi besok lusa Ayunda dan Aziz..."
Gala menggeleng, "aku sudah membuang jauh-jauh bayang Aziz. Kemarin, hanya terkejut saja, sebab aku baru menyadari sesuatu."
"Alasan sebenarnya Aziz meninggalkanmu?"
Gala mengangguk di bawah siraman cahaya lampu kamar, ia menggidikan bahunya, "lelaki breng sek itu, lebih memilih kak Ayunda...selain dari kak Ayunda mungkin perempuan lebih baik, namun ia pun berharap sesuatu dari hubungannya dan kak Ayunda."
"Kamu, tidak berniat bicara tentang ini pada Ayunda atau Ina dan amamu?"
Gala menggeleng, menutup rapat mulutnya. Tanta Yubi hanya meringis, sangat paham karakter Gala yang memang selalu memilih diam.
Lalu ia menggenggam tangan Gala, "jangan pulang dalam keadaan seperti tadi pagi. Tanta dan om akan selalu menerimamu, tapi dalam kondisi lebih baik. Selesaikanlah urusanmu, duduk bersama dan bicarakan. Kamu sudah dewasa, La." kini ada pelukan hangat dan tetesan air mata mengiringi kepergian Gala ke ibukota, entahlah perasaannya saja yang seperti sudah memiliki naluri seorang ibu, jika kepergian Gala kali ini akan sangat lama.
Gala menenteng tasnya, "titip alat DJ ku, kubeli mahal...jangan sekali-kali om buang atau rakit jadi pemutar musik di balai desa."
Tanta Yubi tertawa mendengar omelan Gala pada sang suami.
"Sound speaker yang kusumbang itu orisinal. Jadi pasti awet untuk beberapa tahun."
Om Dandi tak bicara apapun, justru memeluk Gala, "Bae bae lu disana, ha." usapnya di kepala Gala, "makan betul-betul. Lu sonde bisa makan itu makanan pedas sekali."
Russel berdehem melihat interaksi mereka. Perlakuan Gala begitu berbeda pada om dan tante nya disini.
"Hey nyonk, titip anakku." Ujar om Dandi.
Russel menghormat dan mengangguk, "siap, ijin pamit...ibu, bapak."
Bahkan Russel kini mengambil alih tas Gala dan menaruh di depan dengan Gala yang ia bonceng.
"Kamu harus janji, setelah kamu membawaku kembali. Kamu tak akan pernah terlibat lagi dengan tugas yang berurusan denganku. Apa yang akan aku lakukan disana, kamu tidak akan pernah menerima tugas apapun dari papa jika itu menyangkut denganku."
Russel mengulas senyumnya dan mengangguk, "janji."
Gala mengulurkan kelingkingnya ke depan.
Apa ini? Russel melirik itu. Alih-alih menautkan jari kelingkingnya, ia justru mencapluk menggigit kecil kelingking Gala membuat si empunya terkejut menarik tangannya dan melayangkan tamparan di wajah Russel, tak lupa ia juga mendorong kepala lelaki ini.
"Aduh."
"Kenapa kamu gigit!" Gala bahkan mengelap kelingkingnya itu di jaket Russel dan mengibas-ngibaskan tangannya jijik.
"Kamu tidak lihat, saya sedang mengendarai motor?"
"Kenapa ngga bilang iya saja ketimbang harus gigit kelingking saya. Jijik!" omel Gala masih tak terima. Russel justru tertawa, "nanti sesampainya di makko saya bawa ke klinik biar disuntik rabies."
"Ngga lucu!" bentak Gala.
.
.
.
.
Semoga setelah badai ini menerjang, akan ada damai datang
lanjut
lanjut
ikutan nangis dong di bab ini ikut merasakan yg gala rasakan....klo gala ice rasa getir ...yg aq rasa mie kuah rasa asin alias ingus meleleh krn baca sambil makan mie rebus 😭😭