Aluna Haryanti Wijaya, gadis lembut yang menikah demi menjaga kehormatan keluarga. Pernikahannya dengan Barra Pramudya, CEO muda pewaris keluarga besar, tampak sempurna di mata semua orang. Namun di balik janji suci itu, Aluna hanya merasakan dingin, sepi, dan luka. Sejak awal, hati Barra bukan miliknya. Cinta pria itu telah lebih dulu tertambat pada Miska adik tirinya sendiri. Gadis berwajah polos namun berhati licik, yang sejak kecil selalu ingin merebut apa pun yang dimiliki Aluna.
Setahun pernikahan, Aluna hanya menerima tatapan kosong dari suaminya. Hingga saat Miska kembali dari luar negeri, segalanya runtuh. Aluna akhirnya tahu kebenaran yang menghancurkan, cintanya hanyalah bayangan dari cinta Barra kepada Miska.
Akankah, Aluna bertahan demi cintanya. Atau pergi meninggalkan Barra demi melanjutkan hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
10. Bagaikan langit yang terus merindukan bumi.
Suasana hening, Ratih duduk di sisi ranjang sambil mengelus tangan Aluna, berusaha menenangkan menantunya yang baru saja selesai dicek dokter. Pintu ruangan terbuka, dan masuklah Miska dengan langkah anggun, wajahnya tersenyum sok polos. Di tangannya, sebuah buket bunga besar terbungkus kertas putih keperakan.
“Kak Aluna…” suara Miska terdengar lembut, penuh kepura-puraan.
“Aku ikut prihatin, makanya aku belikan bunga ini untukmu. Semoga cepat sembuh, ya, Kak.”
Ratih menoleh, alisnya langsung berkerut. Begitu melihat jenis bunga yang dibawa Miska, darahnya langsung naik. Itu bukan mawar, bukan bunga yang biasa diberikan untuk orang sakit. Itu adalah bunga krisan putih bunga yang identik dengan upacara kematian.
Ratih berdiri, wajahnya merah menahan emosi.
“Kamu … Miska, apa maksudmu bawa bunga ini? Kamu pikir Aluna sudah mati?” suara Ratih meninggi, membuat Aluna yang lemah ikut terkejut.
Miska langsung memasang ekspresi terkejut, pura-pura panik.
“A-aku nggak tahu, Tante. Aku … aku kira ini bunga untuk orang sakit. Aku hanya ingin berbuat baik.”
Ratih spontan meraih buket itu dari tangan Miska dan melemparkannya ke lantai hingga bunga berhamburan.
“Berbuat baik? Jangan pura-pura polos di depan saya! Kamu itu adiknya, bukan musuhnya! Bunga ini bukan untuk orang sakit, tapi untuk orang mati!”
Miska menunduk, matanya berkaca-kaca. Namun dalam hati ia tersenyum puas melihat Ratih meledak seperti itu. Dari luar ruangan, Barra yang masih sibuk berbicara dengan klien lewat telepon mendengar suara ribut. Ia segera menutup telepon lalu masuk dengan wajah tak sabar.
“Apa lagi ini, Ma?” suara Barra tegas. Ia melihat bunga-bunga berhamburan di lantai, lalu menatap ibunya.
“Kenapa Mama tega begini? Miska sudah datang niat baik, bawa bunga untuk Aluna, tapi malah Mama lempar begitu saja?”
Ratih menoleh cepat, suaranya bergetar menahan amarah.
“Kamu buta, Barra? Itu bukan bunga untuk orang sakit, tapi bunga untuk orang mati! Kamu masih juga belain dia?”
Barra terdiam sejenak, menoleh ke arah Miska dengan tatapan tajam. Sesaat, wajahnya tampak ragu. Namun Miska dengan lihai langsung mendekat, memeluk lengan Barra sambil bersuara manja.
“Aku … aku salah, Kak Barra. Bukan salahku ... Aku pesan bunga untuk orang sakit, tapi mungkin orang toko bunganya yang salah kasih. Jangan salahin aku, aku cuma mau Kak Aluna cepat sembuh…”
Wajah Barra yang tadinya tegang langsung melunak. Ia menatap ibunya lagi.
“Lihat, Ma. Itu bukan salah Miska. Jangan terus-terusan salahin dia. Kalau bukan karena dia maksa aku datang, mungkin aku nggak akan ke rumah sakit ini.”
Kata-kata itu menusuk hati Aluna dalam-dalam. Air matanya jatuh tanpa bisa ditahan. Ia menatap suaminya dengan sorot tajam penuh luka. Suara lirihnya pecah di ruangan itu.
“Kalau begitu … pergilah, Barra. Aku tidak butuh kehadiranmu di sini. Jangan kotori ruanganku dengan wajahmu dan kebohonganmu.”
Barra sempat terdiam, matanya menyipit menatap Aluna. Namun sebelum ia bisa berkata apa pun, pintu ruangan kembali terbuka. Andra masuk dengan buket mawar merah yang besar dan keranjang buah di tangannya. Senyumnya hangat, penuh tulus saat menatap Aluna.
“Aku dengar kamu sakit, Lun. Maaf baru bisa datang. Aku bawa sesuatu biar kamu cepat pulih.”
Ratih langsung berdiri menyambut Andra dengan senang, sementara wajah Barra menegang. Ada bara kecil di matanya saat melihat Aluna menerima buket mawar besar itu dengan senyum samar senyum yang tak pernah ditujukan padanya belakangan ini.
Miska melirik cepat ke arah Barra, lalu menunduk. Namun di balik kepalanya, ia tersenyum licik. Cemburu Barra pada Andra adalah celah yang akan ia gunakan untuk semakin menguasai hati pria itu.
Setelah beberapa menit tegang karena pertengkaran tadi, suasana sedikit berubah hangat saat Andra datang. Ia meletakkan buket mawar merah besar di meja kecil samping ranjang, lalu duduk dengan tenang di kursi di sisi Aluna.
Wajah Aluna yang pucat terlihat lebih cerah, terlebih saat Andra mengeluarkan sebuah map biru dari tas kerjanya. Ia menyerahkan map itu langsung pada Aluna.
“Ini … hasil dari desain yang kamu buat untuk perusahaanku kemarin, Lun.” Suara Andra terdengar penuh semangat. “Kamu nggak tahu betapa desain itu mendongkrak omzet kami. Laporan bulan ini … gila, naiknya dua kali lipat ... Aku benar-benar nggak nyangka.”
Aluna membuka map biru itu, menatap lembaran laporan dengan mata teduh. Ada sedikit rasa bangga yang muncul, meski senyum yang ia tunjukkan samar saja.
“Aku senang kalau bisa bermanfaat. Tapi, Andra…” Aluna menutup map itu perlahan, suaranya berubah tenang namun penuh keyakinan.
“Desain selanjutnya, aku sudah janji. Itu untuk perusahaan Pramudya. Kakek Bram sendiri yang memintaku. Aku nggak bisa jualnya ke yang lain.”
Andra sempat terdiam, memandangi wajah Aluna. Ada ketegasan sekaligus kejujuran di balik sorot mata wanita itu. Ia mengangguk pelan, meski hatinya sedikit kecewa.
“Aku mengerti … Kamu memang selalu pegang teguh ucapanmu. Itu yang bikin aku semakin percaya sama kamu, Lun.”
Keduanya pun larut dalam obrolan tentang pekerjaan, membicarakan tren pasar, potensi desain berikutnya, hingga strategi investasi yang sedang berkembang. Ratih mendengarkan dengan seksama dari sofa di sudut ruangan, sesekali tersenyum tipis. Dalam hati ia lega Aluna ternyata jauh lebih kuat dan berbakat daripada yang pernah ia kira.
Mobil hitam mewah itu melaju di jalanan kota yang mulai padat. Barra duduk di balik kemudi, wajahnya penuh pikiran. Di kursi penumpang depan, Miska duduk dengan tubuh condong sedikit ke arahnya, mencoba mengajaknya bicara.
“Kak Barra … terima kasih ya sudah selalu peduli sama aku. Kalau nggak ada kamu, mungkin aku masih terbaring kesakitan di rumah sakit,” ucap Miska lembut, senyumnya dibuat semanis mungkin.
Namun, Barra hanya menanggapi dengan gumaman singkat. Tatapannya lurus ke depan, pikirannya jelas tidak bersama Miska. Ada bayangan wajah Aluna dengan senyum samar saat menerima buket bunga dari Andra yang tiba-tiba terlintas, membuat dadanya sesak tanpa ia sadari.
Beberapa menit kemudian, Barra mendadak membanting stir ke arah tepi jalan dan menghentikan mobil.
“Turun.” Suaranya dingin, tegas, tanpa bisa ditawar.
Miska terbelalak, wajahnya berubah kaget. “A-apa maksudmu, Kak? Kita kan belum sampai rumah…”
“Aku ada urusan lain. Pulanglah naik taksi.” Barra tidak menoleh, tangannya sibuk merapikan jas, matanya tetap lurus menatap kaca depan.
“Kak Barra, tapi...”
“Turun, Miska.” Kali ini suaranya lebih keras, tatapan tajamnya akhirnya menoleh sekilas. Tegas, tak bisa dibantah. Miska menggigit bibirnya. Hatinya panas, tapi ia tahu Barra tidak suka perdebatan panjang. Dengan enggan, ia membuka pintu mobil dan turun. Begitu pintu ditutup, mobil Barra langsung melesat pergi, meninggalkan Miska yang berdiri di trotoar dengan wajah kesal.
Di dalam mobil, Barra menarik napas panjang, kedua tangannya mencengkeram erat setir. Dalam pikirannya hanya ada satu arah, kembali ke rumah sakit. Ia tidak mau mengakuinya, tapi bayangan Andra yang duduk begitu dekat dengan Aluna terus menghantui benaknya.
Barra melangkah cepat di lorong rumah sakit, wajahnya tegang. Begitu pintu kamar Aluna terbuka, pandangannya langsung jatuh pada pemandangan yang membuat dadanya mengeras. Siapa sangka Barra malah kembali lagi ke rumah sakit.
Di sisi ranjang, Andra duduk santai sambil bercerita panjang lebar, “Ingat nggak waktu kita dulu di kampus, Lun? Kamu sampai jatuh gara-gara pakai sepatu hak tinggi pas presentasi…”
Aluna tertawa kecil, senyum tulus terukir di bibirnya. “Iya, aku ingat. Semua orang panik, padahal aku cuma malu aja waktu itu.”
Tawa itu membuat ruangan seakan hangat kecuali bagi Barra. Dari ambang pintu, matanya menyipit, rahangnya mengeras. Ada bara cemburu yang menyala diam-diam, meski bibirnya tetap terkatup rapat tanpa sepatah kata pun.
"Barra," seru Ratih yang tak sengaja melihat Barra kembali ke rumah sakit dan hanya berdiri di luar sembari memperhatikan Aluna dan Andra dengan rasa cemburu yang cukup pahit untuk ditelan olehnya.
Semoga karma cepat menjemput mu 😡😡😡