Sejak bayi, Eleanor Cromwel diculik dan akhirnya diasuh oleh salah satu keluarga ternama di Kota Olympus. Hidupnya tampak sempurna dengan dua kakak tiri kembar yang selalu menjaganya… sampai tragedi datang.
Ayah tirinya meninggal karena serangan jantung, dan sejak itu, Eleanor tak lagi merasakan kasih sayang dari ibu tiri yang kejam. Namun, di balik dinginnya rumah itu, dua kakak tirinya justru menaruh perhatian yang berbeda.
Perhatian yang bukan sekadar kakak pada adik.
Perasaan yang seharusnya tak pernah tumbuh.
Di antara kasih, luka, dan rahasia, Eleanor harus memilih…
Apakah dia akan tetap menjadi “adik kesayangan” atau menerima cinta terlarang yang ditawarkan oleh salah satu si kembar?
silahkan membaca, dan jangan lupa untuk Like, serta komen pendapat kalian, dan vote kalau kalian suka
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hazelnutz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19
Malam itu, suasana ruang makan keluarga Cromwel dipenuhi cahaya temaram dari lampu kristal yang menggantung megah di langit-langit. Meja makan panjang berlapis taplak putih rapi sudah terhidang penuh, mulai dari sup hangat, daging panggang, hingga wine merah yang berkilau di gelas kaca. Tapi entah mengapa, meski aroma makanan begitu menggoda, tidak ada satu pun yang benar-benar menikmati hidangan malam itu.
Elanor duduk tenang di kursinya, tepat di seberang Casandra—wanita anggun dengan senyum yang sering tampak hangat, tapi menyimpan sesuatu yang menusuk di balik tatapannya. Perubahan Elanor yang semakin mencolok belakangan ini tampaknya benar-benar mengganggu Casandra. Gadis itu kini tampil jauh lebih dewasa, lebih berwibawa, bahkan caranya duduk saja membuatnya tampak tidak lagi seperti anak kecil yang mudah diatur.
Daniel dan Dominic, kedua kakaknya, nyaris tidak berkonsentrasi dengan sendok dan garpu di tangan mereka. Berkali-kali tatapan keduanya terarah ke wajah sang adik bungsu, seolah tidak percaya bahwa gadis manis yang biasanya kalem itu kini berubah menjadi sosok yang memancarkan aura berbeda. Daniel berusaha menutupi rasa kagumnya dengan berpura-pura sibuk memotong daging di piringnya, sementara Dominic hanya melirik sambil mengetukkan jari di meja, jelas-jelas pikirannya bukan pada makanan.
Suasana canggung itu akhirnya dipatahkan oleh suara Casandra. Dengan nada lembut, seolah penuh kasih, ia membuka percakapan.
“Besok adalah hari ulang tahun almarhum ayah kalian,” ucapnya sambil meletakkan gelas wine perlahan ke meja. “Sudah menjadi tradisi keluarga, kita akan mengadakannya di hotel bintang lima di pusat kota. Jadi aku harap kalian bersiap-siap mulai malam ini. Gunakan stelan terbaik kalian, jangan sampai ada yang tampil sembarangan.”
Nada terakhir kalimatnya terdengar samar namun jelas menyimpan sindiran. Tatapannya lurus menusuk ke arah Elanor, membuat Daniel dan Dominic spontan menoleh ke adik mereka.
Elanor, yang sedari tadi hanya sibuk menatap sup hangat di depannya, kini mengangkat wajah. Senyum tipis muncul di bibirnya, bukan senyum manis seperti dulu, melainkan senyum penuh ketenangan yang entah kenapa membuat Casandra tampak tidak nyaman.
“Tenang saja, Bu,” jawab Elanor dengan santai, nadanya datar namun berisi. “Kami sudah cukup besar untuk tahu cara berpakaian. Tidak perlu khawatir, kami bukan anak kecil lagi.”
Keheningan pun menggantung. Daniel sampai menjatuhkan sendoknya ke piring karena kaget, sementara Dominic menegakkan tubuhnya dan menatap lekat adiknya. Dalam tujuh belas tahun mereka hidup bersama, baru kali ini Elanor berani menjawab dengan cara seperti itu kepada Casandra. Bukan nada kasar, tapi ada kekuatan yang membuat jawaban itu terdengar menohok.
Suasana ruang makan kembali tenggelam dalam hening. Hanya terdengar dentingan halus dari garpu Daniel yang menyentuh piring, dan suara napas Dominic yang terdengar sedikit berat. Casandra meletakkan gelasnya perlahan, lalu mencondongkan tubuh ke depan dengan senyum yang samar—senyum yang lebih mirip ujung pisau ketimbang kelembutan seorang ibu.
“Elanor,” panggilnya lembut, seakan setiap kata keluar dari bibirnya sudah dipertimbangkan matang. “Akhir-akhir ini… kamu tampak berbeda. Berubah, bahkan. Dan sekarang lihatlah, semua orang menatapmu. Kamu jadi pusat perhatian, bukan?”
Daniel dan Dominic spontan ikut menoleh. Daniel menggigit bibir, khawatir adiknya akan terpojok. Dominic malah menyipitkan mata, penasaran dengan jawaban Elanor.
Elanor tidak langsung menjawab. Ia menaruh sendoknya dengan tenang di atas meja, mengusap bibirnya dengan serbet, lalu menatap ibunya lurus tanpa gentar. Senyumnya tipis, tapi sorot matanya penuh keyakinan.
“Kalau saya jadi pusat perhatian sekarang, itu memang tujuannya.”
Daniel sampai menegakkan tubuhnya. “Ela…” gumamnya pelan, tapi tidak melanjutkan.
Casandra masih mempertahankan senyumnya, meski tangannya mengepal di bawah meja.
“Oh? Jadi sekarang kau ingin semua mata tertuju padamu?” tanyanya dengan nada penuh sindiran. “Apa kau tidak takut, Nak? Dunia tidak selalu ramah pada orang yang terlalu menonjol.”
Elanor menghela napas pelan, lalu menyandarkan tubuhnya ke kursi, tenang, seperti seseorang yang sudah menyiapkan jawaban jauh sebelum pertanyaan dilontarkan.
“Kalau dunia tidak ramah,” ucapnya pelan tapi jelas, “maka semakin banyak mata yang tertuju, semakin banyak pula yang bisa melihat kebenaran. Dan itu yang aku inginkan, Bu. Biar semua orang tahu… siapa aku sebenarnya.”
Hening lagi. Kali ini lebih berat. Daniel menunduk, menahan senyum kecil yang entah kenapa muncul—ada kebanggaan pada adik bungsunya. Dominic malah terkekeh pendek, senyum geli di wajahnya, meski jelas ada rasa kagum yang ia sembunyikan.
Casandra, untuk pertama kalinya, tidak langsung menjawab. Ia hanya meneguk wine-nya dalam-dalam, seolah mencoba menelan amarah bersama cairan merah itu. Senyum di wajahnya masih ada, tapi kini lebih kaku, lebih dingin.
“Elanor…” Casandra berucap akhirnya, nadanya rendah. “Kamu harus ingat, setiap sorotan cahaya akan selalu menimbulkan bayangan. Dan bayangan itu… bisa sangat berbahaya.”
Elanor menoleh, menatap ibunya dengan penuh ketenangan, bahkan nyaris menantang.
“Kalau begitu,” balasnya pelan, “biar aku yang hadapi bayangan itu sendiri.”
Daniel dan Dominic menatap adik mereka dengan takjub. Dalam hati, mereka berdua tahu: malam ini, Elanor bukan lagi gadis kecil yang harus dilindungi. Dia sedang menunjukkan bahwa dirinya sudah siap menjadi pusat cerita dalam keluarga Cromwel.
Makan malam akhirnya usai. Suasana meja makan yang sempat panas kini tinggal menyisakan bayangan dingin di benak masing-masing. Casandra naik ke kamar dengan langkah anggun yang penuh wibawa, Daniel langsung masuk ke ruang kerjanya, sementara Dominic menyibukkan diri dengan gitar listrik di kamarnya.
Elanor berjalan menuju kamarnya sendiri dengan langkah ringan, seolah ingin cepat-cepat kabur dari aura menusuk ibunya. Begitu pintu kamarnya tertutup rapat, dia menjatuhkan diri ke atas ranjang dengan senyum lebar. Wajahnya yang semula tegang kini berubah total, mata berbinar, penuh antusias.
Tanpa pikir panjang, ia meraih ponselnya dan langsung menekan nomor sahabatnya. Begitu panggilan tersambung, terdengar suara Bella di seberang, penuh semangat dan nada penasaran.
Begitu tersambung, suara Bella meledak kayak speaker jebol.
“HALOOOO, nona Cromwel yang super kece badaii!!”
Ela ketawa ngakak sampai nutupin muka pake bantal.
“Bell, sumpah deh lo norak banget!”
“Terserah! Eh tapi serius, kenapa lo nelpon? Tumben banget lo semangat gini.”
Ela duduk, pipinya masih bersemu. “Jadi gini… besok kan ulang tahun Papa gue. Terus, Ibu bilang acaranya gede banget, di hotel bintang lima segala macem. Dan—” Ela sengaja berhenti biar bikin Bella penasaran.
“Dan apaaa??” Bella sampe ngejerit.
Ela senyum lebar. “Gue udah masukin nama lo ke daftar VIP, Bell. Lo jadi tamu undangan resmi.”
“APAA?!!!” Bella teriak sampe Ela harus menjauhkan ponsel dari telinga. “VIP?? Di hotel bintang lima?? Gila lo, La! Gue harus pake baju apa? Gue harus make up kayak gimana? Jangan sampe gue keliatan kayak kentang rebus di sebelah lo besok, gue bisa mati gaya!”
Ela langsung ngakak, guling-guling di kasur. “HAHAHA sumpah Bell, lo lebay banget! Santai aja kali, gue yang urusin semuanya. Besok make up gue yang pegang, baju juga gampang lah, lo tinggal duduk cantik.”
Bella masih nggak bisa diem. “La, please! Jangan bercanda, ini serius! Gue bisa salah kostum, nanti gue diketawain orang-orang sosialita itu. Eh, atau lebih parah lagi, gue dikira pembantu yang nyasar ke ballroom.”
Ela makin ngakak, perutnya sampe sakit. “Gila lo, Bell. Tenang aja, gue nggak bakal biarin lo jadi bahan gosip. Lo kan sahabat gue. Kalo lo jatoh, itu sama aja ngejatohin gue juga.”
Suasana jadi sedikit hening, Bella mendesah haru. “Anjir, La… gue terharu sumpah. Lo tau kan, gue sayang banget sama lo.”
Ela senyum kecil. “Iya, iya. Tapi tetep aja, lebay lo kebangetan.”
“Terserah! Eh, tapi serius, kita harus prepare dari sekarang. Video call yuk! Ajari gue cara make up yang bener biar besok gue nggak bikin malu.”
Ela nutup mulutnya biar nggak ketawa lagi. “Dasar ribet. Yaudah, buka kamera. Gue ajarin step by step. Tapi jangan salahin gue kalo besok semua cowok malah naksir lo.”
Bella langsung nyengir lebar di layar. “DEAL! Biar lo yang jaga Rafael, gue yang nyari pangeran lain. HAHAHA!”
Ela cengengesan sambil geleng-geleng kepala. “Lo tuh nggak ada obat, sumpah.”
Malam itu akhirnya diisi tawa dua sahabat yang ngobrol nggak ada abisnya lewat video call. Bella sibuk trial and error make up sambil ngeluh, Ela terus ngakak tiap liat hasil absurd sahabatnya.
Video call akhirnya ditutup setelah hampir satu jam Ela sabar ngajarin step-by-step make up. Bella menatap layar ponselnya yang gelap, terus langsung ngelirik ke kaca di meja rias mungilnya.
“Tamu undangan VIP…” gumamnya pelan, senyum usil kebentuk otomatis. “Bella jadi tamu VIP… HAHAHA gila, siapa coba yang nyangka gue bisa masuk ke acara elit gituan.”
Dia cepet-cepet ngambil lip gloss murahan di meja, olesin seadanya, terus jalan bolak-balik di depan kaca. Tangannya dia taruh di pinggang, dagu sedikit terangkat, sok-sok jalan kayak model runway.
“Selamat datang, Miss Bella!” dia ngomong pake suara sok lembut, terus ngakak sendiri. “Ah, gila! Gila! Gue beneran keren, men!”
Tapi setelah itu dia berhenti, ngeliatin pantulan dirinya yang make up-nya belepotan gara-gara eksperimen barusan. Dia mendesah panjang, terus megang pipinya sendiri.
“Duh, Bell, jangan sampe besok lo keliatan kayak badut. Malu-maluin Ela doang.”
Dia duduk di kasur, terus mandang ke langit-langit kamarnya. Sesaat ekspresinya berubah serius. “Tapi sumpah, gue harus keliatan oke besok. Gue nggak mau cuma jadi ‘si sahabat’ yang nyempil di balik bayangan Cromwel. Gue… gue juga pengen diliat.”
Bella bangkit lagi, semangatnya balik. Dia berdiri di depan kaca, latihan senyum elegan ala-ala sosialita.
“Selamat malam, senang bertemu dengan Anda,” ucapnya sambil sedikit menundukkan kepala. Tapi abis itu dia nggak tahan lagi dan ngakak keras. “HAHAHA! Anjir, suara gue kayak emak-emak arisan!”
Dia geleng-geleng kepala, terus ngetik chat ke Ela:
> La, besok kalo gue bikin malu, lo siap-siap aja gue nyemplungin kepala ke salad biar pura-pura pingsan.
Bella jatuh ke kasur lagi, masih ketawa-ketawa sendiri. Di balik semua cengengesannya, ada rasa excited yang nggak bisa dia sembunyiin. Malam itu, dia ketiduran dengan senyum lebar, membayangkan besok bakal kayak apa dunia mewah keluarga Cromwel.
mirip kisah seseorang teman ku
air mata ku 😭