Hana, gadis sederhana anak seorang pembantu, tak pernah menyangka hidupnya akan berubah dalam sekejap. Pulang dari pesantren, ia hanya berniat membantu ibunya bekerja di rumah keluarga Malik, keluarga paling terpandang dan terkaya di kota itu. Namun takdir membawanya pada pertemuan dengan Hansel Malik, pewaris tunggal yang dikenal dingin dan tak tersentuh.
Pernikahan Hansel dengan Laudya, seorang artis papan atas, telah berjalan lima tahun tanpa kehadiran seorang anak. Desakan keluarga untuk memiliki pewaris semakin keras, hingga muncul satu keputusan mengejutkan mencari wanita lain yang bersedia mengandung anak Hansel.
Hana yang polos, suci, dan jauh dari hiruk pikuk dunia glamor, tiba-tiba terjerat dalam rencana besar keluarga itu. Antara cinta, pengorbanan, dan status sosial yang membedakan, Hana harus memilih, menolak dan mengecewakan ibunya, atau menerima pernikahan paksa dengan pria yang hatinya masih terikat pada wanita lain.
Yuk, simak kisahnya di sini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
18. Ada apa dengan Laudya?
Di kamar, Jamilah berdiri dengan wajah penuh amarah, nadanya meninggi.
“Hana! Kamu sadar nggak apa yang kamu lakukan? Jangan sampai perasaanmu sama Tuan Hansel makin jauh. Ingat, dia itu suami Nyonya Laudya! Kamu cuma … ibu pengganti, tempat menitipkan bayi mereka. Jangan mimpi yang bukan-bukan!”
Hana yang semula duduk di tepi ranjang menunduk, tangannya meremas selimut. Matanya mulai berkaca-kaca. Lalu, ia berdiri dengan berani, meski suaranya bergetar.
“Ibu nggak ngerti perasaan Hana! Semua orang hanya mikirin ego masing-masing. Nyonya Laudya pengen bayi, keluarga Malik pengen keturunan … lalu Hana dipaksa nerima semua ini tanpa pernah ditanya! Apa Hana mau, apa Hana sanggup! Semua keputusan dibuat tanpa persetujuan Hana.”
Air matanya jatuh deras, suara tangisnya pecah.
“Apa salah kalau sekarang Hana jatuh cinta sama Tuan Hansel? Dia suami Hana juga! Bukan cuma milik Nyonya Laudya.” Tangan Jamilah terangkat hampir saja menyentuh pipi sang anak, kedua mata Hana terpejam kala melihat hal itu.
Namun, kemudian Jamilah menutup mulutnya sesaat, wajahnya tegang antara marah dan terkejut. Ia ingin membantah, tapi Hana tiba-tiba memegangi perutnya. Raut wajahnya berubah pucat, tubuhnya menunduk menahan rasa sakit.
“Ibu … perut Hana … sakit,” keluhnya lirih, napasnya tersengal. Panik menyambar Jamilah. Tangan tuanya langsung menopang bahu anaknya.
“Hana! Astaghfirullah … ayo baring, Nak. Jangan banyak gerak.” Dengan terburu-buru, ia membantu Hana kembali ke ranjang, membaringkannya hati-hati. Hana meringkuk sambil memegangi perutnya, wajahnya basah oleh air mata.
Jamilah keluar kamar dengan langkah tergesa, jantungnya berdegup kencang. Di ruang tamu, ia langsung meraih telepon keluarga dan menekan nomor majikannya.
“Tuan Hansel, cepat pulang! Perut Hana sakit, aku takut kenapa-kenapa. Cepat, Tuan!”
Tak lama, Hansel datang. Malam itu dokter pribadi keluarga Malik dipanggil untuk memeriksa Hana. Setelah pemeriksaan, dokter menatap Hansel dan Jamilah dengan serius.
“Dia nggak boleh stres, jangan dibebani hal-hal yang bikin emosinya tertekan. Kalau terus begini, kondisi bayinya bisa berisiko.”
Hansel terdiam, wajahnya penuh rasa bersalah. Pandangannya tak lepas dari Hana yang berbaring lemah dengan mata terpejam. Saat itulah, suara mobil terdengar dari halaman. Laudya baru pulang. Ia masuk ke dalam rumah dengan langkah anggun, lalu membeku sejenak melihat dokter pribadi keluarga Malik ada di ruang tamu bersama Hansel dan Jamilah.
“Ada apa ini?” tanyanya datar, matanya langsung melirik ke arah kamar Hana.
Hansel menoleh sekilas. “Hana sakit, Sayang. Dokter bilang dia nggak boleh stres.”
Laudya hanya menatap sekilas, tanpa komentar, lalu berbalik menuju kamarnya. Tatapannya dingin, menusuk, sebelum ia benar-benar melangkah pergi. Hansel langsung menyusulnya, menahan pintu kamar sebelum tertutup.
“Laudya, tunggu dulu. Aku ingin berp0tanya … Hana sampai sakit gitu, apa ada hubungannya sama kamu?”
Laudya menghentikan langkahnya, lalu perlahan menoleh. Mata tajamnya beradu dengan tatapan Hansel.
“Kamu mulai ragu sama aku, Mas? Kamu mulai berani nuduh istrimu sendiri … demi perempuan lain? Demi Hana?”
Hansel terdiam, napasnya berat.
“Laudya…” suaranya rendah, “aku cuma ingin tahu. Karena aku tahu betul … gimana sikapmu kalau kamu merasa tersaingi, sejak Hana hamil.”
Mata Laudya berkaca-kaca, tapi ia menahan agar suaranya tetap tegas.
“Kalau begitu, jawab aku sekarang, Hansel. Apa kamu sudah jatuh cinta sama Hana? Apa kamu mulai lihat dia bukan cuma ibu pengganti?” Pertanyaan itu menghantam hati Hansel keras sekali, membuatnya terpaku.
Sunyi menggantung di kamar itu. Hanya ada napas yang saling menahan di udara. Pertanyaan Laudya yang akhirnya terlontar tadi, ternyata berbuah jawaban yang tak pernah ia siap dengar.
“Ya…” suara Hansel lirih, namun tegas. “Aku jatuh cinta sama Hana.”
Seakan dunia berhenti berputar. Laudya berdiri kaku, menatap kosong ke arah suaminya. Tidak ada jeritan, tidak ada air mata yang tumpah deras di depan Hansel. Yang ada hanya tubuh yang membeku, mata yang tiba-tiba kehilangan sinarnya, dan hati yang seolah hancur berkeping-keping tanpa bisa disatukan lagi. Hansel melangkah cepat, meraih tangan istrinya, suaranya penuh penyesalan.
“Laudya … maafkan aku. Aku nggak pernah niat hianatin kamu. Cinta itu datang begitu saja, aku nggak tau gimana harus menolaknya. Tapi kamu tetap istriku, kamu tetap yang pertama di hatiku.”
Laudya terdiam, wajahnya tanpa ekspresi. Keheningan itu jauh lebih menakutkan bagi Hansel daripada amarah paling besar sekalipun. Ia berharap istrinya berteriak, memukul, atau menangis, setidaknya itu bisa ia pahami. Tapi sikap Laudya yang membisu membuatnya merasa seperti sedang berbicara pada tembok yang tak akan pernah menjawab. Akhirnya, dengan tenaga yang masih tertahan, Laudya melepaskan tangannya dari genggaman Hansel. Perlahan, namun tegas, ia mendorong tubuh suaminya menuju pintu.
“Keluar…” ucapnya datar, tanpa intonasi.
“Laudya, jangan begini, tolong…” Hansel menolak, mencoba bertahan. Tapi dorongan itu semakin kuat, memaksa tubuhnya keluar dari kamar.
“Maafkan aku, Laudya. Aku janji … aku nggak akan pernah ninggalin kamu. Kamu tetap istriku, kamu tetap yang paling aku cintai.” Hansel terus memohon, berdiri di depan pintu kamar yang akhirnya tertutup rapat di hadapannya.
Di balik pintu itu, Laudya terduduk di lantai. Air matanya akhirnya pecah, jatuh tanpa bisa ia kendalikan lagi. Ia menutup mulut dengan kedua tangannya agar tangisnya tak terdengar keluar. Dada terasa sesak, nafasnya terhuyung, seperti ada pisau yang berkali-kali ditusukkan ke dalam hatinya.
"Kenapa, Mas … kenapa kamu tega?” bisiknya di sela tangis. Ponselnya bergetar, membuatnya tersentak. Dengan tangan gemetar, ia meraihnya. Sebuah pesan masuk dari Rian, manajernya.
[Laudya, aku butuh jawabanmu sekarang. Kamu serius nggak mau ambil project besar di Tiongkok? Kamu nggak mau pikirkan lagi? Ini kesempatan kamu, kalau kamu berubah pikirkan aku masih bisa atur jadwalnya, kalau iya, kamu harus siap tinggal di sana sebulan penuh. Aku tahu ini berat, tapi peluangnya terlalu berharga untuk dilewatkan.]
Laudya menatap layar itu dengan mata sembab. Sejenak ia berpikir, lalu bibirnya mengukir senyum tipis yang awalnya tak berniat untuk meninggalkan sang suami begitu lama, namun kemudian dia tersenyum getir yang penuh luka. Ya, mungkin meninggalkan semua ini adalah jawaban terbaik untuk hatinya yang porak-poranda. Dengan jemari gemetar, ia membalas pesan itu.
[Aku siap, Rian. Aku akan ke Tiongkok. Bukan hanya urusan pekerjaan … ada alasan lain yang harus aku tuntaskan juga.]
Pesan terkirim. Setelah itu, ia mematikan layar ponselnya dan merosot lagi ke lantai, memeluk lututnya erat-erat.
Di luar pintu, Hansel masih berdiri, bersandar lemah dengan dahi menempel di daun pintu. Ia bisa mendengar samar isakan istrinya. Hatinyalah yang kini merasakan perih itu, perih karena ia sadar telah menghancurkan orang yang begitu setia menemaninya.
“Laudya…” bisiknya lirih, suaranya serak, “aku mencintaimu. Aku tetap mencintaimu, sama seperti dulu … meskipun Hana juga ada di hatiku. Tolong jangan tinggalkan aku.”
Namun tak ada jawaban, hanya keheningan yang semakin dalam, memisahkan dua hati yang dulu menyatu dalam cinta yang utuh, kini mulai retak karena hadirnya cinta lain yang tak terduga.
udah lah Ray kalo gua jadi lu gaya bawa minggat ke Cairo tuh si Hana sama bayinya juga, di rawat di rumah sakit sana, kalo udah begini apa Laudya masih egois mau pisahin anak sama ibu nya
Rayyan be like : kalian adalah manusia yg egois, kalian hanya memikirkan untuk mengambil bayi itu tanpa memikirkan apa yg Hana ingin kan, dan anda ibu jamilah di sini siapa yg anak ibu sebenarnya, Hana atau Laudya sampi ibu tega menggadaikan kebahagiaan anak ibu sendiri, jika ibu ingin membalas budi apakah tidak cukup dengan ibu mengabdikan diri di keluarga besar malik, kalian ingin bayi itu kan Hansel Laudya, ambil bayi itu tapi aku pastikan hidup kalian tidak akan di hampiri bahagia, hanya ada penyesalan dan kesedihan dalam hidup kalian berdua, aku pastikan setelah Hana sadar dari koma, aku akan membawa nya pergi dari negara ini, aku akan memberikan dia banyak anak suatu hari nanti
gubrakk Hansel langsung kebakaran jenggot sama kumis 🤣🤣🤣
biar kapok juga Jamilah
Pisahkan Hana dari keluarga Malik..,, biarkan Hana membuka lembaran baru hidup bahagia dan damai Tampa melihat orang" munafik di sekitarnya
Ayo bang Rey bantu Hana bawa Hana pergi yg jauh biar Hansel mikir pakai otaknya yang Segede kacang ijo itu 😩😤😏
Hana buka boneka yang sesuka hati kalian permainkan... laudya disini aku tidak membenarkan kelakuan mu yang katanya sakit keras rahim mu hilang harusnya kamu jujur dan katakan sejujurnya kamu mempermainkan kehidupan Hana laudya... masih banyak cara untuk mendapatkan anak tinggal adopsi anak kan bisa ini malah keperawatan Hana jadi korban 😭 laudya hamil itu tidak gampang penuh pengorbanan dan perasaan dimana hati nurani mu yg sama" wanita dan untuk ibunya Hana anda kejam menjual mada depan anakmu demi balas budi kenapa endak samean aja yg ngandung tu anak Hansel biar puas astaghfirullah ya Allah berikanlah aku kesabaran tiap baca selalu aja bikin emosi 😠👊