Hai.. aku balik nulis lagi setelah menghilang hampir 4 tahun. semoga kalian bisa menemukan serta bisa menerima kehadiran karya ini ya...
Rania dan Miko, bukan pasangan masalalu. Mereka saling membenci. Rania memiliki sifat jahat di masa lalu. Namanya di blacklist hingga jatuh sejatuh-jatuhnya, dibuang ke tempat asing, lahirkan anak kembar hingga menikah dengan orang yang salah, siksaan mental dan fisik ia terima selama 4 tahun. Menganggap semua itu Karma, akhirnya memilih bercerai dan hidup baru dengan putra-putrinya. Putranya direbut ibu Miko tanpa mengetahui keberadaan cucu perempuan, hingga berpisah bertahun-tahun. Si kembar, Alan-Chesna tak sengaja bertemu di SMA yang sama.
Gimana kisah lengkapnya?
Selamat membaca yaa...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reetha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25
Langkah kaki Chesna terdengar pelan di trotoar. Matahari sore menyengat, sinarnya memantul di aspal yang terasa panas seperti bara. Ia mengusap keringat dengan tangan yang masih menggenggam botol minumnya.
Di seberang jalan, Gideon baru saja keluar dari kafe tempat ia bertemu teman-temannya. Gerakannya terhenti begitu matanya menangkap sosok gadis berambut panjang yang berjalan sendirian. Itu Chesna.
Ia memperhatikan cara gadis itu menunduk, tasnya agak berat, langkahnya pelan tapi tegas. Ada sesuatu yang membuat Gideon tidak bisa mengalihkan pandangan.
"Kenapa dia selalu sendiri?," pikir Gideon, jantungnya berdetak aneh.
Chesna melangkah melewati deretan toko kecil, lalu berhenti sebentar di depan warung es untuk membeli minuman plastik murah. Ia meneguk cepat, lalu kembali berjalan, seolah terburu-buru mengejar waktu.
Gideon ingin menghampiri, sekadar menawarkan tumpangan. Mobilnya terparkir tidak jauh. Tapi kakinya terpaku. Ada keraguan yang menahan. Bayangan kejadian di sekolah, pertengkaran kecil, tabrakan yang membuatnya kesal masih terlintas.
Namun yang ia lihat sekarang berbeda. Chesna tampak rapuh, tapi juga teguh. Seolah ia terbiasa menghadapi hari-hari berat tanpa ada yang peduli.
Hatinya terusik. “Dia murid di sekolah bergengsi, tapi pulang dengan cara begini? Sebenarnya siapa dia…?”
Chesna menyeberang jalan, wajahnya sedikit pucat karena terik. Gideon mengikuti dari kejauhan, tapi tidak cukup dekat untuk menimbulkan curiga. Dalam diam, ia merasa semakin ingin tahu tentang kehidupan gadis itu.
Gideon tidak bisa berkata-kata. Rasa penasaran akan cewek itu makin menekannya.
Sementara tidak jauh dari sana, Alan berdiri di sisi trotoar, buku-buku masih berada di lengannya. Matanya tidak bisa berpaling dari pemandangan di seberang jalan. Chesna, gadis yang nyata adalah adik kembarnya itu, kini berjalan dengan langkah sederhana, tak sadar sedang diawasi.
Dan tepat beberapa meter di belakangnya, Gideon. Sahabat yang selama ini selalu tampil percaya diri, kini justru tampak gugup, seperti seorang penguntit yang tak tahu cara mendekat.
Alan merasakan dingin merambat di tengkuknya. Ada sesuatu yang aneh disana. Tatapan Gideon terlalu intens, seolah menaruh kepentingan pada gadis yang Alan tahu persis bukan orang asing baginya.
"Dia kembaranku…" bisik Alan. Semua hari-hari bersama, tawa sederhana, tatapan penuh kasih dari ibu mereka, semuanya terbayang hanya dalam satu kedipan mata. Dan kini Chesna berada di hadapan orang lain yang mungkin saja bisa melukainya.
Alan mengepalkan tangan, buku di lengannya hampir jatuh. Dalam diam, ia menegakkan janji: “Gideon, apa yang sebenarnya kau inginkan dari Adikku?”
Alan tidak menghampiri, tidak pula memanggil nama Chesna. Namun tekadnya sudah tertanam kuat. Ia akan menjaga jarak, mengawasi dari bayang-bayang, memastikan kembarannya tetap aman di dunia yang penuh tipu daya ini.
Langkahnya mundur perlahan, meninggalkan keramaian jalan, tapi sorot matanya tetap tajam menatap punggung Gideon yang terus mengikuti Chesna.
___
Hari itu hujan turun rintik sejak siang. Chesna baru saja sampai di kamar kosnya setelah pulang sekolah. Rambutnya sedikit lembap, Ia menendang pelan sepatu ketsnya, lalu menjatuhkan diri ke kasur tipis.
Tiba-tiba suara ketukan pintu terdengar. Pelan, tiga kali. Chesna sempat malas bergerak, mengira hanya ibu kos yang ingin mengingatkan soal uang listrik. Tapi ketika pintu berderit terbuka…
“Mama?”
Sosok yang begitu ia rindukan berdiri di sana. Rania. Rambutnya masih tercium bau asin laut, kulitnya sedikit lebih gelap karena terbakar matahari, tapi senyumnya—senyum yang hangat itu—tak berubah sedikit pun.
“Mama…?” suaranya lagi, seperti tak percaya dengan penglihatannya.
Rania melangkah masuk, membawa koper kecil yang tampak berat. “Surprise, sayang. Mama pulang lebih cepat kali ini.”
Chesna meloncat dari kasur, mendekap ibunya erat-erat.. “Aku pikir Mama baru pulang bulan depan… aku kangen banget.”
Rania membelai rambut putrinya, wanita itu tersenyum hangat. “Maafkan Mama, harus sering meninggalkanmu, ya sayang…”
Chesna menggeleng di pelukan itu. “Aku ngerti, Ma. Tapi rasanya bahagia banget bisa lihat Mama lagi. Rasanya semua capek hilang.”
Mereka duduk di tepi ranjang. Rania mengeluarkan bungkusan kecil dari tasnya, oleh-oleh sederhana: gelang anyaman dari pelabuhan asing, dan sebuah buku catatan bergambar laut.
“Ini buatmu, biar kamu tahu, di mana pun Mama berada, Mama selalu mikirin kamu,” ucap Rania.
Chesna tersenyum, menerima hadiah itu seolah menerima potongan hati ibunya sendiri.
Untuk malam itu, dunia luar seakan menghilang. Tidak ada Alan, tidak ada Miko, tidak ada kebingungan. Hanya ada Rania dan Chesna, ibu dan anak, yang kembali menemukan rumah mereka dalam sebuah kehangatan.
__
Lila duduk santai di sofa, menatap kakaknya, Alan yang baru saja turun dari kamar. Miko, dengan segelas kopi di tangan, memecah keheningan.
“Alan, Lila” panggilnya dengan suara tegas namun lembut. “Papa mau tanya sesuatu. Apa sebenarnya mimpi kalian berdua ke depan?”
Alan sedikit kaget. Ia menoleh, menatap ayahnya, lalu ke arah Lila yang tersenyum penuh rasa ingin tahu. “Mimpi, Pa?” Alan mengulang pelan, mencoba membeli waktu. Ada ribuan hal yang muncul di kepalanya, tentang dirinya, tentang Chesna, tentang Rania dan tentang keinginannya untuk melindungi keluarga kecil yang hilang separuh. Tapi tentu saja ia tidak bisa begitu saja mengucapkannya.
Lila ikut bersuara. “Iya, Kak Alan. aku juga penasaran. Semua anak pasti punya impian. Kamu mau jadi apa? Mau ngapain di masa depan?”
Alan menarik napas dalam. Senyum tipis ia paksakan. “Aku… pengen bisa jadi orang yang berguna, Pa. Pengen bisa bikin papa bangga.”
Miko menatap putranya, seperti berusaha membaca isi hati yang tersembunyi. “Itu bagus, tapi Papa pengen tahu lebih jelas. Kamu suka apa? Ada cita-cita khusus?”
Alan terdiam lama. Batinnya berperang hebat. Dalam hati ia berkata, Mimpi aku sebenarnya sederhana… bisa ketemu Chesna sama mama tanpa harus sembunyi, bisa lihat mama bahagia tanpa rasa takut. Itu mimpi aku. Tapi yang keluar dari mulutnya berbeda.
“Aku… pengen jadi jadi pengusaha saja, Pa. Kayak Papa,” jawabnya akhirnya.
Lila tersenyum bangga, sementara Miko mengangguk puas. “Bagus. Kalau itu kamu tidak perlu impikan. jelas Kaulah pengganti papa selanjutnya. Dan Papa bakal dukung kamu.”
Alan mengangguk pelan.
“Apa mungkin… suatu saat aku bisa bersama mama dan Chesna lagi tanpa harus kehilangan papa?”
"Sekarang Lila. Apa rencana Lila ke depan?"
Lila tersenyum malu. "Papa beneran mau tau?"
"Iya," Miko mengangguk. Walau tau sesungguhnya putrinya ini tidak memiliki sesuatu yang ingin dia kejar karena kondisinya yang sakit-sakitan.
"Pah, Lila pengen lihat papa punya pendamping hidup biar Papa punya teman yang saling menjaga sampai tua."
Mendengar itu, Miko menyerup kopinya pelan. "Soal itu, kamu jangan khawatir."
"Papa, Lila punya ide. Gimana kalau..." Lila menggantung ucapannya. iya takut menyinggung hati Alan.
.
.
Bersambung