NovelToon NovelToon
Regresi Sang Raja Animasi

Regresi Sang Raja Animasi

Status: sedang berlangsung
Genre:Menjadi Pengusaha / Bepergian untuk menjadi kaya / Time Travel / Mengubah Takdir / Romantis / Romansa
Popularitas:2.6k
Nilai: 5
Nama Author: Chal30

Kael Ardhana, animator berusia 36 tahun yang hidupnya hancur karena kegagalan industri, tiba-tiba terbangun di tubuhnya saat berusia 18 tahun… di tahun 1991. Dengan seluruh pengetahuan masa depan di tangannya, Kael bertekad membangun industri animasi lokal dari nol, dimulai dari sebuah garasi sempit, selembar kertas sketsa, dan mimpi gila.

Tapi jalan menuju puncak bukan sekadar soal kreativitas. Ia harus menghadapi dunia yang belum siap, persaingan asing, politik industri, dan masa lalunya sendiri.
Bisakah seorang pria dari masa depan benar-benar mengubah sejarah… atau justru tenggelam untuk kedua kalinya?

Yuk ikutin perjalanan Kael bersama-sama.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chal30, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 23

Dua minggu kemudian, Studio Garasi akhirnya menerima kandidat pertama untuk posisi pengembangan bisnis. Namanya Rendra, lulusan baru dari Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, IPK-nya nyaris sempurna, dan sudah punya pengalaman magang di beberapa startup kecil.

Ia datang dengan jas abu-abu yang sedikit kebesaran di bahu, tubuhnya kurus dan terlihat sedikit canggung, tapi matanya menyorotkan kepercayaan diri yang lembut. Di tangannya, ia membawa portofolio yang dicetak rapi di kertas mengilap, tanda ia mempersiapkan diri dengan sungguh-sungguh.

“Terima kasih sudah memberikan kesempatan wawancara, Mas Kael,” ucap Rendra sambil mengulurkan tangan. Genggamannya tegas tapi tidak berlebihan, seimbang, seperti seseorang yang tahu cara bersikap tanpa perlu membuktikan diri berlebihan.

Kael tersenyum kecil dan membalas jabat tangannya. “Sama-sama, Ren. Silakan duduk.”

Ruang rapat kecil itu terasa hangat dan sederhana, meja kayu dengan noda cat di ujung, papan tulis penuh coretan ide, dan tiga cangkir kopi yang sudah setengah dingin. Di sisi lain meja duduk Rani dan Dimas, dua orang yang Kael ajak untuk ikut menilai.

Ia ingin proses rekrutmen ini kolaboratif, bukan keputusan tunggal yang bisa bias oleh persepsi pribadi.

“Rendra,” Kael membuka dengan nada tenang tapi to the point, “gue lihat dari CV lu, lu punya latar belakang yang bagus banget. Kenapa lu tertarik ke Studio Garasi? Jujur aja—lu bisa aja apply ke perusahaan yang lebih besar, gaji lebih tinggi, fasilitas lebih lengkap.”

Rendra menarik napas pelan sebelum menjawab. Senyumnya muncul perlahan, bukan senyum basa-basi yang sering terlihat di wawancara, tapi senyum yang sampai ke matanya.

“Jujur, Mas… gue capek sama dunia korporat yang terlalu kaku,” katanya, suaranya jernih dan tulus. “Gue magang di beberapa tempat, dan tiap kali, yang jadi fokus selalu cuma angka dan margin keuntungan. Gak ada yang nanya, apa yang kita buat ini bener-bener punya makna?’”

Ia tertawa kecil, lalu melanjutkan dengan mata yang berbinar.

“Adik gue suka banget sama Petualangan Rizal. Tiap Sabtu pagi dia nonton terus. Dari dia gue tahu Studio Garasi. Waktu gue lihat sendiri, gue bisa ngerasain niat dan nilai yang kalian taruh di karya itu, tentang gotong royong, peduli lingkungan, keluarga, komunitas. Nilai-nilai yang sekarang mulai langka.”

Ia menatap Kael dan dua rekannya bergantian. “Gue baca artikel tentang perjalanan kalian dari garasi kecil sampai bisa tayang di TV nasional. Gue terkesan karena kalian bisa tetap idealis walau pasti banyak tekanan buat kompromi. Itu... sesuatu yang gue pengin jadi bagian darinya. Gue pengin ikut bangun sesuatu yang punya makna, bukan cuma angka di laporan keuangan.”

Suara Rendra bergetar sedikit di akhir kalimat, tapi justru di situlah kejujurannya terasa.

Rani dan Dimas saling berpandangan, tatapan cepat yang mengatakan hal yang sama, anak ini beda.

Wawancara berlanjut. Mereka membahas tentang strategi memperluas basis klien, negosiasi kontrak, hingga ide untuk diversifikasi pendapatan. Kael sengaja melemparkan pertanyaan sulit, tapi Rendra menjawab dengan tenang, penuh logika tapi juga rasa. Ia bicara soal pentingnya keseimbangan antara keberlanjutan bisnis dan kebebasan kreatif.

Setelah hampir satu jam, Kael bersandar di kursinya dan berkata, “Kalau lu bergabung, lu tahu kan, kompensasi kita belum bisa dibilang besar? Kita masih studio kecil, jadi gajinya sederhana dulu. Tapi ada potensi saham tim awal kalau studio ini terus berkembang.”

Rendra tersenyum tipis. “Gue paham, Mas. Gue gak kejar gaji sekarang. Gue kejar kesempatan. Di tempat lain gue mungkin cuma jadi roda kecil di mesin besar. Di sini, gue bisa belajar langsung dari orang-orang yang beneran ngebangun sesuatu dari nol. Itu jauh lebih berharga buat gue.”

Kalimat itu membuat ruangan seolah berhenti sebentar.

Kael menatapnya lama sebelum akhirnya mengangguk pelan. “Oke. Gue suka cara lu mikir.”

Begitu Rendra keluar dari ruangan, ketiganya langsung berdiskusi.

“Gue suka dia,” ujar Dimas, membuka catatan di depannya. “Anak ini punya sikap yang bener, dan otaknya nyambung.”

Rani menambahkan dengan senyum kecil, “Dia gak sekadar nyari kerja. Dia nyari makna. Kita butuh orang kayak gitu di sini.”

Kael mengangguk mantap. “Oke. Kita rekrut dia. Rani, lu bantu urus orientasi dan kontraknya, ya? Pastikan dia ngerti budaya kerja kita.”

Dan begitu saja, keputusan itu diambil.

Minggu berikutnya, Rendra resmi bergabung sebagai Manajer Pengembangan Bisnis. Hari pertamanya dimulai dengan tur kecil keliling studio, ruangan mungil tapi penuh energi, aroma kopi, dan suara tawa.

Kael menjelaskan kondisi studio apa adanya. “Situasi kita ketat, tapi gak kritis. Runway kita sekitar enam bulan. Kalau gak ada proyek baru, kita harus cari cara buat tambah pemasukan.”

Ia menunjuk layar laptop penuh tabel dan angka. “Gue tahu ini berantakan, tapi semuanya lengkap.”

Rendra menatap dengan fokus, mencatat cepat di buku kecilnya. “Oke… beberapa ide langsung muncul di kepala gue,” katanya pelan tapi yakin.

Ia mengangkat kepalanya, mulai menjabarkan dengan semangat. “Pertama, kita bisa kerja sama sama agensi pelatihan korporat. Banyak perusahaan butuh materi pelatihan yang gak ngebosenin, video animasi bisa jadi solusi menarik. Kedua, lisensi karakter. ‘Rizal’ udah punya basis penggemar yang stabil, bisa dijual jadi merchandise, buku anak, bahkan pertunjukan kecil. Ketiga, kita bisa adain workshop animasi di sekolah atau komunitas. Bukan cuma buat pendapatan, tapi juga buat bangun brand dan cari talenta baru.”

Kael, Rani, dan Dimas saling pandang. Dalam satu hari kerja, anak baru itu sudah memberikan tiga strategi konkret yang langsung bisa ditindaklanjuti.

Kael menepuk pundak Rendra sambil tersenyum lebar. “Ren, kayaknya merekrut lu adalah keputusan terbaik yang pernah kita buat.”

Rendra terkekeh malu. “Gue cuma ngelakuin bagian gue, Mas.”

Dua minggu setelah Rendra bergabung, sebuah amplop coklat besar datang ke meja resepsionis. Stempel di sudutnya: Singapore International Animation Festival.

Kael yang menerimanya langsung membeku. Tangannya gemetar saat membaca nama itu.

“Guys! Surat dari festival!” teriaknya sambil berlari ke lantai dua. Wajahnya pucat, matanya melebar di antara euforia dan ketakutan.

Seluruh studio langsung berhenti bekerja. Semua berkumpul mengelilingi Kael.

“Cepet buka, Kael!” seru Budi tak sabar, separuh menjulurkan tangan seolah mau merebut amplop itu.

Kael mengangkat amplop tinggi-tinggi. “Oke, semua doa dulu. Siap?”

Rani sampai harus memegang tangannya supaya tidak gemetar terlalu keras. Kael membuka lipatan kertas itu perlahan, dan mulai membaca dengan suara yang bergetar.

“Dear Studio Garasi team, Thank you for your submission to Singapore International Animation Festival…”

Ia berhenti sejenak. Napasnya tertahan, matanya berlari cepat ke baris berikutnya.

Kemudian ia melanjutkan, suaranya parau.

“We are pleased to inform you that ‘Sang Penjaga’ has been selected as Official Selection… and has been nominated in two categories: Best Short Animation and Best Sound Design.”

Keheningan menelan ruangan. Tak ada yang bergerak. Lalu—

Ledakan kebahagiaan.

Teriakan, tawa, tangisan bercampur jadi satu. Budi jatuh terduduk sambil menangis keras, Dimas memeluk Kael sampai hampir membuatnya kehilangan napas, sementara Rani berdiri di ujung ruangan dengan tangan menutupi mulut, air mata mengalir tanpa bisa ia tahan.

Kael menghampirinya, menariknya ke dalam pelukan.

“Kita berhasil, Ran… kita beneran berhasil,” bisiknya dengan suara serak.

Rani tersedu di bahunya. “Gue… gue gak percaya, Kael. Ini nyata? Ini bukan mimpi, kan?”

Kael tertawa di sela air matanya. “Ini nyata. Ini sungguhan.”

Surat itu juga mencantumkan jadwal festival, pemutaran di hari kedua dan upacara penghargaan di malam penutupan.

“Berarti dua bulan lagi,” ujar Kael masih dengan suara bergetar.

Rendra, yang selama ini diam, langsung bertanya, “Siapa yang bakal berangkat? Anggarannya pasti terbatas, kan?”

Kael berpikir cepat. “Lima orang: gue, Dimas, Rani, Budi, sama Arman. Yang lain tetap di studio. Kita dokumentasiin semuanya nanti.”

Ia menghela napas. “Total butuh sekitar sepuluh juta. Kita cuma punya tujuh.”

Rendra langsung menimpali dengan nada tenang tapi yakin, “Tiga juta sisanya bisa coba kita cari sponsor. Gue bakal kontak Pak Hendra dari SCTV. Mereka mitra kita, pasti bangga juga kalau kita mewakili Indonesia.”

Kael mengangguk cepat. “Oke. Gue temui langsung."

Keesokan harinya, Kael tiba di kantor SCTV. Tidak seperti dulu, kali ini langkahnya mantap.

“Mas Kael! Selamat ya! Saya udah dengar dari Bu Ratna—luar biasa!” sambut Pak Hendra, berdiri dari kursinya dengan wajah bangga.

“Terima kasih banyak, Pak,” ujar Kael sopan, duduk dengan tenang. “Saya datang mau ajukan sponsor perjalanan ke festival. Kami butuh tambahan tiga juta. Sebagai imbalannya, kami akan tampilkan logo SCTV di semua materi promosi dan wawancara media.”

Pak Hendra mengetuk-ngetuk pena di mejanya, berpikir. Lalu tersenyum lebar.

“Setuju. Tapi saya mau tambah satu syarat, kami mau hak siar eksklusif untuk dokumenter perjalanan kalian ke Singapura. Kalian dokumentasikan dari persiapan sampai upacara penghargaan. Kami tayangkan sebagai mini series di SCTV.”

Kael sempat terdiam, lalu tersenyum. “Deal, Pak. Kami bisa rekam semuanya, bahkan kalau mau, SCTV kirim kameraman sendiri.”

“Bagus! Saya tugaskan Mas Adi untuk ikut kalian. Semua biayanya kami tanggung. Kalian fokus jadi perwakilan terbaik Indonesia di sana.”

Mereka berjabat tangan, kesepakatan tercapai.

Kael keluar dari kantor itu dengan langkah ringan dan dada penuh rasa syukur.

Malamnya, Studio Garasi merayakan kemenangan kecil mereka dengan makan malam sederhana, nasi Padang favorit dan soda dingin.

Dimas berdiri sambil mengangkat gelas.

“Gue mau bersulang,” katanya dengan gaya teatrikal yang membuat semua orang tertawa kecil.

“Untuk Kael—pemimpin yang gak pernah nyerah. Untuk Rani—seniman dengan visi yang indah. Untuk Budi dan Arman—penyihir suara kita. Untuk Agus dan Sari—anggota baru yang udah kayak keluarga. Dan buat Rendra—pendatang baru yang udah buktiin nilainya dari hari pertama.”

Ia berhenti sebentar, suaranya mulai bergetar. “Kita semua berjuang buat hal yang sama, buat bikin sesuatu yang punya makna. Nominasi ini bukan cuma buat film kita, tapi buat perjalanan kita. Bersulang!”

“BERSULANG!” semua berseru serempak. Gelas-gelas beradu, tawa memenuhi udara.

Kael memandangi wajah-wajah itu, bahagia, lelah, tapi penuh harapan. Dalam diam, ia menarik napas panjang. Dulu, di hidupnya yang pertama, ia jarang berhenti untuk benar-benar merasakan momen-momen seperti ini. Tapi kali ini, ia ingin mengingat setiap detiknya.

“Apapun yang nanti terjadi di penghargaan,” katanya pelan, suaranya tenang tapi penuh makna, “ingat perasaan ini. Kita udah menang bahkan sebelum piala dibagi. Karena yang kita bangun ini nyata. Dan itu… lebih berharga dari apapun.”

Dan malam itu, di studio kecil dengan dinding penuh poster dan cat yang mulai mengelupas, mereka merayakan bukan hanya nominasi, tapi kebersamaan yang membuat semua kerja keras terasa sepadan.

1
Syahrian
🙏
Syahrian
😍🙏
Syahrian
👍🙏
Syahrian
😍
Syahrian
👍🙏
Revan
💪💪
Syahrian
Lanjut thor
Kila~: siap mang💪
total 1 replies
pembaca gabut
thorr lagi Thor asik ini 😭
±ηιтσ: Baca karyaku juga kak
judulnya "Kebangkitan Sima Yi"/Hey/
total 2 replies
pembaca gabut
asli gue baca ni novel campur aduk perasaan gue antara kagum dan takut kalo kael dan tim gagal atau ada permasalahan internal
Syahrian
Lanjut thor👍👍
Revan
💪💪💪
Revan
💪💪
Syahrian
Tanggung thor updatenya🙏💪👍
Kila~: udah up 3 chapter tadi bang/Hey/
total 1 replies
Syahrian
🙏👍👍
Kila~: makasii~/Smile/
total 1 replies
Syahrian
👍🙏
Syahrian
😍
Syahrian
👍
Syahrian
Lanjut 👍😍
Kila~: sudah up 2 chapter nih
total 1 replies
Syahrian
Lanjuut🙏
Kila~: besok up 3 chapter 😁
total 1 replies
Syahrian
Mantap💪🙏
Kila~: terimakasih bang/Rose/
total 2 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!