Malam bahagia bagi Dila dan Arga adalah malam penuh luka bagi Lara, perempuan yang harus menelan kenyataan bahwa suami yang dicintainya kini menjadi milik adiknya sendiri.
Dalam rumah yang dulu penuh doa, Lara kehilangan arah dan bertanya pada Tuhan, di mana letak kebahagiaan untuk orang yang selalu mengalah?
Pada akhirnya, Lara pergi, meninggalkan tanah kelahirannya, meninggalkan nama, kenangan, dan cinta yang telah mati.
Tiga tahun berlalu, di antara musim dingin Prancis yang sunyi, ia belajar berdamai dengan takdir.
Dan di sanalah, di kota yang asing namun lembut, Lara bertemu Liam, pria berdarah Indonesia-Prancis yang datang seperti cahaya senja, tenang, tidak terburu-buru, dan perlahan menuntunnya kembali mengenal arti mencintai tanpa luka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maple_Latte, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab: 18
“Anggap saja traktiran awal pertemanan,” kata Liam, kali ini dengan senyum yang lebih lebar.
Lara mengangkat alis, menatap pria di depannya sejenak. Mata Liam teduh, tak memaksa. Udara masih dingin, tapi ada sesuatu yang hangat dalam cara dia memandang.
Akhirnya, Lara mengangguk kecil. “Baiklah. Tapi jangan salahkan aku kalau aku memesan makanan mahal.”
Liam tertawa pelan. “Tenang saja, aku tidak akan menghakimimu atas pilihan itu.”
Mereka berjalan menyusuri kanal, melewati toko-toko kecil yang mulai membuka jendela. Beberapa orang tua lokal menyapu depan toko mereka dengan gerakan lambat dan sabar. Langkah mereka berhenti di sebuah bistro kecil di sudut Rue Sainte-Claire, tempat yang tampak hangat dari luar, dengan jendela besar dan lentera gantung bergaya vintage.
Interiornya sederhana tapi penuh kehangatan. Bau keju panggang dan kaldu ayam memenuhi udara, membuat perut Lara berkontraksi pelan. Mereka memilih tempat duduk di dekat jendela, menghadap jalan yang basah oleh sisa salju.
Pelayan datang. Liam memesan confit de canard, sementara Lara memesan steak frites medium rare. Ia tak butuh banyak pertimbangan, ia hanya ingin merasakan sesuatu yang nyata di lidah, sesuatu yang bisa menyaingi riuh di dalam kepalanya.
“Jadi,” ujar Liam sambil melepas mantel dan melipat syalnya, “menurutmu, Annecy itu bagaimana?”
Lara mengangkat bahu. “Tenang.”
“Apa sebelumnya kamu tidak merasa tenang?”
Pertanyaan itu membuat Lara diam sejenak. Ia menatap ke luar jendela, memperhatikan seorang pria tua yang tengah memberi makan burung dengan sisa baguette.
“Mungkin,” jawabnya akhirnya. “Tapi, Annecy memberiku ruang. Untuk diam. Untuk bernapas.”
Liam mengangguk pelan. “Kadang tempat tidak harus memberi jawaban. Cukup jadi tempat singgah yang menenangkan.”
Makanan datang, dan percakapan mereka perlahan berubah arah. Liam mulai bercerita, tentang pekerjaannya sebagai arsitek freelance yang nomaden, tentang hari-harinya yang tak pernah sepenuhnya mapan, dan bagaimana sesekali ia menjadi ilustrator buku anak. Ia sedang tinggal beberapa bulan di Annecy untuk menyelesaikan proyek desain interior sebuah galeri seni kecil.
Suaranya tenang. Cara bicaranya tidak memaksa untuk dikagumi. Hanya cerita-cerita yang berjalan apa adanya.
Lara tidak banyak bicara tentang dirinya. Tapi ia cukup terbuka untuk menyelipkan hal-hal ringan, tentang kafe tempat ia bekerja paruh waktu, tentang kesenangannya mencari buku tua di pasar loak, dan bagaimana musik klasik menjadi pelariannya saat hari-hari terasa terlalu penuh.
Di antara potongan daging empuk dan kentang goreng renyah yang ia kunyah perlahan, Lara menyadari, dirinya tidak sedang berusaha menjadi siapa-siapa. Ia tidak sedang mencoba ceria. Liam tidak memaksanya membuka diri, tidak mengorek, tidak mencoba ‘memperbaiki’ apa pun. Ia hanya duduk di sana, mendengar, dan membuatnya merasa cukup.
Ketika makan hampir selesai dan secangkir teh hitam mulai menebarkan uap hangat dari cangkir Liam, Lara bertanya,
“Kenapa kamu duduk di sebelahku tadi pagi? Maksudku, kamu bisa saja lewat begitu saja.”
Liam menatap cangkirnya sejenak sebelum menjawab.
“Karena kamu tampak seperti seseorang yang tidak butuh diselamatkan, tapi mungkin butuh ditemani.”
Jawaban itu sederhana. Tidak dramatis, tidak penuh bualan. Tapi terasa jujur.
Lara menatapnya beberapa detik, lalu mengangguk. Sebuah senyum tipis terbit begitu saja dari sudut bibirnya. “Mungkin kamu benar.”
Di luar, langit Annecy mulai biru. Matahari perlahan menembus awan dan menyoroti salju yang mencair satu demi satu. Dunia tetap dingin, tapi tak sebeku tadi pagi.
Setelah makan siang selesai, mereka keluar dari bistro. Udara luar masih menyisakan dingin, tapi langit sudah sepenuhnya terbuka, biru pucat yang jernih, seperti lembaran baru yang belum ditulisi apa pun.
“Apa masih bisa kuculik sebentar?” Liam menoleh pada Lara yang berdiri di sampingnya.
Lara hanya melempar tatapan tidak mengerti, lalu mengernyit bingung.
Liam menoleh padanya. “Ikut aku sebentar.”
Lara mengerutkan kening. “Kemana?”
Liam tidak langsung menjawab. Ia hanya tersenyum kecil dan mulai berjalan pelan ke arah timur, menyusuri jalan-jalan batu yang masih sedikit licin oleh sisa salju. Dan, entah kenapa, Lara mengikutinya.
“Ini tempat favoritku selama di sini,” kata Liam setelah tiba di toko buku tua.
Lara berdiri di depan toko buku itu, matanya menyusuri etalase yang dipenuhi buku tua dengan sampul kusam dan judul-judul yang menguning. Aroma kertas tua menguar pelan, bercampur aroma kayu dan sedikit debu. Papan kayu kecil di atas pintu bertuliskan “Librairie des Brumes.”
“Tempat ini terlihat seperti bisa menyimpan kenangan orang-orang yang tidak pernah diucapkan,” gumam Lara pelan.
Liam menoleh padanya dan tersenyum. “Itu juga yang aku pikirkan pertama kali.”
Mereka masuk ke dalam. Suara lonceng kecil berdenting saat pintu terbuka. Ruangan itu sempit tapi hangat. Rak-rak buku menjulang sampai langit-langit, penuh dengan buku-buku Prancis, Inggris, dan beberapa bahasa asing lainnya yang sudah tampak berumur.
Lara melangkah perlahan, jemarinya menyentuh punggung-punggung buku seakan menyapa sesuatu yang familiar. Ada ketenangan aneh yang ia rasakan, seolah waktu berjalan lebih lambat, seolah dunia di luar tertahan sementara.
Liam membiarkannya berjalan sendiri, sesekali menatapnya diam-diam dari sela rak.
Lara mengambil sebuah buku kecil dari rak pojok, “Le Bruit du Silence.” Ia membuka halaman pertama dan tersenyum kecil.
“Pernah baca?” tanya Liam dari balik rak.
“Belum,” jawab Lara. “Tapi judulnya menarik. Suara dari keheningan.”
“Mungkin seperti kamu,” kata Liam sambil berjalan ke arahnya, suaranya lembut. “Tidak banyak bicara, tapi tetap bisa terdengar.”
Lara menutup buku itu dan menatap Liam. “Kamu selalu seperti ini pada orang baru?”
Liam berpikir sejenak. “Tidak. Aku hanya seperti ini pada orang yang membuatku penasaran.”
"Apa setiap orang membuatmu penasaran?" Tanya Lara.
"Baru satu orang." Sahut Liam.
Diam yang mengisi ruang itu untuk sebentar.
“Aku punya kebiasaan aneh,” kata Liam tiba-tiba. “Waktu kecil, setiap kali pindah kota, aku selalu mencari toko buku tua. Kalau kota itu punya satu, berarti tempat itu bisa ditinggali.”
“Dan sekarang?” tanya Lara pelan.
“Sekarang, mungkin sekarang alasanku bukan buku lagi." Ucap Liam menatap Lara dalam-dalam.
Lara menarik napas pelan. Kalimat itu jatuh seperti selimut ringan di atas bahunya. Ia kembali menyusuri rak-rak buku, mengambil satu dua buku untuk dibolak-balik tanpa tujuan.
Beberapa menit kemudian, ia kembali ke Liam yang sudah berdiri di dekat kasir, membawa dua buku tipis.
“Aku beli ini untukmu,” kata Liam sambil menyerahkan salah satunya, buku bersampul biru tua dengan ilustrasi seorang perempuan duduk sendiri di peron stasiun.
“Kenapa?”
“Karena aku merasa kamu akan menyukainya. Dan kalau tidak suka, ya anggap saja kenang-kenangan dari awal pertemanan.”
Lara menatap sampul buku itu, lalu mengangguk. “Baiklah. Tapi aku akan membalas suatu saat nanti.”
“Aku tunggu,” jawab Liam ringan.
Mereka keluar dari toko. Cahaya sore mulai turun pelan, menciptakan warna jingga pucat di antara langit dan salju yang belum sepenuhnya mencair. Jalanan Annecy tampak berbeda sekarang. Atau mungkin... hati Lara yang mulai berubah pelan-pelan.
Di tangan kirinya, ia menggenggam buku pemberian Liam. Di tangan kanannya, sarung tangan wol cokelat yang belum ia pakai kembali.
Dan dalam dirinya, ada ruang kecil yang baru, ruang yang tidak terbentuk oleh rencana, melainkan oleh seseorang yang datang cukup tenang untuk membuatnya tinggal sedikit lebih lama.
❄️❄️❄️Lara
Untuk sesaat, rasanya lega bisa bernapas.
Tanpa perlu menjelaskan luka.
Tanpa harus tersenyum demi sopan.
********
Untuk readers selamat datang di karya baru author, untuk yang sudah membaca. Terima kasih banyak, jangan lupa support author dengan like, komen dan vote cerita ini ya biar author semangat up-nya. Terima kasih😘😘😘
Aku udh mmpir.....
Dr awl udh nysek,kbyang bgt skitnya jd lara....d khianati orng2 trdkatnya,apa lg dia tau kl dia cm ank angkat.....btw,hkum krma udh mlai dtang kya'nya....mnimal tau rsanya khilangn dn smga mrsakn pnyesaln s'umr hdp.....
sekarang nikmati saja karma kalian
masa ga bisa move on Ampe tuir gitu come on