Aruna tahu hidupnya tidak lama lagi. Demi suami dan putri kecil mereka, ia memilih sesuatu yang paling menyakitkan... mencari wanita yang akan menggantikannya.
Alana hadir sebagai babysitter tanpa mengetahui rencana besar itu. Adrian salah paham dan menilai Lana sebagai perusak rumah tangga. Namun, pada akhirnya Aruna memaksa keduanya menikah sebelum ia pergi untuk selamanya.
Setelah Aruna tiada, Adrian larut dalam rasa bersalah dan menjauh dari istri keduanya. Lana tetap bertahan, menjalankan amanah Aruna meski hatinya terus terluka. Situasi semakin rumit saat Karina, adik Aruna berusaha merebut Adrian dan menyingkirkan Lana.
Akankah Adrian berani membuka hati untuk Alana, tanpa mengkhianati kenangan bersama Aruna? Atau justru semuanya berakhir dengan luka yang tak tersembuhkan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rere ernie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter — 23.
Alana mengerjap, lalu senyumnya muncul perlahan. “Tidak, Mas. Dulu mungkin iya, karena saya merasa semua ini beban. Tapi seiring waktu... saya belajar mengikhlaskan. Sekarang saya tidak merasa terpaksa lagi. Kalau Mas?”
Adrian menatap intens, senyum lembut mengulas bibirnya.
“Aku juga sudah menerima semuanya, Al. Aku tidak terpaksa lagi. Jadi...” suaranya menurun menjadi lebih lembut, nyaris seperti bisikan, “Bisakah kita mulai hidup sebagai suami istri yang sesungguhnya? Hidup yang... tidak lagi karena keadaan, tapi karena kita menginginkannya. Bolehkah aku meminta hak dan menjalankan kewajibanku padamu sebagai seorang suami?“
Alana terdiam, wajahnya memanas. Ia tahu arah pembicaraan itu, tapi yang lebih ia rasakan adalah ketulusan di balik kata-kata Adrian. Perlahan, ia mengangguk.
Adrian tersenyum kecil, lalu menghapus sisa air mata di pipi istrinya. Gerakannya lembut, seperti menyentuh sesuatu yang berharga. Dalam keheningan malam itu, jarak di antara mereka memudar dan berganti dengan rasa hangat yang lama tertahan.
Tak ada kata yang keluar di antara mereka, hanya keheningan yang dipenuhi detak jantung. Adrian menunduk perlahan, menangkup wajah Alana lalu bibirnya menemukan bibir sang istri. Sentuhan itu lembut, tapi sarat makna.
Tangan besar Adrian bergerak, menelusuri tubuh Alana dengan hati-hati. Desahan lirih pun memenuhi ruangan, bercampur dengan nafas mereka yang saling mengejar. Meski terasa perih karena itu kali pertama baginya, Alana menutup mata dan mencoba menerima setiap sentuhan, percaya pada kasih yang terbungkus di dalamnya.
Setelah selesai, Adrian merengkuh tubuh Alana dengan lembut.
“Maaf… pertama kali memang terasa sakit,” bisik Adrian serak, menguvsap lembut rambut Alana yang berantakan karena peluh dan ulah tangannya sendiri. “Aku ambil obat dulu, ya.”
Sebelum bangkit, ia mengecup kening Alana dengan penuh sayang. Alana menatapnya dengan mata basah, hatinya bergetar. Malam itu, Alana benar-benar menjadi istri Adrian seutuhnya.
Malam itu, menjadi awal yang baru bagi mereka berdua. Bukan lagi dua orang asing yang disatukan oleh keadaan, melainkan dua hati yang perlahan belajar untuk pulang satu sama lain.
Pagi itu terasa berbeda, lebih hangat. Adrian bangun lebih awal dari biasanya. Setelah membersihkan diri, ia langsung turun ke dapur. Tangannya yang biasanya hanya memegang berkas dan pena, kini sibuk menyiapkan sarapan. Di samping piring-piring yang tertata rapi, ia juga menaruh segelas air putih dan beberapa vitamin untuk Alana.
Ia tahu, pagi setelah malam pertama bukanlah hal yang mudah bagi seorang wanita. Dulu, Aruna juga begitu. Istri pertamanya itu menangis karena perih yang tak bisa dijelaskan. Kali ini saat nama Aruna kembali melintas di benaknya, Adrian tak lagi merasa sesak. Yang tersisa hanyalah keikhlasan, ia telah benar-benar melepaskan kematian Aruna. Kini, yang ingin dijaganya hanyalah Alana dan putri kecil mereka.
Langkah ringan terdengar menuruni tangga. Alana dengan rambut masih sedikit basah dan wangi sabun yang lembut, berdiri di ambang pintu dapur. Matanya membulat ketika melihat meja makan penuh hidangan.
“Selamat pagi, istriku,” sapa Adrian sambil tersenyum kecil.
Alana mendekat dengan langkah ragu. “Pa-pagi, Mas. Ini... semua Mas yang buat?”
“Aku yang siapin semuanya. Kamu pasti masih sakit kalau terlalu banyak gerak di dapur. Hari ini istirahat aja, ya. Oh ya... hari ini akan ada orang datang. Aku udah carikan asisten rumah tangga. Dulu Aruna sempat memberhentikan yang lama... mungkin karena dia nggak mau ada yang tahu tentang penyakitnya, takut ada yang melapor padaku.”
Alana menatap suaminya dengan tatapan canggung. “Mas, saya nggak butuh asisten rumah tangga. Saya bisa kok ngerjain semuanya sendiri.”
Adrian tersenyum kecil, lalu menggeleng pelan. Ia berdiri dan berjalan ke arah Alana. Tangannya terangkat, menelusuri lembut pipi istrinya.
“Aku nggak mau kamu capek. Tugasku cari uang, biar kamu dan Alima bisa hidup nyaman. Urusan aku dan Alima, kamu yang atur. Tapi urusan nyuci, dan bersihin rumah... biar asisten yang pegang. Hari ini dia datang, kamu yang sambut, ya.”
Adrian berhenti sejenak, lalu menambahkan dengan nada menggoda. “Tenang aja, dia perempuan paruh baya kok. Aku nggak pesan yang muda, takut kamu nanti cemburu.”
Alana sempat tertegun, lalu matanya membulat karena malu. “Mas Adrian!” serunya pelan sambil memukul dada suaminya dengan manja.
Adrian tertawa kecil, menikmati hal sederhana itu.
“Hufff!”
“Mas! Aduh!” serunya spontan saat Adrian dengan mudah menggendongnya ke arah meja makan.
“Tenang, aku nggak akan ‘memakanmu’ kayak semalam kok." Goda Adrian sambil terkekeh pelan, ia mendudukkan Alana di kursi.
Alana tersenyum malu.
“Hari ini, biar aku yang urus semuanya. Kamu cuma duduk manis dan nikmatin pelayananku.” Nada suaranya santai, tapi sikapnya penuh kesungguhan.
Keduanya saling bersitatap, dan detak jantung mereka saling bersahutan.