Sejak usia tujuh tahun, Putri Isolde Anastasia diasingkan ke hutan oleh ayahandanya sendiri atas hasutan selir istana. Bertahun-tahun lamanya, ia tumbuh jauh dari istana, belajar berburu, bertahan hidup, dan menajamkan insting bersama pelayan setia ibundanya, Lucia. Bagi Kerajaan Sylvaria ia hanyalah bayangan yang terlupakan. Bagi hutan, ia adalah pewaris yang ditempa alam.
Namun ketika kerajaan berada di ujung kehancuran, namanya kembali dipanggil. Bukan untuk dipulihkan sebagai putri, melainkan untuk dijadikan tumbal dalam pernikahan politik dengan seorang Kaisar tiran yang terkenal kejam dan haus darah. Putri selir, Seravine menolak sehingga Putri Anastasia dipanggil pulang untuk dikorbankan.
Di balik tatapannya yang dingin, ia menyimpan dendam pada ayahanda, tekad untuk menguak kematian ibunda, dan janji untuk menghancurkan mereka yang pernah membuangnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Demar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Berulah di Pagi Hari
Suara merdu seruling mengalun, melayang-layang di udara bak bisikan peri. Nada-nada itu seakan datang dari langit, mengalun ke setiap sudut istana, menembus dinding batu dingin sekaligus menenangkan hati yang gundah. Penghuni istana berbisik dan saling menoleh kebingungan mencari dari mana sumber keindahan itu berasal.
“Suaranya sangat indah, seperti nada dari dewi hutan,” gumam salah seorang dayang dengan wajah kagum, seakan tak percaya ada alunan seindah itu di tempat ini.
Kaisar Lexus yang sedang memeriksa laporan kerajaan, merasakan dadanya bergetar oleh alunan lembut yang memanjakan telinga. Langkahnya bergerak tanpa sadar mengikuti arah datangnya suara. Jejak suaranya membawanya ke taman belakang Imperial Agartha. Bunga-bunga mawar dan lili masih basah oleh embun, aroma udara segar bercampur harum bunga memenuhi udara. Di sana sudah berkumpul beberapa pelayan, selir, dan bahkan Pangeran Alexius. Mereka semua menoleh ke berbagai arah kebingungan, sebab begitu kaisar tiba… suara itu lenyap.
Seolah memahami tanda, burung-burung di udara pun berhenti berkicau. Lexus melangkah ke tengah taman, sorot matanya menyapu setiap sudut.
“Ulaaar! Ada ular!” jerit seorang selir dengan suara melengking.
Semua pelayan menoleh bersamaan. Dari atas pohon ceri yang sedang mekar, menjuntai seekor ular besar. Kepalanya menggantung rendah, matanya berkilat merah darah, lidahnya terjulur keluar, mendesis tepat ke arah kerumunan. Beberapa dayang terkejut hingga menjatuhkan baki di tangan mereka. Bunga-bunga ceri yang berguguran terbawa angin, bercampur dengan jeritan ketakutan. Beberapa pelayan terhuyung mundur, sebagian menjerit histeris, sementara Alexius segera meraih gagang pedangnya.
Seseorang menunjuk ke atas pohon.
“Lihat… di sana!”
Mata semua orang menajam, lalu terbelalak. Di antara dahan pohon, Anastasia terlihat tertidur pulas dengan seruling kayu yang hampir lepas dari tangannya. Sinar matahari pagi menembus sela-sela dedaunan menimpa wajahnya yang tenang, kontras dengan kekacauan di bawah.
“Kakak ipar!” suara Alexius tercekat panik. Ia melangkah maju, tangannya terangkat ke udara. “Bangunlah! Ada ular di dekatmu. Jangan bergerak! Melompatlah, aku akan menangkapmu!” Nada suaranya jelas menunjukkan kegelisahan.
Namun sebelum ia sempat melangkah lebih jauh, sebuah dorongan keras yang menggantikan tubuhnya. Kaisar Lexus, dengan wajah kelam dan sorot mata menajam berdiri di sampingnya.
“Menjauhlah, Alexius.” Suaranya rendah, penuh tekanan. “Ia istriku, hanya aku yang berhak menangkapnya.”
Alexius ingin tetap menolong Anastasia, namun tatapan Lexus membuatnya tak bisa membantah. Aura sang kaisar tak memberi ruang perdebatan.
Anastasia menggeliat malas di atas pohon karena keributan di bawah. Ia membuka matanya sedikit, pandangannya kabur sebentar sebelum menyadari kerumunan di bawah. Ia mengerjap, lalu menatap ular yang melingkar di dahan dan hanya mendengus kecil.
“Ada apa ini?” suaranya datar, nyaris tak beremosi.
Alexius kembali berseru, “Turunlah, kakak ipar. Bahaya ada di dekatmu, ular itu bisa menyerang kapan saja!”
Lexus mendongak, menatap Anastasia khawatir. “Lompatlah! Aku akan menangkapmu.”
Namun yang mereka dapatkan hanyalah helaan napas malas. Anastasia memutar bola matanya, lalu kembali merebahkan diri seolah semua itu bukan urusannya.
“Ular itu tidak menggangguku.” nadanya dingin, tanpa gentar sedikit pun. “Mengapa kalian begitu ribut? Pergilah… Lakukan pekerjaan kalian dan jangan mengganggu tidurku.”
Seketika suasana hening. Para pelayan membeku dengan mulut ternganga, selir Yalindra dan Erivana saling pandang tak percaya, bahkan ular itu pun seakan kehilangan wibawanya di hadapan Anastasia.
Suara jeritan pelayan kembali terdengar keras ketika ular itu menundukkan kepalanya, lidah bercabangnya menjulur ke arah wajah Anastasia yang masih terpejam. Lexus menatap tajam ke arah dahan,
“Anastasia!” suaranya menggema, penuh perintah dan amarah yang ditahan. “Ular itu akan mematukmu!”
Semua orang menahan napas. Namun kelopak mata Anastasia perlahan terbuka. Ia menguap kecil, lalu menoleh malas ke arah ular hitam yang melata tak jauh darinya. Sekilas, senyum tipis muncul di sudut bibirnya yang justru membuat semua orang memandangnya ngeri.
“Itu hanya Aspid Noir, ular hutan. Jangan fitnah, Kaisar! Dia tidak beracun,” ucapnya datar.
Anastasia kembali menutup mata dan bergumam santai, “Kalian membuat kegaduhan pagi-pagi begini. Mengganggu ketenangan orang saja! Bahkan ular ini lebih jinak daripada sebagian manusia di istana ini.” sindirnya tajam. Ia menelisik pada kerumunan di bawah. Mana perempuan iblis itu? Ish… padahal aku barusan menyindirinya.
Semua orang akhirnya mundur setelah diperintahkan oleh Kaisar Lexus. Suasana mereda, hanya tersisa dua orang di bawah pohon itu. Kaisar Lexus dan Alexius saling menatap.
“Kenapa kau masih di sini?” suara Kaisar Lexus begitu tajam. “Aku tidak menyuruhmu menunggu. Pergilah!”
Alexius menghela napas panjang, sorot matanya melirik ke atas, ke arah Anastasia, sebelum kembali menatap sang Kaisar. “Kakak… izinkan aku memastikan kakak ipar turun dengan selamat. Kau lihat sendiri betapa keras kepala dirinya.”
Mata Lexus menyipit, suaranya meninggi tajam. “Cukup, Alexius! Jangan lupa ia adalah istriku. Ada batasan yang harus kau jaga. Jangan melampauinya!”
Alexius mengatupkan rahangnya, seakan menahan sesuatu yang ingin ia lontarkan. Ia menghela napas berat, lalu menoleh sekali lagi ke arah Anastasia yang masih bergeming di dahan pohon seakan semua perdebatan di bawah pohon itu tidak penting. Tatapan Alexius melembut, ada kekhawatiran yang jelas di matanya.
Ia mendesah kasar, lalu menundukkan kepala pada sang Kaisar. “Baiklah…” gumamnya, hampir tak terdengar.
Langkahnya berat ketika ia berbalik pergi meninggalkan mereka berdua. Kaisar Lexus menyadari hal itu, dan tatapan matanya semakin dingin saat mengawasi kepergian Alexius. Begitu sosok itu menghilang dari pandangan, barulah Lexus mendongak ke atas, menatap Anastasia yang pura-pura memejamkan mata lagi. Napasnya berat, seakan menahan gejolak amarah dan cemas yang bercampur.
“Anastasia,” suaranya dalam, bergetar menahan kesabaran, “turunlah sekarang juga atau aku akan menebas ular itu dengan tanganku sendiri.”
Anastasia membuka sebelah matanya, menatap ke bawah dengan malas. Ular yang tadi melingkar di dahan kini melingkar di lengannya dengan tenang, lidahnya menjulur keluar masuk tanpa sedikit pun tanda hendak menyerang.
“Dia tidak menggangguku, kenapa kau begitu ribut?” jawabnya enteng.
Urat di pelipis Lexus menegang. Tangan kanannya sudah hampir menyentuh gagang pedang di pinggangnya. “Jangan uji kesabaranku, Anastasia. Sekali aku ayunkan pedang ini, ular itu kupastikan akan lenyap. Aku tidak peduli apa ia berbisa atau tidak. Aku tidak akan membiarkan sesuatu menempel di tubuhmu selain aku.”
Anastasia malah mendengus pelan, memutar bola matanya. “Kau begitu dramatis hanya karena seekor ular menempel di lenganku, Yang Mulia. Padahal kau sendiri…” ia berhenti sejenak, menoleh pada Lexus dengan malas, “kau juga menempel pada banyak wanita.”
Wajah Lexus menegang, rahangnya mengeras. “Cukup, Anastasia!” suaranya menggema kuat. Wanita ini selalu berhasil memancing amarahnya. “Aku tidak menempel pada banyak wanita. Jangan berani menyamakan aku dengan ular itu.”
Anastasia tertawa kecil, suara tawanya pelan tapi penuh sindiran. “Jadi menurutmu aku harus lebih cemas pada ular yang jinak ini… daripada pada seorang kaisar yang setiap malam ditemani selir-selirnya begitu?”
“Diam!” potong Lexus dengan mata berkilat marah. “Aku tidak pernah menganggap mereka lebih dari bayangan. Kau! Hanya kau satu-satunya yang…” ia terhenti, menyadari kata-kata yang hampir lolos dari mulutnya.