Hanabi di bunuh oleh wakil ketua geng mafia miliknya karena ingin merebut posisi Hanabi sebagai ketua mafia dia sudah bosan dengan Hanabi yang selalu memerintah dirinya. Lalu tanpa Hanabi sadari dia justru masuk kedalam tubuh calon tunangan seorang pria antagonis yang sudah di jodohkan sejak kecil. Gadis cupu dengan kacamata bulat dan pakaian ala tahun 60’an.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Erika Ponpon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
23
Lampu redup bergoyang di langit-langit. Bayangannya berayun pelan di dinding berkarat, menciptakan ilusi seolah-olah ruangan itu bernyawa.
Di kursi besi tengah ruangan, Razka terikat. Peluh menetes dari pelipisnya. Matanya gelisah, tubuhnya bergetar menahan dingin… atau ketakutan.
Dari balik bayangan — Gentha muncul. Tapi bukan Gentha yang biasa.
Pupil matanya gelap pekat, di tengahnya berdenyut semburat merah darah.
Senyumnya miring. Nafasnya pelan… tapi berat, seperti setiap tarikan udaranya bisa memotong ruang.
“Takut, Razka?”
Suara Niklaus berat dan dingin.
Razka menelan ludah, suaranya parau.
“Tha… dengerin gue dulu. Gue gak tahu waktu itu mereka keluarga lo, gue cuma disuruh!”
Gentha melangkah perlahan, suaranya bergema di lantai semen retak.
“Disuruh?”
Dia mendengus pelan. “Lucu. Sekali hahaha.”
Dia jongkok tepat di depan Razka, menatap matanya dari jarak satu jengkal.
“Lo tahu yang paling nyakitin, Razka?”
“Bukan waktu keluarga gue mati… tapi waktu gue sadar, orang yang gue anggap saudara justru nyalain apinya dari belakang.”
Razka menunduk, suaranya bergetar.
“Gue… gue gak tahu kalau itu keluarga lo, Tha. Demi Tuhan, gue—”
“TUHAN?”
Suara Gentha berubah, bergema seperti dua suara sekaligus.
“Lo berani bawa nama Tuhan setelah lo ngeracun Hanabi? Setelah lo bakar rumah gue? Setelah lo ngerampas semua yang gue punya?!”
“Tha..—
Mata Gentha bergetar — pupilnya berubah merah menyala.
Aura gelap mengalir di sekitarnya, membuat udara seolah ikut menekan dada Razka.
“Diam.”
Niklaus menatapnya tajam. Suaranya rendah tapi penuh kekuatan mematikan.
“Gue bisa bunuh lo sekarang… tapi itu terlalu cepat. Gue mau lo ngerasain gimana rasanya di bakar hidup-hidup seperti lo bunuh keluarga gue dan lo racunin Hanabi.”
Lampu berkelip keras — tik-tik-tik — lalu berhenti.
Hening. Hanya suara napas Razka yang tercekat dan langkah pelan Gentha mengitari kursinya.
Razka mencoba bicara, tapi bibirnya kaku. Dia seperti lumpuh ketakutan.
“Gue pengen lo denger suara lo sendiri waktu lo teriak minta ampun nanti.”
“Biar lo tahu, Razka… gue bukan Gentha lagi.”
“Gue — Niklaus.”
Tiba-tiba —
BRAKKK!
Pintu gudang terhempas keras.
Semua menoleh.
Cahaya lampu dari luar menyorot sosok Jiyo yang berdiri di ambang pintu — wajahnya tegang, air matanya menetes di pipi.
“Razka…” suaranya lirih, tapi mengguncang ruangan.
Razka kaget. Matanya melebar.
“Ji… Jiyo?!”
Tanpa sepatah kata, Jiyo berlari mendekat — dan
PLAKK!!
Tamparan keras mendarat di pipi Razka.
Suara tamparan itu bergema di seluruh ruangan, lebih nyaring dari suara rantai yang bergoyang.
Razka terdiam.
Niklaus terdiam menatap Jiyo.
“Lo…” suara Jiyo pecah, penuh amarah bercampur sedih.
“Lo udah hancurin hidup banyak orang. Lo bohongin gue, lo bunuh Hanabi, lo hampir bikin Moira mati… semua karena keserakahan lo!”
Razka memandang Jiyo dengan mata gemetar. “Jiyo… semua itu fitnah gak benar—Ji—
“HALAH BULLLSYYYIITTT!!! ANJING LO RAZKA!!!”
Teriak Jiyo sambil meludah di depan Razka.
Air mata Jiyo jatuh lagi.
Dia menatap Gentha yang masih berdiri diam — separuh dirinya gelap, separuhnya manusia.
“Tha… kalau lo mau bales dendam, baleslah. Bunuh sekalian dia, gue udah muak sama dia, Bi lo kasih dia racun sama kayak Razka ngasih racun ke lo.”
Gentha menatap Jiyo lama… lalu perlahan mundur satu langkah. Nafasnya berat.
Cahaya merah di matanya meredup, berganti dengan pandangan kosong penuh luka.
Hening sesaat.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Gentha berdiri di belakang, namun kali ini dia diam.
Matanya memerah — bukan karena marah, tapi karena jiwa Niklaus muncul di dalam tubuh Gentha.
Aura mereka dua — kini satu.
Moira menatapnya sesaat, dan tanpa kata, Niklaus mengangguk.
Keduanya mengerti permainan baru dimulai.
⸻
Moira mengambil pisau kecil di meja. Ia tidak menusuk — hanya mengetuk-ngetukkannya ke kulit Razka, setiap hentakan disertai suara tik… tik… tik… yang menyayat telinga.
“Setiap ketukan ini,” katanya datar, “adalah satu nyawa yang lo ambil.”
tik — “Orang tuanya Gentha.”
tik — “Adiknya.”
tik — “Dan gue…”
Razka menggigil. “Gue disuruh! Gue gak tahu siapa dalangnya! Gue—”
“Berhenti nyalahin orang, Razka.”
“Karena di akhir cerita… lo tetap yang narik pelatuknya.”
Srekkkk!!!
Aaarrrghhj!!!!
Razka teriak kesakitan saat belati merobek kulitnya.
“Ini belum seberapa rasa sakit yang Gentha rasakan.”desis Niklaus.
Moira mengambil dirigen yang isinya bensin lalu dia tuangkan bensin itu ke sekitar Razka duduk terikat.
Dari balik meja, Gentha menarik korek gas. Api kecil menyala, menari di udara, memantulkan warna oranye di mata Moira.
Razka mulai berteriak, “JANGAN! MOIRA, LO GILA!”
“Bukan gue yang gila, Razka…”
Moira menatapnya tajam.
“Lo yang mulai duluan Razka...”
⸻
Moira menyalakan selembar kertas, menatap nyala api kecil yang menari di ujung jarinya.
Dengan senyum tipis, dia melepaskan kertas itu ke lantai. Api perlahan merambat di sepanjang lantai berdebu, menjalar ke arah Razka yang terikat.
Suara api menyulut kayu terdengar renyah.
Udara di dalam gudang semakin panas, sesak, dan berbau gosong.
Razka menjerit histeris.
“JANGAN!! TOLONG!! MOIRA!! GUE NYESEL!!”
Namun tak ada yang bergerak.
Niklaus (di dalam tubuh Gentha) hanya berdiri diam — matanya memantulkan cahaya api, tanpa emosi.
Moira berdiri di sisi lain, menatap dingin.
Jiyo di belakang mereka terdiam, kedua tangannya bergetar tapi tak sanggup berbuat apa pun.
Dan di luar, di balik celah pintu gudang,
Reno, Bima, Kiko, Danu, dan Rio sedang mengintip sambil memegang kamera milik Rio.
⸻
“Weh… udah kayak lagi bakar babi guling ya…”ucap Bima
“Wkwk iya, tes kriuk-nya dong, Bang Niklaus!”tambah Kiko.
Reno menggeleng pelan “Lo kira tuh kerupuk kali, Ki.”
“Di dunia dibakar, di akhirat dipanggang lagi tuh Razka… double roasted.”kata Danu.
“Wih, gosongnya rata banget, tuh. Tapi kayaknya dagingnya alot, deh. Harusnya dibungkus nanas dulu biar empuk.”ujar Rio dengan gaya slay nya.
“Atau pakai sendok, tuh. Kata emak gue biar gak seret dagingnya.”tambah Bima.
Reno mendecak “Lo pikir itu kambing qurban, woy.”
Mereka semua tertawa kecil—tawa yang terdengar absurd di tengah aroma daging terbakar dan jeritan yang makin lemah.
Reno masih merekam, meski wajahnya setengah ragu.
⸻
Api kini benar-benar menyelimuti tubuh Razka.
Teriakannya pecah, lalu pelan-pelan memudar… hanya tersisa suara letupan kecil dari bara yang menyentuh kulit.
Niklaus berjalan mendekat, menatap hasil “karyanya” dengan ekspresi datar.
“Dosa yang dibersihkan dengan api… tapi arang tetap meninggalkan bekas.”
Moira menatap sisa tubuh Razka yang mulai hangus.
“Semoga dia sadar… tapi sayangnya, udah terlambat.”
Jiyo hanya menunduk, air matanya jatuh, tapi dia tidak berkata apa pun.
Di luar, Reno mematikan kamera.
Suasana sunyi sesaat.
Lalu Kiko berbisik pelan.
“Eh, tapi jujur ya…”
“Gue jadi laper.”
Bima menatapnya, lalu ngakak kecil di tengah bau gosong yang masih menyengat.
“Noh makan tuh sate guling Razka.”
ini lagi si Stella, harusnya dia buktikan dong, bahwa dia bisa, bukannya malah jadi iri/Sweat/