Email salah kirim, meeting berantakan, dan… oh ya, bos barunya ternyata mantan gebetan yang dulu menolak dia mentah-mentah.
Seolah belum cukup, datang lagi intern baru yang cerewet tapi manisnya bikin susah marah — dan entah kenapa, selalu muncul di saat yang salah.
Di tengah tumpukan laporan, deadline gila, dan gosip kantor yang tak pernah berhenti, Emma harus belajar satu hal:
Bagaimana caranya tetap profesional saat hatinya mulai berantakan?
Antara mantan yang masih bikin jantung berdebar dan anak magang yang terlalu jujur untuk dibiarkan begitu saja, Emma akhirnya sadar — cinta di tempat kerja bukan cuma drama… tapi juga risiko karier dan reputasi yang bisa meledak kapan saja.
Cinta bisa datang di mana saja.
Bahkan di ruang kerja yang penuh tawa, kopi tumpah, dan masa lalu yang tak pernah benar-benar pergi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ASEP SURYANA 1993, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
EPISODE 31 — “Reorganisasi”
Suara printer berdentum tanpa henti. Surat-surat keputusan berserakan di atas meja HR. Di bagian atas setiap lembar, tercetak tegas:
> “Reorganisasi Divisi dan Penempatan Karyawan Baru”
Emma menatap namanya di lembar itu.
Baris berikutnya membuatnya membeku:
> “Dipindahkan ke cabang editorial cabang Brooklyn, di bawah pengawasan langsung Tuan Dawson.”
Ryan, yang berdiri di sebelahnya, meraih lembar miliknya —
dan wajahnya langsung menegang.
> “Ditempatkan di divisi eksternal marketing, di bawah manajer Trisha Collins.”
“Dia sengaja,” gumam Emma lirih.
Ryan menatapnya, rahangnya mengeras. “Dia mau misahin kita.”
---
Samantha datang dengan tumpukan map.
“Emma, HR nyuruh kau ke ruang Liam jam sebelas. Katanya, pengarahan pribadi.”
Emma menarik napas dalam-dalam. “Pengarahan atau penghukuman?”
Samantha menatapnya khawatir. “Kalau aku jadi kau, aku pakai baju baja.”
---
Ruang kerja Liam terasa lebih sunyi dari biasanya.
Cahaya matahari menembus tirai, memantul di meja kayu gelap.
Liam duduk dengan ekspresi tenang, tangan menyilangkan pena di atas kertas.
“Silakan duduk, Miss Wilson.”
Emma duduk, menatap lurus padanya. “Kau ingin apa, Liam?”
Liam tersenyum kecil. “Kau masih cepat menuduh, ya. Aku hanya menjalankan tanggung jawabku sebagai direktur.”
“Dengan memindahkan karyawan seenaknya?”
“Dengan menempatkan orang di posisi yang sesuai kemampuan mereka,” katanya lembut, namun nada suaranya dingin seperti es.
“Kau punya potensi besar, Emma. Tapi kedisiplinanmu… masih perlu diarahkan.”
Emma mencondongkan tubuh ke depan. “Atau mungkin kau hanya ingin memastikan aku tetap di bawah pengawasanmu.”
Liam menatapnya lama, senyumnya memudar.
“Kau tahu aku bisa saja memecatmu minggu lalu, tapi aku tidak melakukannya. Seharusnya kau berterima kasih.”
Emma mendengus pelan. “Terima kasih karena kau ingin mengontrol hidupku lagi?”
Hening.
Hanya detak jam di dinding yang terdengar.
Liam akhirnya berdiri, menatap ke arah jendela tinggi.
“Emma, dunia kerja bukan tentang siapa yang benar atau salah. Ini tentang siapa yang bertahan.”
Ia berbalik, menatapnya tajam.
“Dan aku ingin kau bertahan. Tapi di bawah kendaliku.”
---
Sore itu, Emma berjalan keluar dari ruangan dengan napas berat.
Ryan menunggunya di koridor, bersandar di dinding dengan ekspresi cemas.
“Gimana hasilnya?” tanyanya.
Emma tertawa pahit. “Dia bilang aku ‘berpotensi’. Itu kode halus buat ‘kau di bawah kendaliku sekarang.’”
Ryan mengepalkan tangan. “Kalau aku masih satu divisi sama dia, udah aku banting laptop ke mukanya.”
Emma menatapnya, sedikit tersenyum. “Sayangnya, dia lebih dulu memisahkan kita.”
Ryan terdiam. “Dia tahu kita kuat kalau bareng.”
Emma mengangguk pelan. “Dan dia tahu di antara kita, cuma satu yang bisa dia kendalikan—aku.”
---
Malamnya, di apartemennya, Emma menatap layar laptop. Email dari HR Department baru saja masuk.
> “Mulai Senin, Anda akan melapor langsung ke Direktur Editorial Liam Dawson. Segala komunikasi lintas divisi harus melalui atasan langsung.”
Emma menutup laptop dengan keras. “Dia mau aku tunduk,” gumamnya.
Tiba-tiba ponselnya berdering.
Nama yang muncul di layar: Liam Dawson.
Ia menatap layar itu beberapa detik sebelum akhirnya menjawab.
“Saya tidak menerima panggilan pribadi di luar jam kerja, Pak.”
Suara di ujung sana terdengar tenang, tapi dalam.
> “Kalau aku bilang ini urusan kantor?”
Emma menahan napas. “Apa lagi yang kau mau, Liam?”
> “Hanya ingin memastikan kau tahu… Ryan tidak akan lama di divisi itu. Trisha punya cara sendiri untuk ‘mendidik’ orang seperti dia.”
Emma langsung berdiri. “Kau ancam dia?”
> “Aku cuma memberi pelajaran. Jangan salah paham.”
“Kalau dia kenapa-kenapa—”
> “Emma.”
Suara Liam memotong lembut, tapi dingin.
“Ini bukan tentang dia. Ini tentang kau. Dan bagaimana kau memilih berpihak.”
Telepon terputus.
---
Keesokan paginya, Ryan menunggu di depan kantor dengan dua gelas kopi.
Saat Emma datang, wajahnya pucat.
“Kau nggak kelihatan tidur semalam,” kata Ryan pelan.
Emma mengambil kopi itu tanpa bicara.
“Ryan, dengar. Apa pun yang terjadi nanti di divisi baru, jangan lawan Trisha. Serius.”
Ryan menatapnya bingung. “Kenapa?”
“Karena ini bukan cuma soal kerja. Ini permainan Liam.”
Ryan menatapnya lama, lalu tersenyum kecil.
“Kalau ini permainan, ya kita main balik.”
Emma memalingkan wajah, tapi senyum tipis muncul di bibirnya.
“Terserah kau. Tapi kali ini, jangan sampai kalah.”
Ryan menatapnya penuh keyakinan.
“Selama aku masih punya alasan buat menang, aku nggak akan kalah.”
“Apa alasannya?”
Emma menatapnya.
Ryan tersenyum kecil. “Kau.”
---
Dari lantai atas, Liam berdiri di balik kaca.
Melihat dua orang itu berbicara di bawah, ia menatap lama.
Tangannya menggenggam cangkir kopi, bibirnya menyungging senyum dingin.
“Baiklah,” katanya pelan.
“Kalau cinta yang jadi kekuatan mereka... mari kita lihat seberapa lama cinta itu bisa bertahan di bawah tekanan.”
Kamera mental itu menutup dengan perlahan.
Langit New York mulai mendung — pertanda badai baru akan datang.
---