Maya, anak sulung yang doyan dugem, nongkrong, dan bikin drama, nggak pernah nyangka hidupnya bakal “dipaksa” masuk dunia yang lebih tertib—katanya sih biar lebih bermanfaat.
Di tengah semua aturan baru dan rutinitas yang bikin pusing, Maya ketemu Azzam. Kalem, dan selalu bikin Maya kesal… tapi entah kenapa juga bikin penasaran.
Satu anak pembangkang, satu calon ustadz muda. Awalnya kayak clash TikTok hits vs playlist tilawah, tapi justru momen receh dan salah paham kocak bikin hari-hari Maya nggak pernah boring.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayusekarrahayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 23 Hari Pertama Latihan
Pepohonan meliuk pelan tertiup angin, bunga-bunga bermekaran indah di taman samping pesantren. Membuat suasana sejuk yang menenangkan hati, beberapa santri dan santriwati tampak lewat silih berganti.
Berbagai kegiatan tengah dilaksanakan, ada yang sedang menghafal, belajar di kelas maupun yang tengah istirahat dibalik rimbunnya pepohonan.
Suasana terasa hangat dan sejuk, suara canda tawa terdengar lirih dari tiap sudut pesantren. Tapi tampaknya hal ini tidak sama dengan Suasana hati Maya.
Ia berdiri dengan wajah masam, berulang kali merutuki dirinya sendiri karena menyanggupi tugas itu. 'Lagian siapa sih yang mau sosialisasi di pesantren begini, kurang kerjaan banget,' Pikirnya.
Tangannya terus memilin ujung hijabnya, di hadapan nya sebuah kolam ikan tampak mengalir indah. Dia sendiri tengah duduk di bawah pohon mangga sembari memegang buku catatan yang diberikan Azzam sebelumnya.
Ustadz Azzam belum juga menampakkan diri, padahal Maya sudah berusaha tepat waktu. Ia menoleh ke sembarang arah, lalu matanya berhenti saat melihat teman satu asramanya tengah mengintip dari balik pagar taman.
Maya langsung berdiri tegak lalu berkacak pinggang, "Heh pada ngapain lo pada disitu, mau liat miss internasional latihan ya."
"Geer kamu May, kita lagi ini nih nyabutin rumput,"Rara langsung mengambil posisi duduk tangannya sok sibuk mencabuti rumput.
Sinta dan Zahra refleks duduk, mereka hanya tersenyum lebar. Sementara Dewi tampak berpura-pura melihat langit.
Maya memicing,"Aduh nyabutin rumput apaan, itu masih berdiri kokoh semua."
"Namanya juga baru mulai, udah mending kamu fokus aja deh sama latihannya, kita semangatin dari sini," Zahra berdiri sembari tersenyum lebar.
"Oh ya? yang ada gue malah ga fokus ntar, tapi emang iya si aura bintang gue itu bikin semua orang seolah-olah pengen terus memandang wajah ini, jadi gak heran kalau kalian sampai rela makasain jadi ulet bulu demi liatin seorang teladan latihan, oh guys gue terharu banget," Ucap Maya sembari berpura-pura menghapus air mata seolah tengah terharu.
Teman-temannya saling berpandangan lalu menelan ludah susah payah. Tak habis pikir dengan kepercayaan diri Maya yang overrated itu.
Dewi memegangi perutnya berakting seolah-olah akan memuntahkan isi perutnya. "Ternyata bener ya May, aura bintang lo itu bikin aura perut gue langsung aur-auran, cocok deh lo jadi bintang iklan obat mag."
Rara langsung tertawa terpingkal "HAHA! Bener banget, Dewi! Nanti tagline-nya gini: 'Bintang boleh bersinar, tapi jangan bikin perut orang lain bergetar!'"
Sinta menimpali sambil menutup hidung, "Udah, udah... sebelum kamu beneran muntah, mending kita mundur dulu deh, takut ketularan percaya diri tingkat dewa dari seorang santriwati teladan."
Zahra yang sedari tadi hanya tersenyum akhirnya ikut bicara, “Kalo Maya jadi bintang, kayaknya dunia butuh kacamata hitam tambahan deh, soalnya sinarnya kebanyakan.”
Maya menatap mereka satu per satu dengan gaya elegan pura-pura tersinggung, lalu mengibaskan tangan anggunnya.
“Dasar rakyat jelata, kalian emang belum mampu memahami kilau seorang bintang. Sudah, mundurlah… biar aura gue gak nular bikin kalian minder.”
Semua langsung meledak tertawa bersamaan.
Tawa mereka bergema pelan di taman pesantren, sampai beberapa santri yang lewat ikut melirik penasaran.
Tapi tawa itu mendadak terhenti begitu suara laki-laki lembut tapi tegas terdengar dari arah belakang.
“Sepertinya bintangnya sudah bersinar sebelum waktunya, ya?”
Maya refleks menoleh dan di sanalah, Ustadz Azzam sudah berdiri sambil menatapnya dengan senyum tipis.
Sejenak Maya tampak terpaku, wajah datar Azzam yang teduh itu seolah menariknya ke dalam kubangan yang tak ingin ia rasakan. 'gilaa ini beneran orang atau bukan sih,kenapa tiap dia dateng gue kayak ngeliat secercah sinar yang bedaa..... eh apaan si kenapa gue malah muji dia begini, aduhh Maya ingett lo gak boleh suka sama ni cowo dia bukan tipe lo, tipe lo kan Bruno Mars,' Maya sibuk berbicara dalam hati.
Azzam melangkah pelan mendekat, langkahnya tenang dan suaranya terdengar datar namun hangat.
“Dari tadi saya dengar suara tawa yang cukup ramai di taman ini,” ujarnya sambil melirik sekilas ke arah teman-teman Maya yang buru-buru jongkok di balik pagar.
“Sepertinya suasana latihan akan berjalan… meriah, ya?”
Maya tersentak, buru-buru merapikan jilbabnya dan berdiri tegak seolah baru ikut upacara. “Eh, i-iya, Ustadz… soalnya tadi saya lagi, ehm...pemanasan. Iya, pemanasan suara, biar gak kaku pas ngomong nanti.”
Azzam menatapnya dengan ekspresi setengah bingung setengah menahan senyum. “Pemanasan suara, atau pemanasan gosip,santriwati teladan ya Maya?”
Maya terdiam sepersekian detik, sebelum akhirnya terkekeh canggung. “Hehehe… bisa dua-duanya, Ustadz. Multitalenta gitu loh…”
“Hmm,” Azzam hanya mengangguk pelan, tapi ada senyum samar di sudut bibirnya.
Ia kemudian menatap Maya dalam diam selama beberapa detik, membuat jantung Maya berdebar tak karuan.
‘Aduh kenapa sih dia liatin gue gitu, matanya kayak nembus dalem banget, ini tatapan ustadz atau detektor dosa? Ya Allah, tolong jaga hati hamba dari pria beralis tebal ini…’ batin Maya mulai panik sendiri.
“Baiklah,” ucap Azzam akhirnya, memecah keheningan. “Kalau begitu, mari kita mulai saja. Saya ingin melihat bagaimana kamu menyampaikan materinya hari ini.”
Maya menelan ludah pelan, menatap catatannya, lalu menghela napas panjang. “Oke, bismillah… Maya, lo bisa, inget… lo kuat, lo keren, lo bukan cewek lemah… lo cuma… agak gemetaran dikit aja…”
Azzam menatapnya penuh perhatian, sementara teman-temannya di balik pagar saling berbisik, “Ya ampun, itu Maya kok mendadak kayak ayam mau disembelih, gemetaran gitu.”
Latihan dimulai Azzam meminta Maya untuk mencoba membacakan teks yang telah dibuat itu. Maya menatap Azzam sebentar lalu bersiap membaca, "Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh...."
Belum sempat Maya melanjutkan, tiba-tiba saja dari arah pintu taman, Nadia datang dengan tergopoh-gopoh di sampingnya berdiri santriwati lain,namanya Dina yang juga tampak ngos-ngosan.
"Assalamualaikum Ustadz mohon maaf kami telat," Ucap Nadia pelan sembari menunduk. Dina ikut mengangguk pelan, mereka berdua memang diikutsertakan dalam acara sosialisasi ini. Selain ikut mengisi di bidang sholawat,mereka juga diminta untuk ikut membantu membimbing Maya.
Ustadz Azzam menangguk kecil,"Waalaikumsalam tidak apa-apa, Lagipula kita baru mulai juga, ayo bergabung."
Keduanya mengangguk pelan lalu duduk di antara Maya. Nadia tersenyum kecil, sementara Maya dia hanya diam seribu bahasa. Tatapannya seolah mengatakan kalau,'nih orang pada ngapain sih disini, gue kira gue murid khusus rupanya ada yang khusus lainnya juga.'
Nadia menoleh ke arah Maya, wajahnya tampak manis namun sedikit tajam. "Oh hai Maya, maaf ya kita latihan bersama hari ini, soalnya kebetulan disetiap acara saya pasti selalu diikutsertakan."
Nadia berbicara dengan nada yang cukup menohok, membuat Dina dan ustadz Azzam sedikit mengernyitkkan alisnya. Maya membuka mulutnya lebar, seolah-olah baru mendapatkan informasi penting.
"Oh my god! seriously! jadi lo itu mirip sama sound system dong ya, ya soalnya suka diikutsertakan di setiap acara, ups...iya ga si," Maya menutup mulutnya rapat-rapat.
Nadia menahan raut kesalnya, berusaha keras untuk tidak terpancing."Ah Maya, ya mungkin bisa dibilang begitu tapi…bedanya kalau sound system kan hanya membangun suara, kalau saya Insya Allah membangun suasana,” ucap Nadia dengan senyum manis yang menusuk halus.
Dina yang duduk di sampingnya langsung terbatuk pelan, menahan tawa. Sedangkan Maya, matanya membulat kecil, bibirnya tersenyum setengah kesal.
“Wah, keren banget tuh kata-katanya. Kayak quotes motivasi yang biasa nongol di IG pas jam dua pagi,” balas Maya santai, sambil pura-pura menulis di catatannya.
Ustadz Azzam menghela napas pelan, menatap keduanya bergantian. “Baik, sepertinya semangatnya sudah cukup tinggi, ya. Tapi kita latihan dulu, bukan debat kompetitif.”
Keduanya langsung terdiam, walau ekspresi wajah masih saling sindir dengan pandangan tajam namun tersenyum palsu.
.
.
✨️ Bersambung ✨️